Pustaka

Menggeledah Gerakan Hizbut Tahrir

Sabtu, 26 Agustus 2017 | 10:30 WIB

Fatwa-fatwa penolakan ulama terhadap Hizbut Tahrir (HT) yang diduga terlibat dalam serangkaian teror dan kekerasan atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan, aktivis keagamaan, bahkan pengamat politik.

Dalam kenyataan sejarah yang selalu terjadi berulang kali, bahwa agama sama sekali memang tidak dapat steril dan bersih dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu. Agama menjadi semacam legitimasi sikap polaris dan kepentingan suatu kelompok.

Walaupun Hizbut Tahrir menentang ideologinya dikait-kaitkan dengan kekerasan dan terorisme, pada kenyataannya, anggota-anggota mereka dididik dan terlibat langsung pada kekerasan tersebut. Anti-terorisme hanya lipstik dan topeng semata. 

Peristiwa 31 Juli 2006, dua bom ditemukan di kereta api Jerman. Keduanya ditemukan tersembunyi di dalam koper sementara kereta sedang bergerak. Disusul tragedi tanggal 19 Agustus, Youssef Mohammed al-Hajdib, seorang pelajar Muslim Lebanon berusia 21 tahun, ditangkap di stasiun kereta api Kiel. Dia didakwa dengan percobaan pembunuhan, termasuk organisasi teroris dan berusaha menyebabkan ledakan. Kemudian pada tanggal 25 Agustus orang kedua-seorang Suriah bernama Fadi Al-Saleh-ditangkap. Keduanya telah ditangkap di Lebanon. Salah satu tersangka yang ditahan di Lebanon, yang memakai nama kode "Hamza," ditemukan sebagai anggota Hizbut Tahrir.

Pertanyaannya, bagaimana menguji kebenaran asumsi dan stereotip negatif itu? Buku ini selain memberikan informasi penting seluk-beluk percobaan-percobaan kudeta gagal dan serangkaian teror kekerasan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, juga menyediakan ruang dialektika-kritis bagi pembacanya, bagaimana mestinya kita menyikapi gerakan yang mengusung misi khilafah Islamiyah itu.

Mohammad Nuruzzaman, penulisnya terlihat bersemangat dan berapi-api mengeksplorasi bahasan tema dalam buku yang mempunyai ketebalan 144 halaman dan 5 sub bab ini. Hal itu kemudian mendapat apresiasi dari Ketua PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, karena dirasa buku ini sangat penting untuk dibaca masyarakat Indonesia, Gus Yaquf menganggap buku ini sebagai upaya untuk membentengi aqidah masyarakat juga sebagai bentuk upaya untuk tetap menjaga keutuhan NKRI.

Buku yang ditulis  Nuruzzaman ini menjadi salah satu karya yang berhasil memotret dan merekam agenda-agenda tersembunyi Hizbut Tahrir di seluruh penjuru dunia secara kritis dan komprehensif. Pada bab pertama, dijelaskan aspek historis, doktrin yang diajarkan oleh Mohammed Tagiuddin al-Nabhani.

Menurut Michael R Fischbach, pendirian Hizbut Tahrir al-Nabhani datang bersamaan dengan resminya Ikhwanul Muslimin. Dia menjadi kecewa dengan Ikhwanul Muslimin (Moslems Brotherhood) karena memiliki hubungan erat dengan pendirian Yordania. Jordan tidak pernah berusaha untuk melarang MB, dimana ia beroperasi dengan nama Islamic Action Front. MB telah mengirim banyak pejuang melawan Israel dan awalnya berkolusi dengan kudeta “Pejabat Bebas” di Mesir, yang berlangsung pada tanggal 23 Juli 1952. Pada bab ini Nuruzzaman juga memberikan perhatian khusus sehingga tersaji secara sistematis, runtut, dan dramatis.

Menurut Nuruzzaman, buku ini dilandasi beberapa faktor penting. Salah satunya yaitu adanya anggapan masyarakat yang menilai bahwa keputusan pembubaran HTI oleh Kementerian Hukum dan HAM adalah tindakan yang salah karena melarang dakwah Islamiyah di negaranya sendiri. Padahal secara tegas Ketua MUI, KH Maaruf Amin mengatakan, “Sekarang HTI itu dipertanyakan komitmen kebangsaannya oleh pemerintah. Karena mereka mengusung isu Khilafah. HTI memang pantas untuk dibubarkan.”  (Back Cover-Endorsement).

Pada bab kedua, Nuruzzaman membongkar keterlibatan Hizbut Tahrir dalam kekerasan dan pengeboman. Peristiwa memilukan, Asif Hanif dari Hounslow, berhasil meledakkan dirinya. Dia membunuh tiga orang dan melukai 65 lainnya. Temannya, Omar Sharif dari Derby, tidak bisa meledakkan ikat pinggangnya dan melarikan diri. Mayatnya yang membusuk ditemukan mengambang di laut 12 hari kemudian. Kedua orang tersebut dikaitkan dengan kelompok radikal Al Muhajiroun, yang berevolusi dari Hizbut Tahrir. Omar Sharif dijadikan radikal oleh HT di universitas, dan menerima surat elektronik dari kelompok tersebut sampai saat dia mencoba meledakkan dirinya. 

Hizbut Tahrir, tentu saja, mengklaim bahwa itu tidak ada hubungannya dengan mereka. Perpecahan bekas Uni Soviet telah menciptakan negara-negara di Asia Tengah yang sejak pertengahan 1990-an menjadi rentan terhadap kemajuan Hizbut Tahrir dan "teologi pembebasan" militannya.

