Kitab Tsunami: Membincang Fenomena Alam Perspektif Kiai Maimoen Zubair
Senin, 8 April 2024 | 17:00 WIB
Tsunami Aceh 26 Desember 2004 menjadi bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah peradaban manusia, perhatian dunia saat itu seakan terfokus kepada Indonesia dengan berbagai donasi kemanusiaan hingga mega bintang Cristiano Ronaldo datang dan mengadopsi seorang anak penyintas bencana itu.
Hampir seluruh bangunan di semenanjung Aceh rata dengan tanah dan benda-benda besar lautan seperti kapal laut ikut terseret ke daratan. Korban jiwa mencapai angka ratusan ribu yang terhitung dari jenazah yang ditemukan. Bahkan mungkin bisa lebih banyak dari itu mengingat banyak juga jasad yang tidak ditemukan terseret arus air laut yang menyurut kembali kelautan.
Banyak orang merasa skeptis akan bencana ini sehingga dibenak mereka muncul berbagai spekulasi dengan kesimpulan sementara apakah ini adalah sebuah bencana atau azab. Terasa ironis jika saja ini dianggap sebagai azab mengingat Aceh adalah daerah yang dijuluki sebagai serambi Makkah dengan nilai dan etika keislaman yang begitu kuat.
Meskipun dunia telah mengkategorikan tsunami ini sebagai bencana dan fenomena alam, masyarakat Indonesia masih saja banyak yang mengaitkan kejadian ini dengan azab seperti cerita-cerita azab Allah kepada umat terdahulu.
Merspon persepsi masyarakat tentang polemik bencana ataukah azab, KH. Maimoen Zubair menuliskan satu judul kitab berjudul Tsunami fi Biladina Indunisiya, a Huwa Azabun am Mushibatun (Tsunami di Indonesia, apakah azab ataukah bencana). Kitab ini mengupas kejadian itu perspektif Al-Qur’an dan Hadits, sehingga seorang pembaca bisa menyimpulkan apakah itu merupakan bencana ataukah azab.
Mbah Moen menyebutkan dalam prolognya bahwa kejadian ini mirip dengan azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Hud yakni badai tornado. Bahkan menurut Mbah Moen, kejadian ini lebih parah dari para azab yang tertimpa kepada kaum Ad, karena memang belum pernah ditemukan sebelumnya fenomena bencana alam yang sedahsyat ini. (hal. 2)
Mbah Moen mengajak para pembaca khususnya dan seluruh masyarakat Muslim umumnya untuk merefleksikan diri bahwa tragedi tsunami itu merupakan salah satu dari tanda bukti kekuasaan Allah yang seharusnya berdampak kepada tambahan kekuatan keimanan seorang Muslim yang baik. (hal. 5).
Mbah Moen mengingatkan kembali bahwa fenomena alam dalam cerita kaum masa lalu dalam catatan Al-Qur’an merupakan azab bagi para pendosa dari kalangan mereka. Sedangkan bagi para salihin dari kalangan mereka merupakan rahmat, ujian, dan pensucian diri. (hal. 6).
Meskipun bencana alam bagi kaum terdahulu adalah azab tapi bukan berarti orang-orang saleh yang terdampak azab tersebut mereka berdosa dan berhak diazab layaknya para pendosa dari kaumnya. Namun bentuk bencana alam dalam skala besar tentunya menimpa siapapun yang berada di situ entah dia adalah pendosa itu sendiri atau bahkan orang-orang saleh.
Sebagaimana menurut Mbah Moen berikut:
Baca Juga
Firasat Gus Dur jelang Tsunami Aceh
فَالعَذَابُ إِنَّمَا أَنْزَلَهُ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِلْمٌذْنِبِيْنَ ثُمَّ أَصَابَ الصَّالِحِيْنَ كَمَا أَصَابَهُمْ لِأَنَّ العُقُوْبَةَ إِذَا حَلَّتْ شَمِلَتْ الجَمِيْعَ إِلَّا مَنْ رَحِمَهُ اللهُ.
Artinya: “Azab diturunkan oleh Allah hanya kepada para pendosa, meskipun banyak dari para salihin yang terdampak bencana azab tersebut sebagaimana para pendosa, karena sebuah siksaan ketika terjadi maka berdampak kepada siapapun yang ada di lokasi siksaan tersebut kecuali orang-orang pilihan yang mendapatkan rahmat Allah sehingga dia bisa menjadi penyintas dari azab itu”. (hal. 7).
Lantas untuk menyikapi tsunami di Aceh, Mbah Moen lebih berhati-hati untuk mengklaim bahwa bencana alam itu adalah azab. Mbah Moen mengingatkan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa bencana itu adalah azab bahwa mayoritas korbannya adalah Muslim yang bertauhid. Sungguh tidak etis jika seseorang membahas kualitas keimanan orang lain yang hanya diketahui oleh Allah sendiri. (hal. 9-10).
Berbeda dengan bencana alam kaum terdahulu yang mayoritas korbannya adalah para pendosa dan pembangkang ajaran Allah sehingga bencana itu lebih pantas untuk di sebut sebagai azab. Dan Al-Qur’an pun menegaskan akan hal itu.
Meskipun Mbah Moen tidak mengklaim bahwa itu adalah azab, beliau menggaris bawahi untuk difahami para saintis yang tidak mengaitkan bencana dengan ketuhanan. Tsunami menurutnya bukan berarti tidak ada keterkaitannya dengan peringatan dari Allah atas dasar azab bagi para pendosa dan belas kasih Allah atas dasar rahmat dan ujian bagi para salihin. (hal. 20).
Kitab ini selesai ditulis di Sarang pada hari Sabtu tanggal 27 Jumadil Ula tahun 1427 Hijriyah bertepatan dengan 24 Juni 2006 Masehi, dua tahun setelah tragedi bencana Tsunami itu terjadi.
Mbah Moen seolah berdiri di tengah antara dua kubu yang berseberangan yakni yang mengklaim azab dengan yang mengklaim bencana. Mbah Moen juga mendasari sikapnya atas dua klaim tersebut bisa jadi azab jika perspektifnya adalah para pendosa dan musibah atau bencana jika diperuntukkan kepada para salihin.
Akan tetapi menurut pengamatan penulis, Mbah Moen lebih mengarahkan bahwa bencana itu adalah musibah berdasarkan uraian beliau yang menyebut fenomena alam yang terjadi di Indonesia sebagai musibah dan bencana.
Mbah Moen juga memberi penjelasan tentang refleksi dan pemulihan pasca bencana yang membawa dampak positif bagi masyarakat Muslim nusantara. Mbah Moen yakin akan terwujudnya hal itu sebagaimana keadaan Aceh sekarang yang lebih baik dan sudah kembali pulih.
Mbah Moen mengingatkan masyarakat Indonesia untuk selalu waspada akan peringatan Allah terutama yang berbentuk bencana alam dengan memperbaiki ketaatan kepada Allah dan momentum pertobatan Nasional. Diharapkan dengan hal tersebut, bencana itu bisa membawa dampak positif bagi umat Islam khususnya dan umat beragama pada umumnya. Wallahu a'lam bishhawab
Identitas Kitab
Judul Kitab: Tsunami fi Biladina Indunisiya, a Huwa Azabun am Mushibatun
Penulis: KH. Maimoen Zubair
Tebal : 26 Halaman
Penerbit: Maktabah Al-Anwariyah LTN PP. Al-Anwar Sarang
Tahun: Tanpa Tahun
ISBN: Tanpa ISBN
Peresensi: Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim LBM MWC NU Tannggulangin dan Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo