Penulis: Nur Khalik Ridwan
Editor: F. Mustafid
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2008
Tebal: xx+204 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti
Nahdlatul ulama (NU), adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344 H) oleh sejumlah kiai (ulama) di Surabaya, Jawa Timur. Organisasi ini sudah memberikan kontribusi dan perubahan yang besar pada negara, khususnya umat Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Promotor berdirinya, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Ridwan, KH Nawawi, KH Doromuntaha (menantu KH Cholil Bangkalan). Pendiri utamanya adalah, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari.<>
Menjelang berdirinya pada 1926, para ulama NU membentuk Komite Hijaz, yang hasilnya benar-benar mampu mewarnai dunia Islam, khususnya bagi kalangan pesantren. NU didirikan bertujuan melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan menganut Imam Madzhab yang empat, di antaranya, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali.
Sampai saat ini, NU telah melewati beberapa fase. Fase ini dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, NU didirikan sampai NU menjadi partai poltik. Fase kedua, NU keluar dari Majelis Syura Muslim Indonesia (Masyumi) dan menjadi partai politik sampai keluar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fase ketiga, NU menjadi gerakan sosial-keagamaan dengan sebutan kembali ke Khittah NU 1926.
Buku ini menjelaskan beberapa persoalan yang terjadi di kalangan NU, mulai masalah sosial, politik, khususnya dalam masalah ekonomi warga NU. Buku ini juga memaparkan berbagai rintangan dan hambatan warga NU menjelang satu abad. Kini, NU telah berumur 82 tahun. Umur NU akan menjadi satu abad, tepatnya pada 31 Januari 2026.
Menjelang satu abad pada 2026 nanti, tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan bagi organisasi terbesar ini. NU kini mempunyai banyak pekerjaan dan garapan yang harus diselesaika. Sehinga nama NU tidak sekedar formalitas, tetapi benar-benar organisasi sosial-keagamaan yang berperan sebagai pengayom umat dan kalangan pesanten. Namun, kenyataannya, NU saat ini sepertinya sudah meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Khittah 1926. NU selalu ditarik pada ranah politik praktis. Maka, tidak salah jika NU selalu mendapat kritikan baik dari kalangan luar maupun dari warganya sendiri. NU saat ini sudah tidak lagi mengurus umat, melainkan selalu dibuat mainan para elit-elitnya, untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, kritik-kritik yang muncul dari banyak kalangan muda yang tidak puas dengan kelambanan NU dalam merespon kondisi-kondisi sosial selama ini. Akibatnya, ketidakpuasan itu, kalangan muda membentuk organisasi non-pemerintah (ornop). Munculnya ornop tentu saja juga merupakan bagian dari gelombang besar masyarakat sipil yang muncul sejak 1980-an dan juga hasil pencerahan yang dilakukan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kritik-kritik itu juga muncul berkaitan dengan pentingnya NU memahami masalah-masalah global dan nasional yang kompleks. Kalangan muda sering mempertanyakan kualitas gerakan sosial-keagamaan NU yang dianggap berhenti di tingkat formal saja. Sementara, di tingkat praksis, dalam gerakan sosial, kualitasnya masih jauh apa yang diharapkan warga NU (hal.32).
Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, NU memasuki dunia baru. Sejak berdirinya sampai menjadi partai politik, akhirnya NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Peristiwa itu dinamakan, kembali ke khittah. NU sudah lepas dan menjaga jarak dari politik praktis dan kembali ke format awal, yakni sebagai pengayom umat, mengurus dakwah, pendidikan dan pondok pesantren. Inilah salah satu tugas yang harus diperjuangkan NU ke depan. Perjuangan NU harus lebih banyak difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, dakwah, khususnya peningkatan ekonomi warganya.
Ada dua tantangan besar yang harus dihadapi NU menjelang satu abad nanti. Pertama, globalisasi dan neoliberalisme. Globalisasi dan neoliberalisme ini adalah ideologi lanjutan dari kapitalisme yang saat ini diadopsi sebagian besar negara-negara berkembang dan telah dipraktikkan negara-negara maju.
Kedua, munculnya kelompok-kelompok Islam yang berjenis lain dan tidak sealiran dengan NU, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Jama’ah Islamiyah. Mereka sepertinya mau merubah amaliah yang telah mentradisi di kalangan NU pesantren.
Sungguh menarik buku ini dijadikan bahan bacaan dan referensi bagi kalangan pesantren dan warga NU pada umumnya. Penulisnya mampu menjelaskan kondisi sosial warga NU, dari masalah politik hingga kondisi sosial-ekonominya.
Presensi adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur