Buku Jadaliyyatul Hiwar: Mengupas Dialektika Dialog Antaragama
Rabu, 27 November 2024 | 09:00 WIB
Sunnatullah
Kontributor
Di tengah globalisasi yang semakin kompleks, dialog antaragama menjadi pilar penting untuk merajut harmoni dan perdamaian dunia. Dialog tidak hanya sebagai sarana untuk saling mengenal, tetapi juga upaya kolektif untuk meredam konflik dan menciptakan kedamaian.
Melalui dialog, pemuka agama dapat berbagi nilai-nilai universal seperti kemanusiaan, keadilan, kasih sayang, dan menghormati keberagaman sebagai rahmat. Dialog juga menjadi lentera yang menerangi jalan menuju kehidupan yang inklusif, berlandaskan pemahaman mendalam tentang kemanusiaan.
Salah satu kitab penting yang berkaitan dengan dialog antaragama adalah "Jadaliyyatul Hiwar: Qiraatun fil Khithabil Islamil Mu’ashir" (Dialektika Dialog: Membaca Wacana Islam Kontemporer), karya Prof. Mariam Ait Ahmed, seorang tokoh penting dari Maroko yang berkontribusi dalam membangun jembatan pemahaman antaragama dan budaya.
Baca Juga
Meneropong Masa Depan Dialog Antar Agama
Dalam sebuah kesempatan, Prof. Mariam Ait Ahmed menceritakan alasan di balik penulisan kitab Jadaliyyatul Hiwar: Qiraatun fil Khithabil Islamil Mu’ashir. Suatu ketika, ia diundang untuk menghadiri dialog antaragama di Eropa, di mana tokoh lintas agama dari berbagai negara berkumpul untuk bertukar pandangan.
Diskusi berjalan hangat, namun di akhir acara, ada klaim mengejutkan yang disampaikan oleh beberapa peserta dari negara-negara Barat: mereka mengklaim bahwa dialog antaragama adalah gagasan pertama yang dicetuskan oleh peradaban Barat dan diajarkan kepada umat Islam.
Klaim ini tentu mengejutkan Prof. Mariam. Sebagai seorang cendekiawan yang mendalami tradisi Islam, beliau merasa bahwa ada kesalahpahaman besar yang perlu diluruskan. Menurutnya, dialog dalam Islam bukanlah konsep yang baru atau diadopsi dari luar.
Baca Juga
PBB dan Mediator Dialog Antar Peradaban
Sejak masa Rasulullah Muhammad saw., dialog antaragama sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai Islam, tercermin dalam interaksi beliau dengan delegasi dari agama lain. Bahkan, bagi Prof. Mariam, dialog antaragama adalah ajaran Al-Qur'an yang sudah ada sejak zaman dahulu, sebagaimana tercermin dalam firman Allah swt:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
Artinya, “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu.” (QS Ali ‘Imran, [3]: 64).
Ayat di atas dan beberapa sejarah Rasulullah yang melakukan dialog dengan pemuka agama lain di masanya menurut Prof. Mariam, merupakan sebuah pemahaman penting yang mendorong dirinya untuk menulis sebuah karya yang menjelaskan secara ilmiah sekaligus historis bagaimana dialog sudah mengakar dalam Islam sejak masa awal. Hingga pada akhirnya, ia memberanikan diri untuk menulis kitab yang dimaksud, kemudian diberi judul Jadaliyyatul Hiwar: Qiraatun fil Khithabil Islamil Mu’ashir.
Sekilas tentang Kitab Jadaliyyatul Hiwar
Sebagaimana telah disebutkan, kitab Jadaliyyatul Hiwar: Qiraatun fil Khithabil Islamil Mu’ashir adalah karya penting yang membahas secara mendalam konsep dialog antaragama dari perspektif Islam kontemporer. Prof. Mariam, dengan pendekatan akademis yang kaya, menjelaskan bagaimana Islam telah memandang dialog antaragama sebagai bagian integral dari ajarannya, bahkan jauh sebelum gagasan ini populer di kalangan Barat.
