Pustaka

Etika Kehidupan Berbangsa dalam Islam

Senin, 24 Januari 2022 | 13:30 WIB

Etika Kehidupan Berbangsa dalam Islam

Buku Islam dan Etika Kehidupan Berbangsa karya Prof Masykuri Abdillah.

Nabi Muhammad saw menandatangani sebuah kesepakatan di antara sesama warga masyarakat Kota Yatsrib yang kelak dikenal sebagai Madinah. Tak ada pembedaan antargolongan ataupun individu. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa terkecuali, baik Muslim, non-Muslim, penduduk asli, pendatang, atau lainnya.


Nota kesepahaman serupa juga disepakati para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan lahirnya Piagam Jakarta. Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin menyebut negeri ini sebagai darul mitsaq, negara kesepakatan.


Tentu hal tersebut tidak sekonyong-konyong lahir begitu saja. Ada proses panjang yang melatari kesepakatan itu. Sikap untuk menjaga keutuhan negeri menjadi kunci. Konflik sekecil apapun yang berpotensi menimbulkan perpecahan sebisa mungkin dapat dihindari.


Tak ayal, kala permintaan penghapusan tujuh kata pada sila pertama itu diajukan pun disepakati. Semua demi menjaga agar negara yang diidam-idamkan terwujud nyata dan tidak terpecah-belah.


Selain sikap yang sama, musyawarah juga menjadi hal penting sebagai cara untuk mewujudkan cita-cita bersama itu. Beragam pandangan diajukan oleh berbagai pihak. Pilihannya ditentukan dari yang paling minim konfliknya, bukan dari yang paling besar manfaatnya, apalagi atas desakan golongan tertentu, hatta Islam sendiri. Ini sejalan dengan kaidah, dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih, meninggalkan kerusakan lebih didahulukan ketimbang meraih kemaslahatan.


Prinsip musyawarah yang demikian ini ditanggalkan demi kepentingan individu atau golongan. Nalar etik nurani tak lagi bekerja dalam wacana demokrasi yang memang memiliki banyak kekurangan. Untuk mengembalikannya, apa yang perlu dilakukan?


Sayangnya, Masykuri Abdillah tidak menguraikan hal tersebut dalam bukunya. Buku tebal yang membahas etika kebangsaan itu memuat jalan panjang Indonesia berdemokrasi, mulai dari sebelum kemerdekaan, setelah merdeka, hingga masa Reformasi.


Kekayaan referensi menjadi salah satu kekuatan buku ini. Sebagai Guru Besar kampus Islam negeri, tentu saja Masykuri tak berkekurangan soal yang satu itu. Ia tidak saja melandasi beragam pandangannya pada kajian turats yang tentu tidak dimiliki intelektual umum, tetapi juga memperkuatnya dengan berbagai perspektif akademisi Barat.


Bahkan, Masykuri membuat satu bab khusus untuk menguraikan pandangan para cendekiawan dalam negeri mengenai etika kebangsaan itu. Sebut saja Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal Gus Dur, Nurcholis Madjid atau Cak Nur, KH Ma'ruf Amin, KH Ali Yafie, TGH Zainuddin Abdul Madjid, hingga KH Salahuddin Wahid dan Alamsyah Ratu Prawiranegara.


"Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan". Begitu kata mutiara dari Gus Dur yang kerap dikutip dalam berbagai infografis, mural, hingga dimuat dalam kaos. Jika hal tersebut menjadi pegangan siapa saja dalam menjalani kehidupannya dalam berbangsa, sudah bisa dipastikan negara adem ayem tentrem.


Persoalannya, ada ego yang terus tumbuh dalam diri manusia itu sendiri. Merasa sebagai makhluk sempurna, terlebih memegang jabatan yang strategis, manusia merasa sudah paripurna. Padahal, Allah swt sendiri memuliakan makhluk ciptaan-Nya itu. Sementara banyak di antara manusianya tidak memanusiakan manusia, bahkan menuhankan dirinya sehingga wajib bagi orang lain untuk memperlakukannya istimewa.


Sikap demikian yang harus dihilangkan demi keamanan, kenyamanan, dan ketentraman hidup segenap masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang baik menjadi satu jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkannya. Bukan saja pendidikan bagi masyarakat secara umum, tetapi juga pendidikan politik bagi para calon pejabat negeri.


Peresensi Syakir NF, Redaktur NU Online 


Identitas Buku

Judul: Islam dan Etika Kehidupan Berbangsa

Penulis: Prof Dr Masykuri Abdillah

Tebal: xi + 396 halaman

Tahun: 2021

Penerbit: Mizan

ISBN: 978-602-441-253-1