Sebagaimana musik, sastra juga merupakan seni. Jika musik memainkan nada, maka sastra bermain kata. Musik nikmat didengar karena ada paduan tinggi rendahnya nada. Pun dengan sastra, sedap dibaca jika ada gelombang kata yang berdampak pada naik turunnya emosi pembaca.
Iya novel, karya sastra yang dapat memainkan hal itu dengan interval yang cukup panjang. Cerpen yang tak perlu waktu banyak untuk membacanya, yang ruang karakternya terbatas, perlu lebih pendek jarak antargelombangnya. Jika tidak, pembaca bisa-bisa kehilangan seleranya.
Gelombang dalam alur cerita ini yang belum terlihat dalam kumpulan cerita pendek berjudul Kucing Makan Koran. Membaca sembilan cerpen ini seakan melaju di sebuah jalan tol, bebas hambatan. Cerpen tersebut tidak menyajikan sebuah lubang besar yang mampu mengagetkan seluruh penumpangnya (baca: pembaca). Kecuali di cerpen yang berjudul Abraham dan Air Mata di Alif Lam Mim.
Itu pun merambat naiknya begitu pelan dan berpuncak pada kekecewaan tokoh Abraham atas laku rekan-rekan barunya di sebuah pesantren. Ia pun meredam api emosi pembaca yang tengah membara itu dengan permaafan antartokoh, dalam hal ini orang pertama memohon maaf pada Abraham. Puncak pendinginan itu terjadi pada permintaan Abraham kepada si aku untuk mengajarkannya shalat.
"Sudahlah saudaraku. Aku sudah memaafkanmu. Lebih baik mulai besok kamu ajari aku bagaimana mengerjakan shalat dengan benar. Yah!" (h. 68)
Imajinasi penulis sudah sangat baik dengan memainkan tokoh binatang, yakni kucing dan macan. Akan lebih hidup, jika binatang itu menjadi tokoh kunci pada cerita. Mereka tidak hanya menjadi pemain pendukung yang fungsi keberadaannya juga tidak memengaruhi cerita sebagaimana dalam Kucing Makan Koran sendiri. Ada tidaknya kucing di situ, tidak memengaruhi rumah tangga tokoh.
Terkait hewan yang menjadi tokoh utama, bisa kita lihat bagaimana Eka Kurniawan memainkan mereka dalam penceritaannya, baik dalam novel seperti O, maupun dalam cerpen-cerpennya, seperti Kapten Bebek Hijau. Eka berani memainkan mereka menjadi tokoh utama. Cerpen dan novelnya itu bak fabel.
Bahkan, penulis yang meraih berbagai macam penghargaan internasional itu juga pernah membuat cerpen dengan tokoh utamanya adalah batu. Ya, batu, sebuah benda mati itu dimainkan sedemikian rupa sehingga menjadi penentu kisah. Hal demikianlah yang belum terlihat dalam Kucing Makan Koran.
Meskipun demikian, tema-tema yang diangkat dalam kumpulan cerpen tersebut menggambarkan kondisi sosial terkini di tengah komunitas ataupun masyarakat terkini. Konflik agama dan tuduhan sesat, misalnya, yang diangkat dalam salah satu cerpen itu, yakni Abraham dan Air Mata di Alif Lam Mim. Penulis menunjukkan bahwa fenomena takfiri yang juga ternyata sampai di tengah komunitasnya sendiri, yakni pesantren.
Di samping itu, penulis juga ingin memberikan gambaran tentang sebuah kemiskinan yang masih menggelayuti bangsa ini melalui cerpen berjudul Kayu Bakar. Pada cerpen tersebut, ia mengisahkan seorang anak yang terpaksa mencari kayu bakar untuk menghidupkan api dapur yang dikelola oleh orang tuanya. Padahal, masyarakat saat ini sudah beralih ke bahan bakar gas.
Peresensi adalah Syakir NF, penikmat sastra, mahasiswa Pascasarjana Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta
Identitas buku
Judul: Kucing Makan Koran
Penulis: Zainuddin Sugendal
Tebal: vii + 100
Tahun: 2018
Penerbit: Diandra Kreatif dan Boenga Ketjil