Penulis : Ahmad Zakki Fuad
Peresensi: Heppy Ikmal
Penerbit: Jenggala Pustaka Utama, Kediri
Cetakan: Pertama, Juli 2007
Tebal: x + 230 Hal
Wacana ke-khalifahan (negara Islam) akhir-akhir ini semakin marak diperbincangkan, baik dalam lingkup kampus maupun yang berskala internasional. Sebagai klimaksnya, 18 Agustus 2007 lalu, diselenggarakan Konferensi Khilafah Internasional di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.<>
Selain itu, adanya desentralisasi oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah yang memberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah juga memunculkan sejumlah peraturan daerah yang bernuansa syariat Islam. Hal ini mengindikasikan betapa seriusnya para tokoh Islam yang ingin mendirikan ke-khalifahan.
Jika kita menengok ke belakang, sejarah akan mengatakan bahwa sejak dulu ada spektrum-spektrum pemikiran politik kenegaraan oleh tokoh Islam yang menginginkan Islam secara formal sebagai dasar hukum, atau bisa dikatakan Islam masuk dalam struktur sistem politik.
Berangkat dari wacana tersebut, Zakki Fuad dengan karyanya ini ingin memberikan gambaran politik dan kenegraan di dunia Islam. Dimulai dari dasar dan dinamika pemikiran oleh para tokoh Islam hingga politik kenegaraan di Indonesia. Dalam konteks sekarang ini, kehadiran buku ini menjadi penting sebagai pijakan untuk menjawab sekaligus referensi untuk mengaktualisasikan konsep kenegaraan.
Meski kehadiran buku ini bukanlah jawaban atas politik kenegaraan yang selama ini banyak diperbincangkan, Apa Negara Islam atau Negara Nasional? Seperti yang tertera dalam judul buku. Buku ini memberikan pilihan kepada para pembaca untuk menjawab permasalahan tersebut. Netralisasi paradigma yang dipakai oleh penulis yang tidak akan menggiring para pembaca untuk terperangkap oleh paradigma tertentu.
Pada bagian pertama buku ini, dikemukakan perpindahan (hijrah) umat Islam ke Madinah. Hijrah tersebut merupakan untuk pertama kalinya umat Islam membentuk komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Dan di atas naungan Piagam Madinah berbagai komunitas, beragan suku dan agama diaturnya.
Piagam Madinah merupakan konstitusi pertama yang terbentuk dalam kenegaraan Islam, yang mengatur tatanan sosial, ekonomi, politik dan kenegraan. Bahkan, militer pun masuk di dalamnya. Kehadiran Piagam Madinah mempersatukan komunitas menjadi satu ikatan negara yang berdaulat serta menciptakan persamaan hak antara yang satu dengan yang lain. Hubungan antarkomunitas Islam dengan komunitas lain didasarka pada prinsip; bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama. Hal.23. yang membedakan tulisan ini dengan yang lain adalah dipaparkannya Piagam Madinah yang diriwayatkan oleh Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, yang dalam khasanah keilmuan, keduanya dianggap sebagai ilmuwan yang meriwayatkan secara lengkap dan sistematis.
Tetapi, Piagam Madinah bukanlah merupakan konsep kenegaraan dalam Islam, ia merupakan salah satu petunjuk yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Terjadinya polemik di antara para sahabat setelah wafatnya Nabi, dalam menentukan pengganti Nabi, para sahabat sampai menunda-nunda pemakaman Nabi sampai tiga hari. Peristiwa yang sempat menggoreskan tinta dalam sejarah Islam ini patut dijadikan pelajaran bahwa di dalam Islam tidak ada konsep politik dan kenegaraan yang baku dan harus diikuti oleh umatnya.
Selanjutnya, pada bagian kedua buku ini, Zakki Fuad mengalihkan pembahasanya pada dinamika pemikiran politik dan kenegaraan para tokoh Islam. Di sini, dipaparkan grand theory yang masih global. Sekilas, kalau kita baca, terdapat perbedaan pemikiran di antara para tokoh. Mulai dari al-Mawardi, Ibnu Taimiyah, Sheh Waliyullah ad-Dahlawi, Rifat at-Tahtawi, Sayid Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, Musthafa Kamil, Musthafa Kemal at-Taturk, Husin haikal, Ali Abdur Roziq, Abul A’la al-Maududi dan Hasan Hanafi. Selain pemikiran, bagi pembaca yang ingin mengetahui konteks yang memanifestasi pemikiran tersebut, juga turut dipaparkan sebagai kelengkapan buku ini.
Untuk dinamika pemikiran poliltik dan kenegaraan Islam di Indonesia, Zakki Fuad menaruhnya di bagian akhir-layaknya kita diberi pemikiran, kemudian didorong untuk merefleksikan. Dalam konteks Indonesia ini, ia mengelompokkan menjadi tiga periode. Pertama, priode pra kemerdekaan (1911-1945). Dalam priode ini, terjadi penyadaran bagi rakyat Indonesia untuk berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya bernegara Islam. Periode kedua, priode pasca kemerdekaan (1945-1965), pada priode ini terjadi perdebatan antara kalangan pembela Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan kalangan nasionalis-sekuler yang berpandangan bahwa agama merupakan urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya, yang kemudian dalam sidang BPUPKI terdapat kesepakatan dalam bentuk Piagam Jakarta. Dan, pada sidang PPKI terjadi pencoretan sila pengiring ketuhanan dan istilah Islam dalam pasal Undang-undang Dasar. Pada priode ketiga, munculnya Orde Baru sampai 1980-an. Upaya untuk membentuk negara Islam mulai ditinggalkan, orientasi kemudian beralih untuk mencari alternatif-alternatif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Alternatif tersebut menggambil dua pendekatan, yaitu pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Pendekatan kultural menginkan masyarakat yang Islami, sedangkan pendekatan struktural menginginkan struktur atau sistem yang Islami.
Akhirnya, dari pembahasan awal sampai akhir, kita akan menemui banyak dinamika pemikiran. Karena, dalam Islam sendiri tidak ada aturan baku mengenai konsep negara. Hal ini mengindikasikan elastisitas Islam sebagai agama rahmatan lil alamin dan bukan sebagai agama dengan satu model saja. Akan tetapi, keragaman budaya dan etnis. Karenanya, persoalan politik maupun kenegaraan, dalam Islam diserahkan pada umatnya untuk dikontekstualisasikan sesuai zaman dan tempat mereka tinggal.
Maka dari itu, kita dituntut untuk menyesuaikan konsep politik dan kenegaraan sesuai dengan kondisi kita sekarang. Dengan hadirnya buku ini, kita bisa mengetahui percaturan pemikiran politik dan kenegaraan dalam dunia Islam sebagai refleksi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dengan pertimbangan wacana maupun bahasannya, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan. Khususnya bagi kaum Muslim untuk dapat bersatu yang harmonis dengan berbagai perbedaan-suku, adat, ras dan agama-yang melikupinya, yang merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan.
*Peresensi adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur.