Judul Buku : Dialog Antarumat Beragama; Gagasan dan Praktik di Indonesia
Penulis : JB. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc.
Penerbit : CRCS UGM Jogjakarta & Mizan Bandung
Cetakan : I, 2011
Tebal : xx+288 halaman
Peresensi: Munawir Aziz
Tragedi kekerasan antarumat beragama yang meledak di pelbagai daerah pada beberapa tahun terakhir merupakan ancaman atas harmoni komunal manusia Indonesia. Pada awal 2011, kasus Cikeusik (Pandeglang), Temanggung dan Pasuruan merupakan fakta betapa relasi antarumat beragama di negeri ini masih mengalami pasang surut. Selanjutnya, konflik berupa kekerasan antar agama, etnis, sengketa lahan, hingga pertikaian aparat dan masyarakat menjadi fenomena di tahun kemarin. Di awal tahun 2012 ini, kekerasan atas nama agama mengguncang komunitas Syi’ah di Sampang, Madura. Ratusan orang menyerbu dan merusak bangunan pesantren Syi’ah, seolah kelompok ini akan di-Ahmadiyah-kan. Ketika toleransi menipis, lahirlah kekerasan yang dipicu oleh egoisme, fanatisme beragama, maupun kepentingan elite politik yang tega merusak rajutan kemanusiaan.
<>
Sebelumnya, beberapa kasus kekerasan berjubah agama juga menghantam kehidupan jama’ah Ahmadiyah, dan kelompok minoritas lain. Untuk menangani kasus Ahmadiyah, pemerintah menetapkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung pada Juni 2008. Namun, bukannya redam, pasca penetapan SKB, konflik antar agama maupun penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah masih saja berlangsung.
Laporan tahunan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Unversitas Gadjah Mada menunjukkan, pada 2009, terdapat 18 kasus rumah ibadah, 25 kasus penyesatan kelompok agama dan 11 kasus lain yang khusus menyangkut masalah Ahmadiyah. Sedangkan, pada 2010 terjadi 39 kasus seputar rumah ibadah serta 20 kasus penodaan agama. Jika ditelaah secara mendalam, toleransi internal umat ataupun antar kelompok keagamaan semakin memudar dan di sisi lain menumbuhkan sikap saling mengkafirkan.
Untuk mengurai egoisme beragama maupun menyembuhkan luka kasus kekerasan berjubah agama, gagasan dialog antaragama di Indonesia perlu dikampanyekan secara luas. Buku “Dialog Antarumat Beragama; Gagasan dan Praktik di Indonesia” ini berupaya menyingkap tabir upaya dialog antarumat beragama, serta dampak dan tantangannya di tiap-tiap dekade. Buku ini memetakan ranah dialog sebagai tahapan penting untuk menginisiasi komunikasi antaragama secara terbuka; (1) dialog kehidupan, (2) analisis sosial dan refleksi etis kontekstual, (3) studi tradisi-tradisi agama, (4) dialog antar umat beragama, berbagi iman dalam level pengalaman (5) dialog antar umat beragama, berteologi lintas agama, (6) dialog aksi, dan (7) dialog intraagama (hal. 8). Buku ini tak hanya mengungkap upaya dialog dalam alur sejarah, mencipta peta gagasan dan praktik dialog antaragama serta memberikan perspektif tentang masa depan dialog di negeri ini.
Dialog dalam Sejarah
Di Indonesia, gagasan dialog antar agama muncul pada tahun 1969, yang diinisiasi oleh Prof Mukti Ali. Pada tahun 1970, Mukti Ali menghadiri konstulasi dialog antarorang beriman, yang diselenggarakan Sidang Dewan Gereja Sedunia, di Ajaltoun, Libanon. Pada kesempatan itu, ia membawakan makalah “Diaologue Between Muslims and Christians in Indonesia and it’s Problems”. Pada makalah ini, Mukti Ali mengungkapkan bahwa dialog antaragama di Indonesia baru dimulai pada November 1969, dengan rintisan berupa diskusi subtantif antara dirinya dengan beberapa teman Katolik dan Protesten. Diskusi ini dilanjutkan pada Desember 1969, dimana Mukti Ali menyampaikan pemikiran tentang dialog, sikap Vatikan terhadap non-Kristen, dan beberapa isu lain, sebagai pengantar perbincangan untuk menjembatani upaya dialog antaragama.
Sedangkan, di level internasional, jejak dialog antargama pada komunitas Katolik dapat dilacak pada saat penunjukan Angelo Giuseppe Cardinal Roncalli sebagai Paus Yohannes XXIII pada 1958. Pemikiran dan langkah Paus tersebut mengejutkan umat Katolik dunia, ketika meminta penyelenggaraan Konsili Vatikan II bagi gereja Katolik Roma pada 1962. Pada waktu, Paus menyatakan perlunya dialog dengan gereja-gereja lain dan membuka diri dengan idelogi di luar iman Kristiani. Pada 1926, dibentuk Mu’tamar a’lam al-Islami (World Mulim Congres), yang fokus pada diplomasi sosial politik, namun terakhir juga bergiat pada isu dialog antar agama, khususnya dengan kaum Kristiani.
Dalam historiografi Islam, dialog antarumat beragama juga telah dipraktikkan berabad silam, ketika Nabi Muhammad mencipta kesepakatan dengan pelbagai golongan dalam Islam maupun non-muslim untuk mencipta kedamaian di kota Madinah, melalui Piagam Madinah (shahifah al-madinah). Konflik antara Bani Aus dan bani Khazraj, di kota Yatsrib menjadi titik awal merancang kesepatakan damai, yang dikukuhkan oleh Nabi Muhammad pada tahun 622. Dalam kesepakatan ini, berlaku hukum keadilan yang didasari harmoni antar agama untuk saling menghormati antar golongan, tak hanya bagi etnis di Yatsrib, semenanjung Arab, namun juga bagi kaum non muslim (Dilshad Hasan, 2005:124). Dengan demikian, gagasan dan praktik dialog pada masing-masing agama, terutama Islam dan Kristen telah berlangsung lama, namun mendapatkan tantangan di tiap zaman.
Masa Depan Dialog Agama
Selain mengkaji persemaian ide dialog antar agama di Indonesia, buku ini juga meneliti praktik maupun kontribusi institusi pemerintah, ormas dan LSM yang peduli pada ide dialog antaragama. Pemerintah melalui Departemen Agama (sekarang Kementrian Agama) menginisiasi dialog antarumat beragama lewat gagasan trilogi kerukunan (zaman Alamsyah Prawiranegara), Lembaga Pengkajian untuk Kerukunan Umat Beragama (LPKUB, 1993), dan Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB, 2001). Sedangkan Departemen Luar Negeri menjalankan Diplomasi Total sebagai cara untuk memandang isu secara komprehensif dengan memaksimalkan komunikasi antar komponen bangsa, salah satunya lewat program Foreign Policiy Breakfast.
Di luar pemerintah, beberapa ormas (MUI, PGI, KWI) dan LSM (LkiS, Percik, Wahid Institute, Dian Interfidei, Fahmina Institute, PSAP, Kapal Perempuan dan beberapa lainnya) konsisten menyuarakan pentingnya dialog antar umat beragama sebagai perspektif maupun tindakan. Di ranah kampus, gagasan dialog antarumat beragama diterjemahkan dalam konteks pengajaran mata kuliah maupun pembentukan pusat studi yang berkonsentrasi pada dialog antar agama. Pada titik ini, beberapa UIN-IAIN, UKDW Jogja dan UKSW Salatiga merupakan sedikit kampus yang menerapkan mata kuliah intefaith religion sebagai perspektif pengajaran. Di Jogjakarta, konsorsium tiga universitas (UGM, UIN Sunan Kalijaga dan UKDW) menyelenggarakan kuliah doktoral dalam sebuah lembaga bernama ICRS (International Concosium for Religious Studies).
Namun, studi agama di beberapa kampus memiliki pendekatan berbeda untuk mengkaji dialog antarumat beragama, sebagai perspektif maupun instrumen. Amin Abdullah mengidealisasikan religous studies dari ranah normativitas ke historisitas, yakni mengkontekstualisasikan religious studies dalam ruang pengalaman maupun pengamalan. Dalam konteks ini, Geir Afdal menegaskan bahwa, pembelajaran interreligious tak hanya untuk memahami yang lain (the other) sebagai “liyan”, namun “to understand what is in between” (Afdal, 2010: 614).
Pembelajaran interreligious di kampus memang masih dalam proses menemukan identitas diri, dalam proses yang belum selesai. Namun, jika membaca tipologi dan pendekatan studi agama, sekurang-kurangnya dapat digambarkan dengan tiga model, yakni (1) comparative studies of religion, (2) religious studies, dan (3) interreligious studies. Pendekatan comparative studies berupaya membandingkan dan menilai kenyataan-kenyataan agama. Sedangkan, unsur baru interreligious studies menegaskan kenyataan bahwa studi agama-agama merupakan komunikasi berbagai subyek yang terlibat dan yang bertemu dalam pengalaman, interpretasi maupun pengalaman religious (hal. 245).
Inilah makna pentingnya konsep studi antaragama, yang mencipta alternatif pandangan untuk menghadirkan studi agama dalam ruang dialog, yang didasari pengalaman subyek maupun interpretasi antar personal. Untuk menegaskan hal ini, JB Banawiratma mengungkapkan; to be religious today is to be interreligious!. Hari ini—dan juga pada masa mendatang—untuk menjadi religius, mutlak perlu menerapkan perspektif interreligius.
* Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta.