Kitab Haulal Ihtifal bi Dzikra Maulidin Nabi, Menelusuri Sejarah dan Hukum Maulid Nabi
Senin, 16 September 2024 | 07:05 WIB
Malam hari tanggal 12 Maulid merupakan puncak perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan acara seremonial yang dinantikan oleh umat Islam, baik di mushala, masjid, majlis taklim, pondok pesantren, maupun instansi-instansi lain.
Perayaan Maulid biasanya diselenggarakan dengan acara membaca Sirah Nabawiyyah, seperti kitab Maulid al-Barzanji, Qasidah Burdah, Simthud Durar, dan sebagainya, kemudian disusul dengan ceramah keagamaan khususnya yang masih berkaitan dengan sejarah Nabi Muhammad SAW sejak lahir sampai wafatnya.
Salah satu kitab yang direkomendasikan untuk memperkuat literasi tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. adalah kitab karya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani al-Makki yang berjudul "Haulal Ihtifal bi Dzikra Maulidin Nabi asy-Syarif."
Latar Belakang Penulisan
Sayyid Muhammad dalam mukadimah kitab ini menceritakan alasan penulisannya. Beliau menyatakan bahwa sebenarnya pembahasan tentang Maulid Nabi Muhammad SAW telah banyak dilakukan, sehingga beliau tidak ingin menulis pembahasan tentang hal itu lagi.
Menurut Sayyid Muhammad, perayaan Maulid sering kali dipandang sebagai agenda tahunan yang monoton, dibacakan dan dipropagandakan di setiap pertemuan, sehingga menimbulkan rasa bosan karena topik yang sama.
Baca Juga
Khutbah Menyambut Peringatan Maulid Nabi
Namun, karena banyak sahabat Sayyid Muhammad yang ingin mengetahui pandangan beliau mengenai masalah ini, dan karena beliau juga takut termasuk dalam orang yang menyembunyikan ilmu, akhirnya beliau memberanikan diri untuk ikut andil dalam penulisan tentang masalah maulid Nabi ini. (Sayyid Muhammad, Haulal Ihtifal bi Dzikra Maulidin Nabi asy-Syarif, [Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah, 1431 H], hal. 5)
Isi Kitab Haulal Ihtifal bi Dzikra Maulidin Nabi asy-Syarif
Secara garis besar, kitab karya Sayyid Muhammad ini berisi paparan untuk menjawab keraguan kaum Muslimin dalam melaksanakan perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Mulai dari paparan mengenai apakah merayakan Maulid Nabi hukumnya wajib?
Siapakah orang yang pertama kali merayakan Maulid Nabi? Apakah peringatan Maulid itu disyaratkan harus dengan berpuasa? Sampai paparan mengenai dalil-dalil tentang diperbolehkannya memperingati Maulid Nabi.
Kitab ini juga mengulas pandangan Ibnu Taimiyah tentang Maulid, serta hukum dan pendapat para ulama mengenai kebolehan berdiri saat perayaan Maulid Nabi SAW. Selain itu, dibahas pula berbagai alasan yang mendukung tindakan tersebut serta pandangan ulama terkemuka Islam tentang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Terakhir, Sayyid Muhammad menutup kitabnya dengan membahas berbagai kitab populer mengenai Maulid Nabi. Beliau menjelaskan bahwa ada banyak kitab tentang Maulid, mulai dari nazham (sya’ir) yang ringkas, hingga yang panjang. Namun, supaya tidak berpanjang lebar dalam pembahasan tersebut, beliau hanya mencantumkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama terkemuka saja.
Dalil-dalil tentang Diperbolehkannya Memperingati Maulid Nabi
Sayyid Muhammad dalam salah satu pembahasan kitab ini (hal. 22-35) menjelaskan bahwa merayakan hari kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad saw. sebagaimana yang sudah lumrah terjadi di mana-mana hukumnya diperbolehkan dan berpahala bagi yang mengerjakannya.
Ada sekitar 21 alasan beserta dalilnya yang dipaparkan oleh beliau mengenai kebolehan memperingati Maulid Nabi saw. berikut adalah beberapa di antaranya:
Pertama, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. merupakan bentuk penghormatan sekaligus ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan umat Islam atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, sang pembawa risalah terakhir.
Bahkan, manfaat dari ekspresi kegembiraan ini bukan hanya dirasakan oleh kaum Muslimin, tetapi juga oleh orang-orang yang bukan beriman, sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah Abu Lahab.
Meskipun Abu Lahab adalah seorang yang memusuhi Nabi, ia mendapatkan keringanan siksaan di akhirat setiap hari Senin sebagai balasan atas kegembiraannya ketika Muhammad lahir.
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa kegembiraan terhadap peristiwa yang agung seperti kelahiran Nabi memiliki nilai yang besar, baik bagi umat Islam maupun lainnya.
Kedua, perayaan Maulid merupakan bentuk penghormatan dan pemuliaan yang dilakukan umat Islam atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang membawa risalah Islam sebagai petunjuk kehidupan.
Selain itu, Maulid juga menjadi wujud rasa syukur umat kepada Allah atas nikmat-Nya yang paling agung, yaitu diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi semesta alam.
Ketiga, Rasulullah pun pada hakikatnya juga merayakan hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin. Meskipun Rasulullah merayakan hari kelahirannya dengan puasa, dan umat Islam saat ini merayakannya dengan seremonial yang sudah terjadi saat ini, keduanya tetap memiliki makna dan spirit yang sama, yaitu memuliakan hari kelahiran nabi yang mulia.
