Pustaka

Deradikalisasi Melalui "Islam Budaya"

Senin, 2 Agustus 2010 | 03:10 WIB

Judul : Deradikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi Islam Kultural
Penulis : Syaiful Arif
Penerbit  : Koekoesan, Depok
Cetakan : 1, Juli 2010
Halaman : vii + 151
Peresensi : Muhammad Yunus*


Radikalisme Islam yang saat ini menggeliat adalah gambaran dari krisis identitas yang dialami sebagian saudara muslim kita. Krisis ini mengacu pada ketidakmengakaran keislaman dengan kultur Nusantara yang menjadi lambaran dasarnya. Maka, solusi atas radikalisme Islam adalah kembali pada keindonesiaan Islam.<>

Setidaknya tesis inilah yang digelar oleh Syaiful Arif dalam buku bertajuk Deradikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi Islam Kultural ini. Dikatakan paradigma, karena Arif melakukan pemilahan pola-pikir antara "yang budaya" dan "yang politik" dalam Islam. Sepertinya, penulis buku Biografi Intelektual Gus Dur (2009) ini terinspirasi oleh pemilahan Gus Dur atas pendekatan budaya dan pendekatan institusional dalam Islam.

Islam budaya menurut Arif, adalah Islam yang didakwahkan melalui akal-budi. Meminjam terma Habermas: rasionalitas komunikatif. Dalam model rasio ini, Islam disampaikan dari akal-budi, dan diterima oleh kesadaran. Ruangnya jelas, yakni makna. Jadi, berislam secara budaya adalah merasakan Islam sebagai makna yang lahir dari kesadaran mendalam. Titik kesadaran inilah yang diayomi dan dijaga oleh pemahaman kolektif, yang sering kita sebut sebagai tradisi (hlm. 81-83). Arif secara eksplisit menyebut pesantren dan tarekat sebagai bentuk nyata dari Islam budaya tersebut. Mengapa? Karena dalam keduanya, Islam diajarkan dan dipraktikkan melalui dialog-kesadaran, serta pengamalan pemahaman-bersama secara kolektif (hlm. 85-88).

Di sini, Arif menggunakan teori Geertz yang mendefinisikan budaya sebagai jaringan makna dalam simbol kolektif, tempat masyarakat memaknai hidupnya. Syari'at misalnya, dimaknai secara berbeda oleh pengikut tarekat. Ia tidak dimaknai sebagai jalan tunggal pengaturan sosial yang Islami; melainkan jalan sunyi tempat seorang salik melampahi perjalanan spiritual. Dari sini Arif kemudian berkesimpulan bahwa pemaknaan spiritual atas terma syari'at, akan mengeliminir tafsir radikalis atas syari'at Islam. Bersyari'at akhirnya tidak berurusan dengan peraturan daerah atau polisi syari'ah, tetapi lebih terkait denagn kesiapan batin muslim untuk menapaki tahap-tahap ruhaniah (hlm. 95).

Sementara itu, Islam politik adalah keberislaman yang membutuhkan kekuasaan, untuk menubuhkan ajaran Islam. Hal ini menurut Arif bersifat kontradiktif, karena agama berkait dengan religiusitas, dan religiusitas berkait dengan relung-sunyi spiritualitas. Bagaimana rindu, gelisah, dan dahaga spiritual bisa diobati oleh negara? Maka, Arifpun melihat ketidakmampuan kaum Islamis dalam melihat hawa jahat imanen dalam tubuh negara, yakni hukum besi oligarki. Hukum besi ini mengacu pada sifat sewenang-wenang otoritas politik, baik kesewenangan fisik (represi), maupun kesewenangan diskursif (pemaksaan kebenaran). Segenap otoritas politik, cenderung otoritarian. Maka, ketika dakwah Islam disatukan dengan negara, akan terbentuk double kesewenangan: keagamaan dan kenegaraan. Kesewenangan model ini amat berbahaya, karena mengatasnamakan "yang suci", dan digerakkan oleh lembaga absolut yang dibolehkan melakukan kekerasan (hlm. 105).  

Secara implisit, penulis buku ini telah menggunakan pendekatan budaya atas politik Islam. Jadi, Islamic politico-cultural studies. Hal ini dilakukan penulis untuk mengeliminir radikalisme Islam itu sendiri. Menurutnya, radikalisme menyeruak, karena studi politik Islam yang sarwa Timur-Tengah  dan modernis minded. Bicara politik Islam, ya bicara soal Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, atau pergolakan Darul Islam Indonesia. Pergulatannyapun dibatasi pasca pertemuan Islam dengan modernitas, yang mendedahkan benturan Islamisme dengan isu politik kontemporer, semisal nation state, globalisasi, sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Pengajaran dan penggalian atas corak politik Islam tradisional di kesejarahan Nusantara, amat jarang didedahkan.

Padahal seperti kita tahu, penolakan NU atas negara Islam pada Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin dilatari oleh kesadaran para ulama atas pernah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Melayu ini. Keberadaan kerajaan Islam inilah yang mewariskan struktur politik Islam yang menurut Arif bersifat budaya. Hal ini terlihat misalnya pada warisan islamisasi terbatas oleh Sultan Agung Mataram yang menyatukan kalender Islam dengan penanggalan Jawa. Maka, ketika struktur budaya kita telah terislamkan, tidak dibutuhkan oleh negara Islam. Meminjam kaidah fiqh, hal ini bersifat tahshilul hashil: melakukan hal yang telah dilakukan.

Buku ini menarik, karena berhasrat untuk menindaklanjuti gagasan pribumisasi Islam dari Gus Dur. Arif secara eksplisit mewacanakan apa yang Gus Dur sebut sebagai perwujudan kultural Islam. Jika pribumisasi Islam adalah proses, maka perwujudan kultural Islam adalah hasil. Ia merupakan penjelmaan antropologis atas wujud Islam yang bersifat kultural. Wujud kultural inilah yang menjadi lawan-banding dari radikalisme Islam. Artinya, ketika kaum radikalis hendak mereislamisasi masyarakat melalui negara, maka agenda ini akan terbentur oleh fakta antropologis di masyarakat yang menampakkan wujud kultural Islam yang begitu kuat.

Jadi, mengamini Gus Dur, Arif hendak mewartakan bahwa reislamisasi Islam via politik akan sia-sia, sebab Islam telah mengkultur dalam keseharian masyarakat. Akan tetapi, reislamisasi ini juga berbahaya, sebab ia hendak menempatkan politik di atas kebudayaan. Istilah Arif, determinasi politik atas agama. Artinya, agama yang telah menyatu dalam nafas kebudayaan, hendak dikolonisasi oleh "yang politik" (hlm. 145). 

Buku ini urgen, khususnya bagi kaum nahdliyin yang akrab dengan pola-pola kultural dari Islam Indonesia. Ia memberikan penjelasan rasional atas apa yang sering kita sebut sebagai Islam kultural, serta kemanfaatannya bagi deradikalisasi Islam. Ia menawarkan pendekatan cultural studies atas studi politik Islam. Tentu demi tergalinya Islam bernuansa kebudayaan. Satu hal yang menurut buku ini amat urgen dilakukan oleh muslim Indonesia, di tengah usaha sebagian gerakan Islam yang hendak mempolitikkan Islam. Gestur kebudayaan Islam akan membuat agama ini ramah, moderat, dan mencerahkan. Bukan palu politik yang membuat sebagian muslim berwajah garang, dan sarwa mengkafirkan.  

* Peresensi adalah Santri Pesantren Ciganjur


Terkait