Orang Muslim Betawi abad ke-20 hingga pertengahan abad ke-21 cukup beruntung dengan kehadiran Sayyid Utsman bin Yahya, mufti Batavia yang sangat alim. Mereka mendapat bimbingan dari muftinya dalam soal haji antara lain melalui Kitab Manasik Haji dan Umrah karya Sayyid Utsman bin Yahya. Sebelum era politik etis kolonial yang membuat pribumi melek baca tulis aksara Latin, aksara Jawi merupakan bahasa ilmu pengetahuan masyarakat.
Karya ini menjadi pedoman masyarakat sebelum buku-buku Latin soal haji ditulis dengan semarak puluhan tahun sesudahnya. karya ini ditulis dalam aksara Jawi dan berbahasa Melayu yang berjumlah 48 halaman. Karya ini kini dicetak oleh Al-Aidrus, Jakarta Pusat atas izin Sayyid Muhammad bin Yahya. Karya ini berukuran 14 cm x 20 cm. Setiap halaman terdiri atas 21 baris. Sementara teks dan tepi kertas berjarak antara 1-1 ½ cm.
Berikut ini kami kutip catatan aksara Jawi pada sampul depan yang berbentuk piramida terbalik. Catatan ini kami alihaksarakan ke dalam aksara Latin.
”Ini Kitab Manasik Haji dan Umrah. Dengan bahasa Melayu, dan sebutan aturan, dan syarat-syarat sembahyang qashar jamak, dan aturan kiblah di dalam pelayaran pergi haji karangan hamba yang dhaif Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al-Alawi nasaban, was Syafi’i Mazhaban, wal Asy’ari aqidatan, afallahu anhu wa li walidaihi wa jami’il muslimina amiiin. Dan tiada ridha oleh yang mengarang kitab ini dicitak oleh seorang akan dia dan tiada halal dunia dan akhirat baginya.”
Karya ini merupakan semacam buku saku perihal manasik haji dan umrah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Jakarta saat itu. Karya ini memuat tuntunan lengkap mulai dari orang keluar rumah untuk menunaikan ibadah haji hingga pulang kembali ke rumahnya. Sebagaimana diketahui peribadatan haji saat itu ditempuh melalui jalur laut.
Untuk menulis buku praktis ini, Sayyid Utsman bin Yahya mengutip sejumlah beberapa karya ulama terdahulu. Kejujuran intelektual ini disampaikan Sayyid Utsman bin Yahya dalam pengantar karyanya dalam aksara Jawi berikut ini yang sudah dialihaksarakan ke dalam aksara Latin.
”Alhamdulillahi rabbil alamin. Was shalatu was salamu ala sayyidina Muhammadin, wa alihi wa shahbihi ajma’ain. Wa ba’du. Kemudian daripada itu, maka inilah Kitab Manasik Haji dan Umrah terlalu sedikit lafazhnya dan mudah dipahamkan insya Allah ta’ala bagi sekalian saudara yang hendak pergi haji dengan aturan amal-amalan orang pergi haji dari permulaan pelayarannya, dari rumahnya hingga ia pulang kembali dengan selamat ke rumahnya. Maka apa yang tersebut di dalam ini kitab setengahnya dinaqal dari Kitab Idhah karangan Imam An-Nawawi, dan setengahnya dari Kitab Faidhul Malikil Allam karangan Sayyid Yusuf Al-Baththah, dan setengahnya dari Kitab Ihya Ulumiddin karangan As-Syekh Al-Ghazali, dipindahkan sekalian itu dengan Bahasa Melayu Betawi,” (Lihat Sayyid Utsman bin Yahya, Kitab Manasik Haji dan Umrah, [Jakarta, Al-Aidrus: tanpa catatan tahun], halaman 2).
Karya ini secara umum ditulis dalam aksara Jawi dan Bahasa Melayu Betawi sebagaimana diungkapkan secara lugas oleh Sayyid Utsman. Sebagaimana diketahui, Bahasa Melayu memiliki banyak ragam, baik Melayu Sumatera, Patani, Malaysia, Kalimantan, maupun Betawi.
Karya ini dilengkapi dengan sebuah tabel yang memetakan syarat, rukun, dan wajib bagi ibadah haji dan umrah. Pembaca juga akan menemukan diagram lingkaran yang menjelaskan posisi kapal laut berdasarkan rasi bintang untuk menentukan arah mata angin.
Sayyid Utsman juga menggambarkan syarat, rukun, wajib, dan sunnah bagi ibadah haji dan umrah dengan ilustrasi sebuah pohon yang daunnya adalah keikhlasan. Kecuali itu, Sayyid Utsman melengkapi karyanya dengan diagram yang menjelaskan posisi Makkah dan tempat miqat bagi jamaah haji dari empat penjuru.
Upaya melengkapi karya dengan tabel dan diagram yang tidak melulu deskripsi merupakan sebuah kemajuan dalam teknik penulisan yang melampaui zamannya. Tabel dan diagram itu memudahkan pembaca dalam memahami amanat dalam karya tersebut.
