Pustaka

Membaca Asyik, Menggelitik, dan Mendidik

Ahad, 9 Desember 2018 | 08:00 WIB

Kelahiran karya sastra tak bisa dilepaskan dari konteksnya. Mengutip Rene Wellek dan Austin Werren, sastra itu wujud ekspresi suatu masyarakat. Hal ini yang tampak dalam cerpen-cerpen Hilmi. Ia mulai dari dunia terdekatnya, yakni pesantren. Santri Kudus ini berkisah tentang kiai, penjual pecel, barokah, Syekh Dinawari, hingga gambaran akhirat, neraka.

Kisah-kisah dalam cerpen tersebut tidak melulu berkisah tentang dunia pesantren yang menjadi lingkungan terdekatnya. Melalui hal itu, ia mampu menyinggung dan menyentil problematika sosial terkini, seperti minimnya literasi, keteladanan, motivasi, hingga relijiusitas masyarakat di era milenium ini.

Kepengrajinan penulis juga sangat kreatif dengan daya imajinasi yang begitu liar. Ia memainkan gaya realisme magis dengan tokoh bulan Sya’ban, seekor kucing, sebuah koran, hingga latar neraka lengkap dengan para penghuninya. Hal terakhir yang disebutkan tercederai dengan epigonitas pengarang terhadap Ali Akbar Navis. Cerita dialog penghuni neraka pernah diceritakan oleh sastrawan Minangkabau itu melalui cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami. Meskipun demikian, tentu ada hal baru darinya, seperti pintu rahasia dan angka ruangan. 

Terlepas dari pengarang mengetahui atau tidak tentang cerpen tersebut, tetapi cerpen demikian bukanlah hal baru, bahkan cenderung meniru. Memang, tidak ada karya yang murni. Setiap karya pasti menjadi epigon atas karya yang lain. Tetapi bukan berarti hampir persis seperti cerpen berjudul Trik Ahli Neraka dan Robohnya Surau Kami tersebut.

Hal lain yang terlupakan, entah sengaja atau tidak, adalah logika. Ya, seliar-liarnya kita berimajinasi, kita tidak bisa menafikan logika dalam menulis cerita. Berbeda dengan puisi yang memang menembus batas rasionalitas. Ketidaklogisan itu muncul pada cerpen berjudul Kucing Masuk Koran. Koran diceritakan menunjuk orang yang menulisnya. Penunjukan yang dilakukan oleh sebuah koran itu terasa ganjil. Dengan apa koran menunjuk?

Eka Kurniawan bercerita tentang batu dalam cerpennya. Ia sama sekali tidak menggerakkan batu itu karena dirinya sendiri. Sebab, kita tahu batu itu benda mati. Pergerakan batu yang dapat mengubah cerita itu karena tokoh lain, yakni manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Hal serupa juga pernah saya lihat pada cerpen yang ditulis oleh seorang anak madrasah di Cirebon tentang payung. Benda pelindung dari panas dan hujan itu menjadi tokoh utama dari cerpennya. Tetapi, ia hanya memainkan perasaannya saja, sedangkan gerakannya tidak dibuat-buat. Hilmi tidak memainkannya demikian sehingga terkesan janggal.

Keliaran imajinasi itu juga ternyata ia letakkan di akhir cerpennya. Artinya, penulis seperti dengan sengaja membiarkan pembaca berimajinasi bagaimana mengakhiri cerita yang sudah ditulis oleh pengarang. Atau menggantungkan cerita begitu saja. Seakan belum selesai. Misal, dalam cerita Daenuri Ketemu Dinawari, pengarang membiarkan tokoh Daenuri bingung dengan kepulangannya dan selesai di situ begitu saja. Namun, pengarang juga membuat pembaca berpikir ulang untuk kembali ke kronologi cerita sebelumnya, sebagaimana dalam cerpen Sebungkus Es Krim di Musim Dingin, “Sekarang siapa yang aneh?”

Karena hal itu, alur cerita-cerita ini sangat kuat. Keterhubungan cerita dalam cerpen tersebut cukup baik dan tidak terlalu dibuat-buat, baik dengan alur maju dan campuran yang ia gunakan. Hal ini diperkuat dengan humor dan pesannya yang mengena ke pembaca dengan dialognya. Kekuatan dialognya itu terdapat dalam humor dan imajinasinya. Cerpen santri Tebuireng ini, asik mengingat pembaca bisa tergelitik sekaligus terdidik.

Peresensi Syakir NF, penikmat sastra, mahasiswa Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta

Identitas Buku
Penulis : Hilmi Abedillah
Judul : Trik Ahli Neraka
Tebal : 189 halaman
Cetakan         : Pertama, Maret 2018
Ukuran : 12,5x19,5 cm
Penerbit         : Mitra Karya
ISBN : 9786027460034


Terkait