Pustaka

Pesantren sebagai Pendidikan Moral Sepanjang Sejarah

Senin, 10 Juni 2019 | 02:00 WIB

Membaca Islam yang komprehensif tentunya tidak bisa dilepaskan dari peradaban awal Islam, yaitu Islam di era Nabi Muhammad SAW. Model Islam yang dipromosikan kepada umat manusia adalah Islam rahmatan lil ‘alamin: sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran Islam seutuhnya ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia. Kehidupan yang sejahtera, damai, berkeadilan, dan kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai luhur merupakan visi dan tujuan ajaran Islam.

Buku ini merekam jejak historis islamisasi Jawa yang dilakukan dengan cara yang santun dan damai. Proses penguatan nilai-nilai Islam di Jawa tidak dilakukan dengan cara menghakimi tradisi masyarakat sebagai bid’ah, sekalipun tradisi tersebut berbau animistik-hinduistik, melainkan dilakukan dengan mengafiri budaya lokal setempat, menjadikannya sebagai instrumen penyebaran Islam.

Yang menjadi persoalan, kadang-kadang ketika menjadi seorang Muslim, kita dituntut untuk se-Arab mungkin. Sebaliknya sebagai orang yang modern, kita dituntut untuk kebarat-baratan atau se-Barat mungkin. Kita bisa menjadi seorang Muslim tanpa harus kehilangan jati diri sebagai warga negara. Sebab, jati diri utama seorang Muslim ditentukan oleh ketakwaannya.

Islam yang dibawa ke Indonesia dapat diterima dengan mudah karena memiliki kemiripan konseptual, sehingga inkulturasi terjadi. Melalui proses inkulturasi yang panjang, nilai Islam dan nilai pra-Islam berpadu dan membentuk hal baru. Islam di Arab, Turki, India dan di seluruh penjuru dunia memiliki bentuk yang sama, termasuk bentuk Islam yang berkembang di Indonesia. Kebaruan di sini menurut penulis buku ini terletak pada makna, bukan bentuknya.

Para juru dakwah Islam di Indonesia banyak sekali. Akan tetapi, yang paling banyak dikenal oleh masyarakat luas adalah Wali Songo. Sebab, jasa yang mereka perjuangkan sangat tampak dirasakan. Salah satu contohnya adalah lahirnya pendidikan pesantren. Pondok pesantren menjadi representasi yang masih mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai lokal dan Islam. Keduanya terpilih dalam suatu proses inkulturasi yang sangat panjang, menyejarah, tampil dalam pentas perjalanan historis bangsa dan negara (hal. 396-397).

Belakangan ini, muncul fenomena yang menjadi tren pesantren. Pertama, pesantren tradisional ramai-ramai mengadopsi pendidikan modern saja. Pesantren ini membuka pendidikan umum dan kampus ala Barat dengan meninggalkan karakter pesantren--tetapi mempertahankan apa yang khas dalam pesantren. Kedua, munculnya pesantren garis keras. Akibatnya, banyak alumni pesantren beraliran radikalis (hal. 23). Menurut penulis, teroris tingkat tinggi hampir semuanya alumni pesantren. Sebut saja misalnya Amrozi, Umar Patek, Imam Samudra dan lain-lain.

Perlu diketahui, bahwa ada tugas-tugas pokok yang harus dilakukan bagi para pendakwah untuk memberikan pendidikan keislaman yang baik kepada masyarakat, yaitu mengimplementasikan pendidikan moral (makruf), bukan dengan cara kekerasan (mungkar). Sekarang justru malah terbalik, para pendakwah awal seperti Wali Songo dikafir-kafirkan karena tidak membidahkan atau mensyirikkan budaya setempat, padahal mereka dulu mengislamkan orang kafir.

Dalam berhubungan dengan Allah, kita mesti mengikuti apa yang diajarkan agama. Akan tetapi, dalam berhubungan dengan manusia (hubungan horizontal), untuk mewujudkan kemaslahatan kepada makhluk di muka bumi, maka kita perlu menyerap sebanyak mungkin budaya dari manapun yang baik, dan meninggalkannya yang jelek, termasuk dari budaya kita sendiri.

Oleh karena itu, bagi para peletak dasar berdirinya pesantren dan atau penyebar awal Islam di Indonesia menilai urgensinya prinsip-prinsip tidak menggunakan kekerasan di dalam seluruh kehidupan manusia. Nilai-nilai lokal yang baik terus dipelihara oleh mereka (wali) sebagai sesuatu yang baik dan dijadikannya sebagai medium dalam penyebaran agama Islam yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia (hal. 399). Dengan prinsip dasar itu mereka berhasil dengan mudah mentransformasikan nilai-nilai non-islami menuju kehidupan yang Islami secara paripurna.

Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara sangat penting dibaca untuk menambah wawasan tentang strategi dakwah persepektif etika pesantren karya Aguk Irawan ini. Buku yang dihasilkan dari hasil penelitiannya sudah pasti dilakukan dengan sungguh kehati-hatian dalam menyelesaikan gagasannya. Meski bahasa yang digunakan dalam buku ini terkesan akademik-intelektual, tapi tidak menutup kemungkinan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas, terutama bagi mereka yang sedang mendalami dunia dakwah dan mereka yang ingin memahami Islam dan tuntunan idealnya. Selamat membaca.

Peresensi adalah Ashimuddin Musa, alumnus Instika, Guluk-guluk, Sumenep, Jawa Timur.

Identitas Buku
Judul: Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara
Penulis: Aguk Irawan MN
Penerbit: Pustaka IIMaN
Tahun terbit: 2018
Tebal: 462 halaman.
ISBN: 978-602-8648-29-5


Terkait