Pada bagian ketiga dalam buku ini mengungkap dilema pelarangan Hizbut Tahrir. Nuruzzaman mengatakan “Kita harus memulai dari Inggris, karena di sanalah pusat Hizbut Tahrir berdiri.” Persoalan yang dihadapi oleh Inggris dilematis. Sehingga usaha membubarkan Hizbut Tahrir tidak gampang seperti membalik telapak tangan. 

Hizbut Tahrir dilarang hampir di semua negara Arab di Timur Tengah, seperti Yordania, Suriah, Lebanon, dan Mesir. Gerakan ini dilarang di Tunisia, Libya, dan juga Turki. Mereka dianggap sebagai ancaman, dan bahkan dilarang di Arab Saudi dan juga di Pakistan, yang sudah merupakan klimaks ekstremisme. Aliran ini dilarang di semua negara bekas jajahan Soviet di Asia Tengah. Sejak Februari 2003 mereka telah dilarang di Rusia. Mereka juga telah dilarang di Jerman  karena anti-Semitisme dan keinginannya menggunakan kekuatan untuk tujuan politik. Sejak Maret 2003, mereka juga dilarang di Belanda. Sayangnya, masih saja ada negara-negara yang mengalami dilema untuk melarang keberadaan Hizbut Tahrir.  

Kesimpulan yang menarik diberikan oleh Nuruzzaman pada bab ketiga ini adalah bagaimanapun, ideologi Hizbut Tahrir dianggap berbahaya oleh para penguasa dengan sistem pemerintahan yang kontra khilafah. Ideologi itu dianggap berbahaya karena menyimpan potensi revolusi. Apabila revolusi terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Hampir negara-negara yang melarang Hizbut Tahrir melihat percik-percik revolusi berupa kekerasan muncul ke permukaan.

Di bab keempat, diskusi tentang bagaimana fatwa-fatwa penolakan ulama dunia terhadap Hizbut Tahrir. Dalam sinopsis bukunya, Nuruzzaman memantik pembahasan fatwa-fatwa penolakan itu dengan tegas dan lantang. “Para ulama Muslim di berbagai penjuru dunia tidak setuju dengan gagasan dan misi yang dibawa oleh Hizbut Tahrir. Menurut ulama’; Asia, Timur Tengah, Eropa, bahkan Australia, Rusia, dan sekitarnya secara tegas mengatakan bahwa konsep khilafah Hizbut Tahrir bukan malah mempersatukan umat Islam tetapi malah akan memecah belah umat Islam. Apalagi Hizbut Tahrir mengharamkan demokrasi, nasionalisme, dan patriotisme. Jika Hizbut Tahrir dibiarkan jelas akan memicu perpecahan di tengah masyarakat.

Pada bab terahir, Nuruzzaman mencurahkan tenaga dan pikiran untuk melakukan kajian kritis atas ideologi dan citra Hizbut Tahrir Indonesia. Ia mengaku bahwa mengkritik ideologi khilafah yang diusung Hizbut Tahrir, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia, bukan perkara mudah. Sebab, organisasi ini mencitrakan dirinya terus-menerus sebagai organisasi yang anti-terorisme, dan diam-diam mendukung aksi kekerasan, intoleransi, dan anti-pluralisme, juga anti-demokrasi.

Pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas Pancasila, memang menarik dan mengandung kontradiksi. Di satu sisi, mereka menyebut Pancasila sebagai "ideologi kufur" yang harus ditolak karena ketidaksempurnaan Pancasila dalam dirinya sendiri. Di sisi lain, mereka menerima Pancasila sebagai seperangkat falsafah (set of philosophy).

Di tahun 1990, secara eksplisit HTI  mengkafirkan Pancasila. Kemudian pada tahun 2012, HTI menghaluskan pandangannya dengan menyebut Pancasila sebagai set of philosophy: rangkaian filsafat buatan manusia. 

Ismail Yusanto mengatakan karena Pancasila mengakomodir pluralisme agama. Hal ini terdapat pada sila Persatuan Indonesia yang menjaga dan menghormati kemajemukan bangsa, salah satunya kemajemukan agama. Penghargaan atas kemajemukan agama ini bertentangan dengan prinsip HTI yang menekankan kebenaran tungal agama Islam. Kedua, karena Pancasila berisi kemajemukan ideologi-ideologi non-Islam, seperti sosialisme, demokrasi, dan nasionalisme. Padahal menurut HTI, mabda’ yang paling benar adalah mabda’ Islam. Dengan argumentasi itulah, maka Pancasila adalah "falsafah kufur" yang bertentangan dengan Islam.

Bagi Hizbut Tahrir Indonesia, Pancasila adalah gagasan filosofis yang baik. Hanya saja sebagai set of philosophy, ia tidak mencukupi (not suffictient) untuk mengatur tata pemerintahan di Indonesia. Mengapa? Selain karena jumlahnya yang hanya lima sila, Pancasila hanya merupakan gagasan filosofis yang tidak memiliki keturunan sistemik di dalam realitas politik. Turunan sistemik ini menyangkut sistem hukum yang mewujudkan keadilan sosial, sistem politik yang mendukung kerakyatan, sistem ekonomi yang mendukung kesejahteraan, dsb. Dengan tidak adanya rumusan sistem sebagai ejawentah dari Pancasila ini, maka set of philosophy tersebut tidak mencukupi dalam ketatanegaraan dan tata poitik.

Intinya, karya Nuruzzaman ini merupakan kajian komprehensif dan kritis. Secara khusus buku ini juga berusaha menggeledah gerakan Hizbut Tahrir beserta agenda tersembunyi dan implikasi politik internasionalnya. Selamat membaca


Peresensi Ahmad Ali Adhim

Info Buku
Judul  : Catatan Hitam Hizbut Tahrir
Penulis  : Mohammad Nuruzzaman
Penerbit : Belibis Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal : 144 Halaman
ISBN : 978-602-6940-62-9


Terkait