Moh. Sholeh pernah menjabat sebagai ketua PMII Jakarta Pusat (1997-1998), pada tahun 2000-2002 ia Fungsionaris PB PMII, ia pun banyak berkecimpung sebagai peneliti di Komisi VIII DPR RI dan Indonesia Politician Index, Jakarta. Penelitian nya yang ia ajukan untuk memenuhi syarat kelulusan S2 Konsentrasi Pemikiran Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan buku ini. Buku ini terasa unik juga diakronik. Karena Ia memaparkan sejarah kelembagaan kekuasaan dan politik Islam, secara jernih, runtut dan renyah.
Terasa unik karena ia memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap relasi antara agama dan politik, dalam pengantarnya ia mengatakan bahwa dalam perspektif tali-temali agama dan politik, terdapat dua pertanyaan mendasar, yaitu agama dalam arti what does religion do for other? Dan what is religion? Menurut Moh Sholeh, secara empirik bagi umat Islam terdapat tiga paradigm terkait dengan relasi Islam dan Politik.
Pertama, Integrated Paradigm, yang menyatakan bahwa wilayah agama merupakan lembaga keagamaan sekaligus lembaga politik. Pemerintah Negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (divine sovereignty), secara faktual model ini dijalankan di Iran. Kedua Symbiotic Paradigm,yaitu pandangan yang menyatakan bahwa agama dan Negara berhubungan secara simbiotik, dalam arti berhubungan secara timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini Negara membutuhkan agama sebagai pijakan kekuatan moral sehingga dapat menjadi alat mekanisme kontrolnya.
Di antara ulama yang pemikirannya bias digolongkan dalam model ini adalah Imam al-Mawardi. Ulama lain yang pemikirannya masuk kedalam paradigm ini adalah Imam al-Ghazali. Ketiga, Secularistic Paradigm, yang memandang relasi antara agama dan dan Negara harus terpisah. Pandangan inilah yang menolak dengan tegas Paradigm Integrated maupun symbiotic. Dalam pandangan secularistic paradigm tugas Nabi Muhammad SAW tak lebih dari tugas kenabian bukannya kekuasaan (innaha nubuwah la mulk) sebagaimana nabi terdahulu.
Masih dalam pandangan secularistic paradigm, Moh. Sholeh menjelasaskan bahwa urusan keduniaan Nabi SAW diserahkan kepada umatnya (antum a’lamu bi umuri dunyakum), termasuk urusan politik. Lebih jauh secularistic paradigm ini menyatakan bahwa islam tidak memiliki kaitan apapun dengan sistema kekhalifahan, sehingga sistem kekhalifahan adalah tergolong urusan duniawi murni. Secara umum pendukung secularistic paradigm ini selalu menyuarakan bahwa belief is one thing, and politics is another. Pandangan atas secularisticparadigm ini diusung oleh Al-Syaikh Ali Abdu al-Raziq.
Sejarah membuktikan bahwa setelah Rasulullah Muhammad SAW kembali keharibaan-Nya, persoalan yang muncul justru bukan masalah aqidah, melainkan politik. Saya sangat setuju dengan Penulis Buku ini, agama dan Negara sebagai inti politik merupakan dua institusi yang mempunyai pengaruh besar dan kuat bagi manusia. Hanya untuk agama dan Negara, terkadang manusia rela mengorbankan dirinya, baik harta maupun nyawa. Tentu dengan motif yang relatif pula, baik dalam rangka mendapatkan gelar syahid dalam pandangan agama, atau mendapat gelar pahlawan dalam pandangan Negara.
Dalam buku ini seolah-olah Moh. Sholeh ingin mengajak kita untuk mengingat kembali bahwa dalam sejarah, khilafah dikenal sebagai institusi politik Islam pengganti atau penerus Rasulullah SAW sebagai pembuat hukum dalam urusan agama dan politik. Terlepas dari secara etimologis kata khilafah yang berarti perwakilan atau pengganti. Konsep Khilafah yang sampai pada generasi kita ini apakah murni untuk mendapat gelar Syahid? Pahlawan? Atau memang sudah bergeser pada kepentingan lain? Moh. Sholeh menguraikan mengenai itu semua, termasuk bagaimana suksesi gerakan Khilafah melalui Revolusi, Sistem Negara Islam Klasik: Akar Teori Khilafah, termasuk pergulatan Formulasi Teori Khilafah.
Lebih jauh lagi, dalam buku ini membahas bab-bab yang tidak terjangkau oleh penulis lain, yang menyoroti dan mengkritisi gerkan Khilafah, Moh. Sholeh menyuguhkan beberapa bab khusus mengenai bentuk-bentuk Negar dalam Islam, diantaranya ada; Khilafah, Mulk, Daulah, Imamah. Bab yang tidak kalah menarik adalah ketika ia bercerita tentang berbagai macam Organisasi Pengusung Restorasi Khilafah. Dengan bahasa yang sangat mengalir, saya dibuat tercengang oleh Moh. Sholeh, karena ia mengungkapkan data bahwa bukan hanya Hizbut Tahrir Islami saja yang mengusung Restorasi Khilafah, Ada empat organisasi yang disebutkan oleh Dosen Universitas Islam Attahiriyah Jakarta ini. bahkan organisasi ini benar-benar diluar dugaan saya.
