Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Editor : Tsanin A. Zuhairi, S,Hi, M.Si.
Prolog : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I; 2009
Tebal : vii + 224 halaman
Peresensi : Anwar Nuris*
Verba volant, scripta manent
(kata-kata akan sirna, tulisan akan membuatnya abadi)
Di tengah maraknya santri pesantren saat ini yang sindrom jejaring sosial semacam Facebook sebagai media sharing dan menulis, terdapat anekdot menarik yang berkembang dikalangan mereka. Seorang santri yang tidak mau dan mampu menulis, ibarat burung bersayap satu. Burung itu hanya mampu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, atau terbang pendek dari satu pohon ke pohon lain yang jaraknya sangat dekat. Santri yang tidak mau menulis hanya mampu mengaji dan mengkaji dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Santri yang mau menulis akan mampu mengembangkan pemikiran dan ilmu mereka lebih luas, tanpa dibatasi oleh sekat apapun, terlebih di era digital seperti sekarang ini.<>
Mereka (santri) sepertinya tersihir oleh lembar sejarah kepenulisan para pendahulunya. Aviecena (Ibnu Sina) yang dikenal karena kepakarannya di bidang kedokteran. Buah karyanya berjudul al-Qanuun fit-Thibb menjadi rujukan beberapa fakultas kedokteran di Barat. Bahkan dengan karyanya itu, ia dinobatkan sebagai bapak kedokteran dunia. Selain itu ada Imam al-Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin yang konon menjadi rujukan negeri Barat dan Eropa selama lebih kurang 7 abad lamanya. Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi sang profesor Matematika, Ibnu Al-Haytam yang ahli Eksprimentalis, Al-Biruni sang pegiat Fisika, Ar-Razi yang menggeluti ilmu Kimia, dan masih banyak yang lainnya.
Buah pemikiran cendikiawan yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Berkat buku yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan telah menjadikan dunia lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison yang telah menemukan listrik. Manusia bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan sarana kereta api berkat mesin uap yang ditemukan James Watt. Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.
Dalam konteks Indonesia, Tradisi kepenulisan juga amat kuat. Banyak cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya tulis yang lain. Mayoritas dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.
Sebagaimana kita ketahui, pesantren memiliki tradisi unik dan unggul yang jarang didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (salafus shalih). Pola gerakan yang dilakukan ulama salaf untuk memperoleh dan mentransformasikan keilmuannya tidak hanya membaca dan mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.
Mereka (ulama salaf) mampu melahirkan dan mewariskan karya-karya tulis yang ternyata masih dipelajari oleh berbagai pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kiai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky adalah di antara para punggawa pesantren di Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.
Selain mereka, “santri Indonesia” yang lain juga banyak menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al-Alim wa al-Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al-Ghayah al-Ushul. Rata-rata tulisan mereka tetap di baca saat ini bahkan menjadi referensi utama dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.
Dus, santri sebagai salah satu elemen pesantren tidak hanya ta’dzim terhadap pemikiran gurunya, tetapi juga patuh dan meniru dalam usaha mendapatkan pemikiran kreatif. Kreatifitas menulis yang dikembangkan kaum santri akan menjadi media dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti. Pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren.
Oleh karena itu, persepsi yang berkembang bahwa tradisi menulis di kalangan santri kini lengang dan seakan mati suri itu tidak benar adanya. Buku Jalan Terjal Santri menjadi Penulis ini hadir sebagai bukti bahwa kaum santri intelektual (pesantren) telah "berusaha" mengikuti gerakan pena para pendahulunya meskipun hanya sebatas tulisan pendek (opini, artikel, antologi sastra, kolom, dan lain-lain) yang tersebar di media massa maupun elektronik.
Buku ini juga sebagai antitesa terhadap anggapan mayoritas masyarakat bahwa menulis itu adalah bakat. Faktanya, menulis dapat dipelajari asal ada kemauan, keberanian, dan ketekunan berlatih. Dengan kemauan kuat, setiap orang akan mahir menulis. Membaca teori saja tidak pernah cukup. Ibarat orang belajar berenang, kalau hanya membaca teori tanpa pernah mempraktikkan, tentu dia tidak akan bisa berenang. (hal. 20-21)
Buku setebal 224 halaman ini merupakan kumpulan tulisan (curhat) tentang lika-liku penulis pemula maupun yang sudah agak tua dalam upaya mnyuratkan ide yang tersirat. Mereka yang mayoritas santri asli Jawa Timur ini sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Mereka aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Adalah Rijal Mumazziq Zionis, Noviana Herliyanti, Nur Faishal, Mohammad Suhaidi RB, Ach. Syaiful A’la, Azizah Hefni, Ahmad Muchlish Amrin, Salman Rusydi Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, Fathorrahman JM, dan Hana Al-Ithriyah.
Dengan menulis mereka dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada di hati. Menulis jelas sangat membantu mereka untuk mengatasi rasa sok tahu. Menulis dapat membuat diri lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.
Dari tulisan-tulisan mereka dalam buku ini dapat diketahui bahwa jalan terjal yang dimaksud yaitu; memelihara keinginan dan semangat yang kuat, manajemen waktu yang mapan, banyak membaca dan berfikir, optimistis, komitmen dan idealisme yang tinggi, membebaskan diri dari keterikatan rasa salah, serta mencari dan menemukan tanpa menunggu berpangku tangan.
Sebuah buku yang melelahkan hingga mata tak mau terpejam.
* Peresensi adalah alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya