Pustaka

Kewargaan Multikultural

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Sudah menjadi kodrat bahwa kehidupan dunia ini bersifat plural, tidak tunggal, baik karena factor alam, factor sejarah, factor social maupun politik, karena itu perwatakan kehidupan menjadi multicultural, karena masing-masing komunitas mengekpresikan aspirasinya sesuai dengan lingkungan budaya masing-masing. Adalah ulah manusia yang hegemonic yang berusaha menumpas multikulturalisme, baik atas nama kemurnian ideologi, kesatuan agama, keutuhan dinasti atau kemurnian ras. Dalam cara pandang itu semua komunitas yang diluar dirinya dianggap ancaman, karena itu harus ditaklukkan kalau perlu dihancurkan, di situlah kolonialisme dan imperialisme kebudayaan dimulai.

>Buku karangan Will Kymlicka, ini berusaha menguraikan bagaimana ketegangan antar kelompok, ras, etnis atau agama, yang terjadi di Barat. Bahwa perkembangan masyarakat Barat sangat berbeda dengan masyarakat Timur yang bertahap, maka Barat dengan mesin kolonialisme dengan persenjataan yang lengkap mampu menciptakan komunitas baru melalui penaklukan. Dalam penaklukan itu etnis setempat dihancurkan, sehingga hampir punah. Bagaimana nasip orang Aborigin di Australia, etnis Mauri di New Zealand, Indian di Amerika dan Kanada dan berbagai ras yang hampir punah di Amerika Latin, karena kedatanagan penjajah Eropa yang berkulit puti.

Penaklukan daerah frontier oleh par<>a koboi, itu sangat jelas tergambar dalam berbagai film Dances With Wolf, atau The Last Mohican, bagaimana suku-suku asli diburu dengan menggunakan senapan, seperti berburu, rusa. Bagaimana orang Indian tidak mengalami kepunahan dengan cara semacam itu. Tidak hanya hak memerintah dimiliki, sekadar hak paling dasariah untuk hidup saja sudah tidak mereka miliki. Setelah hampir punah dan tprotes dunia yang begitu keras baru kelompok itu dilindungi, seperti melindungi binatang langka, karena mereka tetap tidak memiliki kedaulatan atas diri mereka sendiri. Dalam situasi yang sudah kesiangan seperti itu ilmuwan dari Kanada, Will Kymlicka menulis buku ini, sebagai upaya agar hak-hak kaum minoritas itu bisa dilindungi.

Di dunia Barat memang tidak ada konflik etnis, dan ansionalisme telah begitu kokoh, bukan karena aspirasi etnosentrisme ttelah hilang, melainkan nasionalisme Eropa telah berhasil menumpas pluralisme, sehingga kolonislisme eksternal (ke Asia dan Afrika) telah didahului kolonialisme internal, penjajahan atas etnis moniritas di Eropa sendiri. Tidak ada konflik karena lawan konflik sudah dimusnahkan.

Teori itu bersifat post factum, dan dirumuskan berdasarkan peristiwa di daerah tertentu, karena itu tidak banyak berguna bagi pembaca Indonesia, sebab pengalaman menjadi bangsa yang plural lebih lama di alami bangsa ini. Justeru dengan hadirnya politik Barat yang berasas pada efektivitas dan efisiensi, semua diseragamkan agar mudah mengaturnya, ini teori modernisai Barat yang diadopsi oleh rezim orde baru, sehingga pluralisme Indonesia menjadi terganggu. Tetapi Pasca Reformasi puralisme muncul kembali, dan pluralisme, mendapat apresiasi. Aspirasi etnis yang selama ini dianggap sebagai egoisme local, telah dianggap sebagai tuntutan yang wajar. Bakan teori akademik yang sangat diskriminatif terhadap nilai-lokal yang dianggap premitif, sekarang telah dihargai sebagai kearifan yang perlu diapresiasi.

Menegakkan prinsip kulturalime memang berat, sikap pluralisme yang ditampilkan NU sepanjang s ejarahnya dengan mengapresiasi kebudayaan local, baik kesenian adat –istiadat dan kepercayaan membuat NU selama-lamanya dicap sebagai bid’ah, khurafat dan musyrik, yang kemudian dikenal secara akademik sebagai kelompok sinkretik. Demikian halnya menegakkan pluralisme dan multikulturalisme dalam politik dan agama juga tidak kalah beratnya, harus berani menggung risiko yang berat. Bagaimana kegigihan NU dalam membela hak minoritas Tionghoa, kelompok Kristen, sekte-sekte Islam minoritas seperti Syiah, Ahmadiah, Bahaiah dan sebagainaya mengakibatkan NU dimusuhi oleh negara dan umatyang anti pluralisme.

Begitu juga perlindungan terhadap ideology minoritas, mislanya perlindungan terhadap kelompok kiri PRD atau aktivis LSM yang tertindas, membuat NU berhadapan dengan negara saat itu. Begitu juga perlindungan gerakan mahasiswa pro-reformasi yang distigma sebagai kelompok komunis dan non Muslim, sehingga menjadi sasaran amuk kelompok Islam Pam Swakarsa, maka mahasiswa menjalankan misinya dengan aman s etelah mendapat perlindungan Banser. Untuik melindungi kelompok tertindas berapa banyak Banser yang menjadi korban, dalam beberapa pengeboman gereja Bnser yang gigih menyelematkan kebebasan beragama malah tewas terkena bom.

Bagi NU pluralisme dan multikulturalisme itu telah menjadi nature (tabiat, watak) bukan stretegi politik sperti pluralis yang lain. Tetapi celakanya kaum minoritas sering teridap sindrom minoritas, sehingga mereka siap untuk ditindas, atau suka ikut yang kuat, tak perduli apakah yang kuat itu dekratis atau represif. Ini terbukti ketika pemerintahan Abdurrahman Wahid sedang menjalankan program demokrasi, memberikan kebebasan beragama, dan berekspresi, ketika mendapatkan tekanan dari kelompok anti demokrasi, kelompok minoritas yang dibela dan dilindungi, tiarap bahkan turut menjegal agenda pluralisme yang sedang dibangun Wahid, maka hanya kekuatan NU dan beberapa kalaangan aktivis yang konsisten membela pluralisme dan demokrasi yang dikembangkan Wahid.


Terkait