Karya Moh. Sholeh ini dapat kita pakai sebagai petunjuk memahami pernak pernik seputar Khilafah, mulai dari kisah dramatis Musthafa Kaml Attaruk, Ali Abdul Raziq, Hassan Al-Banna, Muhammad Bin Abdul Wahhab, Wahabisme, Saudi Arabia dan Tanah Kaum Salafi. Hingga pola Suksesi dalam Institusi Negara Khilafah dari Khulafa’ al-Rasyidin sampai periode Turki Usmani. Setelah Istana Publishing Yogyakarta menerbitkan dalam buku ini, masihkah secara buru-buru kita mengklaim bahwa Khilafah adalah ancaman untuk Negara Indonesia? Sedangkan dari Judul bukunya saja sudah sangat jelas bahwa “Khalifah Sebagai Produk Sejarah, Bukan Produk Syari’ah.”
Buku ini menyuguhkan ulasan mendetail, runtut dan diutarakan dengan sangat apik oleh Moh. Sholeh mengenai perjalanan Khilafah di Era Modern, dari Kongres ke Kongres; Kongres awal, efek Libia dan Iran, Kongres-kongres kelompok, hingga konferensi Khilafah di Jakarta pada tahun 2007. Termasuk diakronik karena dalam buku ini juga membahas tentang Khilafah, Sekularisme dan Nation State; Pengalaman Bangsa-bangsa Muslim musal persinggungan. Mulai dari Turki Usmani, Arab, Mesir, Aljazair, Iran, Asia Selatan, Indonesia Hingga Malaysia.
Karena kehati-hatian (penulis) dalam mengutip pendapat para ulama, ahli dan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat memaknai kesejatian khilafah, saya kira karena itulah buku ini sangat demokratis dan memberi tawaran yang sangat istimewa kepada Para pendukung dan pengikut Khilafah di Indonesia yang barangkali ingin kembali mencintai Negaranya sendiri?
Sebagaimana realitas empirik menunjukkan bahwa masih banyak diantara Umat Islam yang menyadari bahwa tatanan masyarakat Madinah yang didirikan oleh Muhammad SAW adalah identik dengan “Negara” yang plural secara suku dan keyakinan agama. Mereka terdiri dari suku-suku Arab Islam, baik dari Makkah dan Madinah, serta suku-suku di luar keduanya. Masyarakat Madinah juga terdiri dari suku-suku Yahudi, Nasrani, Majusi, bahkan mereka masih musyrik. Sebagai landasan Negara baru tersebut, saat itu Rasulullah SAW memproklamasikan “Konstitusi Dasar” yang kemudian lebih dikenal dengan nama “Mitsaq Madinah” atau piagam Madinah.
Perlu kita ingat lagi, bahwa dengan Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal itu. Nabi SAW telah meletakkan sendi-sendi kehidupan Nation State untuk masyarakat yang majemuk secara etnis dan agama yang mana secara jelas inti pasal-pasal Piagam Madinah dilukis dengan tinta baru dalam buku Ini. Lebih lanjut, mukaddimah Piagam Madinah tersebut menegaskan bahwa semua penduduk Madinah yang bersifat majemuk itu adalah satu bangsa (innaha ummah wahidah).
Berdasarkan oenegasan itu pula para kiai di Indonesia berpendapat bahwa bangsa dibangun dan didirikan tidak berdasarkan agama saja (based on religion), tetapi berdasarkan pluralitas (based on plurality). Berdasarkan piagam tersebut mereka meyakini bahwa NKRI yang berdasarkan UUD 1945 adalah upaya final bagi umat Islam dalam rangka mendirikan sebuah Negara.
Hadirnya buku yang berani mengungkap sejarah seperti ini tidak bisa dihindarkan dari ruang public kita, terutama untuk generasi yang kurang memahami sejarah Islam dan Politik dunia. Karena setelah Rasulullah wafat, yang pertama menjadi agenda perbincangan umat Islam adalah peroalan politik tentang suksesi beserta agenda kelompok-kelompok yang muncul setelah itu.
Kembali pada pertanyaan awal, apakah setelah resmi dibubarkan oleh Menteri Hukum dan HAM di Indonesia, masihkah saudara kita Hizbut Tahrir Indonesia tetap menolak pluralisme, kebhinekaan, dan kesaktian Pancasila? Ingin menjadi Pemberontak di Negaranya sendiri? Atau ingin menjadi Syahid di Hadapan Allah? Jika HTI tetap memegang teguh prinsip Khilafah Islamiyahnya, bias jadi hal itu karena HTI menganggap bahwa Khilafah Islamiyah merupakan Produk Syariah, bukan Produk Sejarah.
Upaya Penulis buku yang pernah menimba ilmu di Pesantren al-Basyariyah, Darul Hikam, Darunnajah dan Pesantren Tegalsari Ponorogo ini patut diapresiai. Semoga buku dengan ketebalan 236 halaman ini bisa memperkaya pengalaman kita. Aamiin
Identitas buku:
Judul Buku : Khilafah Sebagai Produk Sejarah, Bukan Syariah
Penulis : Moh. Sholeh
Penerbit : Istana Publishing, Yogyakarta
ISBN : 978-602-60586-5-2
Ketebalan : 236 Halaman
Cetakan : Pertama, 2017
Peresensi : Ahmad Ali Adhim, Santri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Yogyakarta.