Kitab ini tidak hanya menawarkan teori atau konsep, tetapi juga analisis kritis terhadap klaim yang menyebutkan dialog antaragama sebagai inovasi Barat yang kemudian diajarkan kepada cendekiawan Muslim. Prof. Mariam berusaha membuktikan bahwa Islam telah lama mengenal dan mempraktikkan dialog lintas agama untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan saling menghargai perbedaan.
Secara garis besar, Jadaliyyatul Hiwar memuat bab-bab yang membahas pentingnya dialog antaragama dalam perspektif Islam, analisis sejarah dan perkembangannya, serta tantangan yang dihadapi masyarakat kontemporer. Berikut adalah ringkasannya:
Bab pertama, al-Bawaitsus Syar’iyah lil Hiwarid Dini fil Islam, membahas motivasi syariat untuk melakukan dialog antaragama. Islam mengakui keberadaan agama lain, dan Nabi Muhammad memberikan teladan berdialog yang menjadi panduan etis bagi para sahabat. Etika dialog dalam Islam menekankan kasih sayang, keadilan, hikmah, serta membangun keharmonisan sosial untuk mencegah konflik antarumat beragama.
Bab kedua, Muqawwamatul Hiwarid Dini fil Islam, menjelaskan elemen-elemen fundamental dalam dialog keagamaan menurut Islam. Dialog diartikan sebagai proses interaksi yang mengedepankan nilai saling menghormati dan kerja sama, dengan dasar-dasar seperti kemanusiaan, persatuan, kebebasan, dan keadilan.
Unsur dialog yang efektif meliputi keterbukaan, pengetahuan, kejujuran, kesopanan, empati, dan kelembutan dalam berargumen, yang menjadi landasan penting untuk menciptakan dialog yang harmonis.
Bab ketiga, al-Hurriyyatud Diniyah Asasul Muwathanah wa Huquq al-Insan, membahas kebebasan beragama sebagai landasan kewarganegaraan dan hak asasi manusia. Islam menghormati hak hidup, kebebasan, dan keadilan bagi pemeluk agama lain, serta menjelaskan Piagam Madinah yang menjadi jaminan hak dan kebebasan warga negara dalam menjalankan agama dan keyakinannya tanpa takut terintimidasi.
Bab keempat, al-Hiwar wal Wajibul Hadhari fi Qadlayal Ishlah wat Tajdid, membahas dialog dan tanggung jawab peradaban dalam menghadapi isu-isu reformasi dan pembaruan.
Di dalamnya dibahas hubungan antara Islam dan Barat dalam berbagai dimensi, seperti politik, ilmu pengetahuan, budaya, dan misi keagamaan. Dialog menjadi strategi penting untuk menjembatani perbedaan dan merancang pembaruan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Bab kelima, sebagai bab terakhir, membahas hubungan umat Islam dengan dunia luar, dan bagaimana pemahaman diri menjadi kunci untuk memahami orang lain. Bab ini juga mengulas bagaimana umat Islam harus merespons stereotip yang ada serta pentingnya komunikasi efektif, baik di tingkat internal umat Islam maupun dengan pemeluk agama lain, tetap memperhatikan kepentingan bersama.
Kitab ini memberikan kontribusi penting dalam membangun dialog antaragama yang harmonis dan penuh pengertian. Prinsip-prinsip dasar hubungan antaragama dijelaskan dengan luas, menjadikannya referensi yang layak bagi siapa saja yang peduli pada perdamaian global dan keharmonisan antarumat beragama.
Dan tentu saja sangat beruntung, peserta Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko yang berjumlah 15 orang dari pesantren-pesantren ternama Indonesia, peraih Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, mendapatkan kesempatan untuk mendalami dan mengkaji kitab ini di bawah arahan dan bimbingan penulisnya secara langsung. Wallahu a’lam.
Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
3
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
4
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
5
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
6
Membedakan Bisyarah dan Money Politics Jelang Pilkada
Terkini
Lihat Semua