Menyimak Reformasi di Tingkat Lokal
Reformasi merupakan salah satu istilah popular yang muncul setiap saat sebagai wacana publik. Dari mulai diskusi yang berlangsung di ruang-ruang seminar, sampai obrolan warung kopi, kata reformasi hampir selalu tampil sebagai topik utama pembicaraan. Reformasi politik juga menjadi sebuah agenda penting yang bukan saja mendorong tumbuhnyani partisipasi masyarakat, namun juga ekspresi penataan politik di tingkat negara. Namun tentu saja, patut dipanjatkan harapan agar reformasi tidak mengalami inflasi dan pemerosotan makna karena terlalu sering digunakan di luar konteks.
Sebagai sebuah hasil dari penelitian di berbagai daerah, buku ini memperlihatkan kenyat<>aan terutama pada tingkat lokal bahwa proses reformasi politik di Indonesia memiliki banyak rupa dan warna. Jika ditingkat nasional reformasi banyak berkait dengan persoalan rotasi kekuasaan dan reformulasi lusinan regulasi negara, maka reformasi di tingkat lokal terasa seperti pembalikan secara mendasar sebagian besar pola-pola realsi kekuasaan intra negara, negara dan masyarakat, serta intra masyarakat.
Repotnya negara di tingkat lokal seolah bukan saja kalah cepat, tetapi juga kerap kalah lihai dibandingkan masyarakat. Bahkan dalam banyak hal, kasus reformasi menunjukkan adanya tipikal taktik kaum lemah dalam menghadapi kekuasaan otoriter, yakni dengan pemanfaatan ruang pemaknaan di pinggiran pentas-pentas politik, ketika negara di tingkat lokal masih sibuk dengan pembenahan diri yang seolah tak pernah akan usai.
Sementara pada tingkat akar rumput, reformasi umumnya dimaknai sebagai “pembebasan” dari segala simbolisasi kekuasaan negara. Maka tak heran, jika ekspresi-ekspresi awal euforia reformasi di tingkat lokal banyak mengambil rupa perlawanan terhadap, misalnya, kepala desa, pendudukan tambak dan kebun oleh masyarakat, dan semacamnya.
Hal tersebut tentu bukan ingin mengatakan bahwa reformasi politik hanya menarik dilihat dari aspek perlawanan masyarakat terhadap simbol-simbol negara semata-mata. Hanya saja, buku ini ingin menunjukkan pentingnya untuk memahami bahwa arus-arus reformasi politik di tingkat lokal berjalan jauh lebih menarik ketimbang apa yang terjadi di tingkat nasional.
Oleh karena itu, berbeda dengan buku tentang reformasi lainnya yang sudah banyak beredar yang sebagian besar memotret dinamika sosial-ekonomi-politik yang berlangsung di pusat, buku ini hendak mengajak pembaca untuk lebih banyak menyoroti dan mengungkap dinamika reformasi yang terjadi di tingkat lokal. Bagaimana dinamika politik lokal yang telah dan sedang berjalan hingga saat ini ternyata sering melahirkan segudang persoalan. Dari mulai persoalan pergeseran format poitik dari bureaucratic government kepada party government, perubahan karakteristik relasi kekuasaan, hingga menguatnya semangat “daerahisme” dalam interaksi politik di tingkat lokal.
Seperti ditulis oleh Riswandha Imawan dan Mada Sukmajati dalam buku ini misalnya, mereka menunjukkan bahwa seringnya terjadi tarik menarik kepentingan antara politisi dan birokrasi di daerah sebenarnya memang menunjukkan adanya kehidupan politik yang dinamis. Namun di sisi lain, hal itu sekaligus menunjukkan kalau otonomi daerah belum sepenuhnya bisa mendorong partisipasi masyarakat secara otentik, dan masih rawan intervensi pusat. Dan kalau dulu intervensi dilakukan lewat birokrasi, maka sekarang intervensi bergeser melalui jalur partai politik.
Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di berbagai daerah penguatan legislatif ternyata tidak dibarengi oleh rancangan agenda yang disepakati bersama eksekutif. Akibatnya, penguatan tersebut belum banyak membawa implikasi positif bagi demokratisasi, dan bahkan membawa persoalan dalam hubungan eksekutif-legislatif di daerah.
Pada titik inilah sebenarnya, reformasi lokal seringkali melahirkan kompleksitas persoalan yang luar biasa, yang belum terbayang sebelumnya. Diantaranya, dalam hal keuangan, reformasi lokal yang merupakan wujud dari desentralisasi, kerapkali disebut sebagai desentralisasi korupsi, akibat berpindahnya lokus penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Ini bisa terihat dengan banyaknya fenomena “membeli uang” oleh pejabat daerah dengan memanipulasi data kondisi daerah.
Buku ini juga menggarisbawahi bahwa salah satu keruwetan penataan reformasi lokal dalam otonomi daerah adalah adanya regulasi politik, seperti UU tentang kepartaian, yang belum mampu menciptakan mekanisme rekrutmen politik yang mampu melahirkan aktor yang memiliki kemampuan mengelola kekuasaan pemerintahan pada level lokal secara baik dan bertanggungjawab.
Seluruh isi buku ini berusaha untuk menyo