Keempat, kegembiraan akan hadirnya beliau saw. adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Al-Qur’an dalam surat Yunus ayat 58, yang berbunyi:
قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus [10]: 58).
Dalam ayat tersebut, menurut Sayyid Muhammad, Allah memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah rahmat Allah yang paling agung. Hal ini, masih menurut beliau, sesuai dengan firman-Nya dalam surat Al-Anbiya’ ayat 107, yang berbunyi:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ١٠٧
Artinya: “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Hal ini, lanjut Sayyid Muhammad, diperkuat oleh penafsiran Ibnu Abbas ra tentang ayat di atas. Ia berkata, “Adapun yang dimaksud dengan ‘karunia Allah’ adalah ilmu, sedangkan yang dimaksud dengan ‘rahmat-Nya’ adalah Nabi Muhammad SAW.”
Oleh karena itu, kegembiraan karena Nabi Muhammad saw. dianjurkan pada setiap waktu, dalam setiap nikmat, dan pada setiap karunia. Akan tetapi, lebih dianjurkan pada setiap hari Senin dan setiap bulan Rabi’ul Awwal, karena kuatnya suasana Maulid.
Kisah Maulid yang mulia mengandung sejarah kelahiran Nabi yang penuh dengan kemuliaan, disertai mukjizat-mukjizat yang terjadi saat kelahiran beliau, serta kisah hidup yang spektakuler.
Di dalam kisah yang termaktub, kita juga diperkenalkan dengan sosok Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam. Bukankah kita sebagai umat Islam dianjurkan untuk mengenal Rasulullah lebih dekat, mengikuti sunnah-sunnahnya, dan meneladani setiap amal perbuatannya?
Kitab-kitab Maulid, dengan penyajian yang indah dan penuh hikmah, menyampaikan semua itu dengan sempurna; mengenalkan kita pada tanda-tanda kenabian, sifat-sifat luhur, dan akhlak mulia beliau saw.
Sebagai bentuk rasa syukur dan cinta kepada Nabi, memperingati Maulid juga merupakan salah satu usaha kita untuk membalas jasa beliau yang telah membawa kita kepada jalan yang benar.
Dengan menjelaskan sifat-sifat, keagungan akhlak, serta perjuangan hidup Nabi Muhammad SAW, kita menghidupkan kembali spirit kecintaan terhadap beliau, dan menjalankan sebagian dari kewajiban kita sebagai umatnya.
Tradisi memuji Rasulullah saw. sebenarnya sudah ada sejak zaman beliau hidup. Para penyair sering datang menghadap Nabi, menyampaikan kasidah-kasidah yang penuh pujian kepada beliau.
Rasulullah SAW tidak hanya menerima pujian tersebut dengan senang hati, tetapi juga membalasnya dengan doa dan kebaikan. Jika pada masanya, Nabi begitu menghargai orang-orang yang memujinya secara langsung, maka tentu beliau juga akan senang dan meridhai orang-orang yang berkumpul untuk mengagungkan sifat-sifat mulianya melalui deskripsi syama’il (riwayat yang menggambarkan kepribadian dan sifat beliau).
Seperti yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad dalam Haulal Ihtifal bi Dzikra Maulidin Nabi asy-Syarif, memperingati Maulid adalah upaya yang penuh berkah untuk mengenang dan meneladani Nabi Muhammad, dan tentunya membawa keridhaan beliau kepada umat yang mencintainya. (hal. 22-27).
Keistimewaan Kitab Haulal Ihtifal bi Dzikra Maulidin Nabi asy-Syarif
Salah satu keistimewaan kitab ini terletak pada kepiawaian penulisnya dalam memaparkan jawaban dari berbagai macam pertanyaan yang masih ada kaitannya dengan masalah perayaan Maulid.
Sehingga, kitab ini sangat cocok dibaca oleh kalangan yang ingin memperdalam literasi tentang hukum-hukum terkait perayaan Maulid Nabi. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, pembaca tidak akan mudah terbawa emosi atau terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif mengenai hal-hal yang bersifat furu’iyyah (cabang dalam agama yang dapat berbeda pendapat)
Selain itu, kitab ini juga mempunyai keistimewaan berupa dalil-dalil otoritatif dari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, dan pendapat para ulama yang dijadikan sebagai argumentasi atas keterangan mengenai hal-hal yang masih ada kaitannya dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad saw.
Kepiawaian penulis dalam memberikan takhrij hadits-hadits yang dipaparkan juga menjadi suatu kelebihan tersendiri, yang akan menjadikan semakin lengkap ‘samudra’ ilmu yang ada dalam kitab ini.
Demikian resensi kitab Haulal Ihtifal bi Dzikra Maulidin Nabi asy-Syarif. Dengan membaca kitab ini, harapannya para pembaca akan menjadikannya sebagai rujukan dalam memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan perayaan Maulid Nabi saw. sehingga rasa cinta dan syukur para pembaca akan bertambah. Wallahu a'lam.
Identitas Kitab
- Judul : Haulal Ihtifal bi Dzikra Maulidin Nabi asy-Syarif
- Penulis : Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki al-Husaini (w. 1425 H)
- Penerbit : Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah
- Kota Terbit : Beirut
- Tahun Terbit : 1431 H
- Tebal : 96 halaman
Peresensi: Ustadz M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah.