Kitab ‘Aqîdatul ‘Awâm ditulis melalui proses perjumpaan sang penyusun dengan Rasulullah melalui mimpi.
Ilmu tauhid merupakan salah satu pelajaran wajib di lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren-pesantren di Indonesia. Mengapa? Karena ia menyangkut hal paling fundamental dalam Islam, yakni iman. Ilmu ini biasa juga disebut ilmu aqidah.
Jika fiqih mempelajari status hukum perbuatan lahiriah seorang mukallaf, tasawuf membahas aktivitas batin, maka aqidah adalah perihal yang berkaitan dengan keyakinan. Ketiga unsur inilah yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya yang sangat masyhur mengenai iman, Islam, dan ihsan—ketiganya lalu diderivasikan menjadi ilmu tauhid, ilmu fiqih, dan ilmu tasawuf.
Ketiga ilmu tersebut sangat penting untuk dipelajari, terutama ilmu tauhid yang menyangkut keyakinan kepada Allah subhanahu wata’ala. Ringkasnya bagaimana ibadah kita ingin diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala sedangkan keyakinan kepada-Nya pun masih salah, atau bahkan tidak meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan dirinya. Hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap mukallaf untuk mengetahui aqidah yang benar beserta dalilnya walaupun secara global saja. Adapun dalilnya secara rinci, hukumnya adalah fardhu kifayah.
Imam an-Nawawi memasukkan perihal sehatnya keyakinan ke dalam 4 pilar dalam agama Islam yang terkumpul dalam satu bait:
أمورلدين صدق قصد وفا العهد # وترك المنهي كذا صحة العقد
“Beberapa perkara bagi agama itu benarnya tujuan, menepati janji, meninggalkan yang dilarang, begitu juga sehatnya keyakinan. (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Tuhfâtul Murîd Syarh Jauharah at-Tauhîd, Beirut: Dâr el-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 2004, h. 21).
Syekh Ibrahim al-Baijuri menjelaskan: “Maksud dari benarnya tujuan adalah melaksanakan ibadah dengan niat dan keikhlasan; menepati janji adalah menunaikan kewajiban yang ditetapkan; meningalkan larangan adalah menjauhi perkara yang diharamkan; dan sehatnya keyakinan adalah menetapi aqidah Ahlusunnah wal Jamaah (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Tuhfâtul Murîd Syarh Jauharah at-Tauhîd, Beirut: Dâr el-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 2004, h. 21)
Keterangan di atas sudah mewakili pentingnya mempelajari ilmu tauhid bagi seorang mukallaf, tegasnya mempelajari aqidah yang sesuai dengan tuntunan Ahlussunnah wal Jamaah. Ahlussunnah wal Jamaah adalah berpegangan kepada Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam aqidah; mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali dalam fiqih; kemudian Imam al-Ghazali dan Imam Junaidi dalam bertasawuf.
Di pesantren, untuk mengaji aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, para santri biasanya menggunakan kitab Kifâyatul ‘Awâm, Tuhfatul Murîd Syarh Jauharah at-Tauhîd, al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Nadham Kharîdah al-Bahiyyah, dan lain-lain. Namun kitab-kitab itu biasanya mulai dipelajari di tingkat aliyah ke atas. Adapun tsanawiyah biasanya menggunakan Mandhûmah ‘Aqîdatul ‘Awâm (atau biasa cukup disebut Aqidatul Awam) beserta syarahnya.
Kitab ‘Aqîdatul ‘Awâm dikarang oleh al-Imam al-‘Allâmah Ahmad bin Muhammad Ramadhân bin Manshûr al-Makki al-Marzûki al-Mâliki al-Husaini al-Hasani. Salah seorang mufti mazhab Maliki di Makkah.
Syekh Ahmad al-Marzûqi lahir di Mesir pada tahun 1205 H. Beliau menuntut ilmu di Makkah, kemudian menjadi pengajar di Masjidil haram dan diangkat menjadi Mufti dalam Mazhab Maliki. Syekh Ahmad al-Marzûqi terkenal dengan kezuhudan dan ketakwaannya, serta karangaan-karangannya yang sangat bermanfaat (Syekh Hisyâm al-Kâmil, Fath al-‘Allâm Syarh Mandhûmah ‘Aqîdatul ‘Awâm, Dar el-Manâr, cetakan pertama, 2013, h. 11).
Di antara guru-gurunya adalah Syekh Ibrâhim al-‘Abîdi—kepadanya beliau mempelajari qirâah al-’asyrah. Dan murid-muridnya yang masyhur di antaranya adalah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Ahmad ar-Rifâ’i, dan Syekh Ahmad Dahman.
Karangan Syekh Ahmad al-Marzûqi yang terkenal selain Mandhûmah ‘Aqîdatul ‘Awâm adalah Tahshîl Naylil Marâm, yaitu kitab syarah dari ‘Aqîdatul ‘Awâm. Kemudian al-Fawâid al-Marzûqiyah, sebuah kitab syarh atas kitab Jurûmiyah. Selain ‘Aqîdatul ‘Awâm, karyanya yang berbentuk nadham (syair) adalah Mandhûmah ‘Ilmi Falak dan Mandhûmah ‘Ishmat al-Anbiyâ’. Syekh Ahmad al-Marzûqi wafat di Makkah pada tahun 1281 H dan dimakamkan di Jannatul Mu’alla atau pemakaman Ma’la.
Proses disusunnya kitab ini sangat menarik. Kisah ini banyak diceritakan ketika mengaji ‘Aqîdatul ‘Awâm di pesantren, dan dapat ditemukan dalam kitab-kitab syarahnya. Salah satu syarah yang memuat kisah ini adalah kitab Jalâul Afhâm Syarh ‘Aqîdatul ‘Awâm karya KH. M. Ihya’ ‘Ulumiddin.
Dikisahkan Syekh Ahmad al-Marzûqi dalam mimpinya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat berdiri mengelilinginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berkata, “Bacalah sebuah mandhumah ilmu tauhid, yang mana siapa pun yang menghafalnya, maka ia akan masuk surga dan mendapatkan sesuatu yang ingin dicapainya berupa segala kebaikan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits.”
Syekh Ahmad Al-Marzûqi bertanya, “Syair apa itu wahai Rasulullah?”
Para Sahabat pun berkata, “Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Maka Rasulullah berkata, “Katakanlah, أَبْدُ بِاسْمِ الله وَالرَّحْمنِ, hingga bait وَصُحُفُ الْخَلِيْلِ وَالْكَلِيْمِ # فِيْهَا كَلَامُ الْحَكَمِ الْعَلِيْمِ
Maka Syekh Ahmad Al-Marzûqi mengikuti bait yang diucapkan Rasul seraya Rasulullah mendengarnya, yaitu bait أَبْدُ بِاسْمِ الله وَالرَّحْمنِ hingga وَصُحُفُ الْخَلِيْلِ وَالْكَلِيْمِ # فِيْهَا كَلَامُ الْحَكَمِ الْعَلِيْمِ
Maka Syekh Ahmad Al-Marzûqi bangun dari tidurnya, beliau pun membaca kembali mandhumah yang didapatkannya dalam mimpi, spontan beliau utuh menghafalnya dari awal bait hingga akhir.
Dan terjadi lagi kedua kalinya, Syekh Ahmad Al-Marzûqi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mimpinya. Ketika itu mimpi terjadi pada waktu sahur atau sepertiga malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Bacalah apa yang telah kau himpun di dalam hatimu”. Syekh al-Marzûqi pun membacanya dari awal hingga akhir di hadapan Rasul, sedangkan para sahabat mengelilinginya seraya mengucap “آمين” di setiap akhir bait mandhumah yang dibaca Syekh al-Marzûqi.
Tatkala beliau menyelesaikan bacaannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Semoga Allah memberikan taufik pada sesuatu yang diridhai-Nya, dan menerima madhumah itu, serta memberikan keberkahankepadamu dan orang-orang yang beriman, juga mereka bisa mengambil manfaat darinya, Amiin”.
Setelah peristiwa itu, orang-orang kian mengetahui akan mandhumah yang didapat oleh Syekh Ahmad Al-Marzûqi, maka banyak yang menanyakannya. Beliau pun menjawabnya dengan mandhumah yang didapatkan dalam mimpinya, sekaligus menambahkannya dengan bait,
وَكُلُّ مَا أَتَى بِهِ الرَّسُوْلُ # فَحَقُّهُ التَّسْلِيْمُ وَالْقَبُوْلُ
Hingga selesai yaitu sampai pada bait,
أبْيَاتُهَا مَـيْـزٌ بِـعَدِّ الْجُمَّل # تَارِيْخُها لِيْ حَيُّ غُرّ جُمَّلِ
سَـمَّـيْـتُـهَا عَـقِـيْدَةَ الْـعَوَام # مِـنْ وَاجِبٍ فِي الدِّيْنِ بِالتَمَامِ
(KH. M. Ihya` ‘Ulumuddin, Jalâul Afhâm Syarh ‘Aqîdatul ‘Awâm, Riyâdh, cetakan ke-2, 1425 H).
Mandhûmah ‘Aqîdatul ‘Awâm memuat 57 bait. Dimulai dengan pujian kepada Allah dan Rasululullah serta para sahabat dan keluarga Nabi, kemudian kewajiban mengetahui sifat-sifat wajib bagi Allah yang dua puluh, sifat-sifat mustahil, serta sifat jaiz. Setelah itu disebutkan sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi para Rasul dan nama-nama 25 Nabi. Kemudian sifat malaikat secara umum dan nama-nama malaikat yang 10, nama-nama kitab yang 4, kewajiban menerima setiap apa yang disampaikan Rasul, iman kepada hari kiamat, setelah itu nama-nama keluarga Nabi, Isra Mi’raj dan kewajiban shalat, kemudian penutup.
Banyak para ulama yang menyusun kitab syarah Mandhûmah ‘Aqîdatul ‘Awâm, salah satunya adalah Syekh al-Marzûqi sendiri dengan kitabnya yang bernama Tahshîl Naylil Marâm. Selain itu ada Nurudl Dlalam ‘alâ Mandhûmah ‘Aqîdah al-‘Awâm karya Syekh Nawawi al-Bantani, Jalâul Afhâm Syarh ‘Aqîdatul ‘Awâm karya KH. M. Ihya` ‘Ulumuddin, Tashîl al-Marâm li Dâris ‘Aqîdatil ‘Awâm karya Syekh Ahmad al-Qath’âni, dan masih banyak lagi.
Amien Nurhakim, Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah