Pustaka

Kiai Ahmad Dahlan, Pejuang NU yang Terlupakan

Senin, 16 November 2015 | 01:30 WIB

Mungkin kita sebagai Nahdliyin sering mendengar nama sekaliber KH Hasyim Asy’ari ataupun KH Wahab Chasbullah, namun kita jarang bahkan tidak mengenal nama KH Ahmad Dahlan. Beliau merupakan salah satu tokoh NU pada era awal yang menjabat sebagai wakil rais aam, satu tingkat di bawah KH Hasyim Asy’ari yang menjabat sebagai rais akbar Nahdlatul Ulama, juga sebagai penggerak dan pembela ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.<> Seperti yang dikatakan oleh Soekarno tentang Jasmerah (angan sekali-kali melupakan sejarah), kita sebagai Nahdliyin dilarang keras untuk melupakan sejarah kita sendiri. Dengan mengenal tokoh-tokoh awal NU, kita dapat meneladani bagaimana perjuangan serta pengorbanan para muassis NU yang tidak hanya menegakkan agama tetapi juga menegakkan berdirinya NKRI hingga dapat kita rasakan sampai saat ini.

Adalah Wasid Mansyur yang berhasil menuangkan dalam sebuah buku tentang biografi, sejarah perjalanan, serta komitmen beliau. Buku ini juga berhasil mengulas pemikiran Kiai Dahlan untuk membentengi akidah rakyat Surabaya pada waktu itu yang mulai terserang virus TBC (Takhayyul, Bid’ah, Churafat) yang disebarkan oleh firqah di luar Ahlussunnah wal Jamaah atau yang biasa dikenal dengan sebutan Wahabi dalam magnum opusnya yaitu kitab “Tadzkiratun Naf’ah”. Buku ini juga disertai bukti sejarah, sehingga apa yang ditulis dalam buku ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta tidak sekedar asal bunyi (asbun).

Kiai Dahlan bernama lengkap Ahmad Dahlan ibn Muhammad Ahyad, terlahir pada 13 Muharram 1303 H yang bertepatan dengan tanggal 30 Oktober 1885 di Kebondalem Surabaya, sebuah wilayah yang berada di Kecamatan Simokerto, sebelah timur makam Raden Rahmatullah Sunan Ampel, Kiai Dahlan merupakan putra ke empat dari enam bersaudara.(hlm. 4-5) Pendidikan beliau dimulai dari ayahnya sendiri, KH Muhammad Ahyad, pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Kebondalem Surabaya. Setelah itu Kiai Dahlan belajar kepada Syaikhona Kholil ibn Abdul Latif (pengasuh pondok pesantren Kademangan, Bangkalan-Madura) lalu dilanjutkan berguru kepada Kiai Mas Bahar ibn Noer Hasan (pengasuh pondok pesantren Sidogiri Pasuruan).(hlm 9-10). Ini membuktikan bahwa keilmuan yang dimiliki oleh Kiai Dahlan merupakan keilmuan yang memiliki sanad yang jelas dan bersambung hingga kepada sayyidina Muhammad, karena banyak anak muda zaman sekarang yang berguru kepada internet yang jelas-jelas tidak memiliki sanad.

Dalam dunia pergerakan, Kiai Dahlan merupakan tokoh yang sangat sentral dalam membangun jaringan antar pesantren, letak pesantren Kebondalem yang strategis memberikan kemudahan tersendiri bagi beliau untuk merintis jaringan tersebut. Dengan jaringan inilah Kiai Dahlan dapat mengerti kondisi terkini yang dihadapi bangsa, termasuk isu-isu tentang keagamaan. Kiai Dahlan juga berperan penting bagi berdirinya Taswirul Afkar (kontekstualisasi pemikiran) yang didirikannya bersama Kiai Wahab dan Mangun, yang mana perkumpulan ini merupakan perkumpulan diskusi/kajian yang membahas dan mencari solusi atas masalah-masalah keagamaan dan sosial kemasyarakatan kaitannya dengan persoalan kekinian yang dihadapi oleh umat Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Sedangkan dalam urusan pembiayaannya, Kiai Dahlan bersama pimpinan lainnya mendirikan Syirkatul Amaliyyah, yaitu semacam koperasi yang sahamnya dijualbelikan kepada para anggota Taswirul Afkar. Langkah ini disinyalir turut membantu pembiayaan kebutuhan harian, apalagi tidak adanya subsidi dari pemerintah Hindia-Belanda untuk perkumpulan tersebut. Kiai Dahlan bersama para kiai yang lainnya, juga berhasil membentuk MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) pada tanggal 12-15 Rajab 1356 H, bertepatan pada 18-21 September 1937. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menyatukan semangat kebangsaan antar seluruh ormas Islam untuk merespon penjajahan serta mentolerir segala perbedaan antar ormas sebagai sebuah keniscayaan.

Kiai Ahmad Dahlan juga menulis sebuah kitab pencerahan kepada umat, khususnya warga Surabaya untuk menyikapi kondisi sosial keagamaan yang tengah terjadi pada masyarakat umumnya. Misal, Kiai Dahlan menegaskan bahwa pada prinsipnya –setidaknya dari kacamata Syafi’iyyah– ada keharusan melaksanakan shalat Dhuhur bagi pelaku Shalat Jum’at yang diadakan di dua masjid atau lebih dalam satu wilayah. Hanya saja, ketegasan ini digarisbawahi dengan penyuguhan pandangan jika pelaksanaan shalat Jum’at dalam dua tempat di satu wilayah tidak ada kebutuhan. Bila ada kebutuhan yang mendesak, misalnya masjid awal tidak cukup, maka shalat Jum’at di dua Masjid dalam satu wilayah diperbolehkan sehingga tidak ada keharusan shalat dhuhur setelah shalat Jum’at usai. (hlm. 83-84).

Kemudian yang menjadi perhatian Kiai Dahlan adalah merebaknya pembid’ahan kepada amaliyah warga NU. Dalam tulisannya tersebut, Kiai Dahlan dengan tegas mengawali “Bahwa semua yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi adalah bagian dari vid’ah merupakan orang yang bodoh dan tidak memiliki pendirian yang kuat (al-Juhlal al-Mutahawirun)”. Untuk memperkuat pandangannya, Kiai Dahlan mengutip bid’ah yang dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khattab yang mengerjakan terawih secara berjamaah, yang kemudian Sayyidina Umar mengatakan “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”. (hlm. 88).

Beliau juga mengulas pandangannya tentang pola serta perilaku kelompok tertentu yang mengatasnamakan Islam tetapi tindakannya sama sekali tidak mencerminkan budi pekerti Islam. Mereka hanya memaksakan kehendak menjadi Islam yang paling benar, padahal mereka seharusnya bisa belajar kepada empat imam mazhab yang memiliki pandangan tersendiri tetapi tetap menjaga toleransi hingga akhir hayatnya.

Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan kita bagaimana menjaga serta mempertahankan paham dan ideologi Islam Ahlussunnah wal Jamaah, ditambah lagi di era yang serba canggih ini kelompok-kelompok di luar paham tersebut akan lebih mudah menyebarkan virus-virus radikalnya serta dengan mudahnya mereka mengkafirkan amaliyah-amaliyah warga Nahdliyyin. Kiai Dahlan juga mengajarkan kita bagaimana menyatukan semangat kebangsaan kita dan menghargai perbedaan pendapat sebagai sebuah keniscayaan serta menjaga keutuhan NKRI di tengah arus rongrongan makar yang dilakukan oleh segelintir kelompok Islam.

Data buku 

Judul : Biografi Kiai Ahmad Dahlan; Aktivis Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja
Penulis : Wasid Mansyur
Penerbit : Pustaka Idea
Terbitan : I, 2015
Tebal : xxiv + 144 hlm
ISBN : 978-602-72011-5-6
Peresensi : M Ichwanul Arifin, mahasiswa FUF UIN Sunan Ampel Surabaya/Kader PC IPNU Kota Surabaya


Terkait