Hal ini bisa jadi dilatarbelakangi keinginan Sayyid Utsman dalam memudahkan pembaca. Kemajuan dalam teknik penulisan seperti itu bisa jadi digali oleh Sayyid Utsman dari banyak karya yang dibacanya dari pelbagai negeri.
Karya ini memuat tata cara ibadah haji dan umrah mulai dari a sampai z. Selain itu, karya ini juga memuat doa-doa setiap ibadah yang ada di dalam haji dan umrah. Karya ini dilengkapi dengan tata cara ziarah kubur di makam Rasulullah, Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, dan Sayyidatina Fathimah.
Karya ini sengaj disusun secara ringkas untuk menjadi semacam buku saku bagi jamaah haji dan umrah asal Nusantara. Oleh karenanya, kajian fiqih lintas mazhab atau kajian mendalam perihal haji dan umrah tidak dibawa di sini. Hal ini disampaikan oleh Sayyid Utsman bin Yahya di akhir kitab ini.
”Maka inilah penghabisan yang tersebut daripada perkara haji dan umrah dan ziarah dengan pendek perkataan, ’maka barang siapa menghendakkan lebih dari ini maka ia baca Kitab Al-Idhah atau lain-lain kitab manasik haji. Dan jika ia hendak lebih daripada perkara ziarah yang lebih afdhal, maka ia baca Ziarah Abil Baqa’ adanya,’” (Lihat Sayyid Utsman bin Yahya, Kitab Manasik Haji dan Umrah, [Jakarta, Al-Aidrus: tanpa catatan tahun], halaman 47-48).
Kolofon karya ini ditulis dalam bentuk piramida terbalik. Kolofon ini hanya memuat informasi berupa nama dan harapan penulis. Kolofon ini tidak memuat tempat dan waktu penyalinan. Karya ini disalin oleh Al-faqir Muhammad Ishaq Sa’ad. Kolofon karya Sayyid Utsman ini kami kutip dengan alih aksara Latin.
”Maka berharaplah hamba pada Allah ta’ala akan memberi manfaat dengan ini kitab bagi sekalian saudara yang membaca atau mendengarkan padanya mendapatikhlash lillahi ta’ala dan qabul sekalian amal haji dan umrah dan ziarah. Amiiin. Allahumma amiiin. Wa shallallahu ala sayyidina Muhammadin wa alihi wa shahbihi wa sallama ajma’in. Walhamdu lillahi rabbil alamin. Tamma,” (Lihat Sayyid Utsman bin Yahya, Kitab Manasik Haji dan Umrah, [Jakarta, Al-Aidrus: tanpa catatan tahun], halaman 48).
Karya ini oleh sejumlah kalangan dianggap sebagai karya pertama Sayyid Utsman bin Yahya. Meskipun tidak ada informasi perihal waktu penulisan, sebuah katalog perpustakaan menyebutkan tahun terbit karya ini pada 1875 M atau 1292 H.
Dari kolofon ini, kita juga dapat menarik simpulan bahwa tradisi lisan masih cukup kuat dalam kehidupan masyarakat saat itu di mana sebagian dari masyarakat mengakses konten sebuah karya melalui pelisanan teks dan didengarkan.
Riwayat Singkat Sayyid Utsman bin Yahya Petamburan
Sebagaimana diketahui Sayyid Utsman bin Yahya Petamburan lahir pada awal Desember 1822 M, Sayid Usman lahir di Pekojan, kini Jakarta Barat. Ayahnya bernama Sayid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Ibunya bernama Aminah binti Syekh Abdurrahman Al-Mishri yang tidak lain salah seorang ulama terkemuka di zamannya.
Sejak kecil ia gemar menuntut ilmu. Menginjak usia remaja, ia menunaikan ibadah haji di Mekkah lalu bertahan di sana selama 7 tahun. Di sana ia mengaji kepada ayahnya sendiri dan mufti Mekkah bermadzhab Syafi’i Sayid Ahmad Zaini Dahlan.
Pada 1848 M Sayyid Utsman bergerak menuju Hadhramaut. Di negeri ini ia berguru kepada Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar, Syekh Abdullah bin Husein bin Thahir, dan Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri.
Pada 1862 M, Sayyid Usman tiba di tanah air. Ia sangat berjasa dalam peningkatan pemahaman masyarakat Betawi melalui karya tulisnya yang berbahasa Melayu. Tidak kurang dari 120 karyanya dicetak dan disebarluaskan. Sebagian darinya berbahasa Arab.
Sayid Usman dipanggil Allah pada pertengahan Januari 1914 M dan dikebumikan di TPU Karet. Pada masa Orde Baru makamnya kena gusur. Pihak kerabat memindahkannya ke sisi selatan Masjid Al-Abidin, Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur. (Alhafiz Kurniawan)