Pustaka

Peta Ideologi Pasca-Reformasi

Senin, 5 Maret 2012 | 08:16 WIB

Judul buku: Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjuan Ideologis
Penulis : As’ad Said Ali
Halaman: xii+156
Terbit: Februari 2012
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Peresensi: Syaiful Arif*

Reformasi 1998 memang membuahkan hasil yang paling dibutuhkan masyarakat Indonesia. Yakni kebebasan politik. Dalam kebebasan ini, masyarakat bebas mengartikulasikan hak-hak sosial-politiknya. Baik melalui jalur politik formal (partai politik), maupun gerakan sosial. Persoalannya, kebebasan yang tanpa panduan telah melahirkan “ancaman” bagi sendi-sendi dasar berbangsa. Sebab ia mendedahkan berbagai gerakan sosial-politik yang jelas-jelas memiliki ideologi kontra-Pancasila.
<>
Inilah yang menjadi keprihatinan mendasar Dr As’ad Said Ali. Wakil Ketua Umum PBNU yang baru mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari fakultas hukum Universitas Diponegoro pada 11 Februari kemarin ini, memang menggelisahkan ancaman ideologis atas ideologi negara kita, yakni Pancasila. Oleh karenanya, tesis yang membuahkan doktor kehormatan itu adalah gagasan As’ad, perlunya payung hukum penjaga Pancasila, dari serangan ideologi-ideologi politik yang pasca Reformasi, menyeruak tanpa kendali. Argumennya sederhana. Jika TAP-MPRS III/1966 melarang ajaran Marxisme-Leninisme-Komunisme, kenapa tidak ada UU yang melarang ideologi Islamisme misalnya, yang secara terang-terangan memperjuangkan pendirian Negara Islam?

Lima varian

Dalam buku terbaru yang merupakan riset empirik selama ia menjabat Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini, dipaparkan lima macam ideologi politik yang ada di Indonesia, yang menyeruak dalam kebebasan politik pasca Reformasi 1998. Ideologi-ideologi ini merentang di antara dua tradisi besar: ideologi sekular dan Islamisme. Oleh kareannya ia membuat lima tipologi, yakni kiri-radaikal, kiri-moderat, kanan-konservatif, kanan-liberal, dan Islamisme.

Pertama, kiri-radikal. Ideologi ini mendapat asupan teoritis dari Marxisme, yang kemudian melahirkan varian Leninisme dan Maoisme. As’ad berangkat dari peta global ideologi ini, yang mencakup sosialisme komunitarian, Marxisme, Anarkisme, Komunisme, Trotkyisme, Maoisme, Shactmanisme I, Neo-Konservatisme Laboris, Euro-Communism, Kiri-baru (1960), hingga varian-varian baru seperti Demokrasi Radikal, Marxisme Demokratis, Sosialisme Libertarian dan Sosialisme Pasar. Dasar teoritis ideologi ini tentulah Marxisme, yang menempatkan kapitalisme sebagai musuh utama, dan kelas buruh sebagai lokomotif perjuangan kelas. Sementara varian baru mengacu pada perluasan demokrasi, dari demokrasi elitis parlementer, kepada demokrasi partisipatoris. Perjuangan varian baru Demokrasi Radikal misalnya, tidak melulu perjuangan kelas. Melainkan perluasan demokrasi dari wilayah politik, kepada demokrtaisasi sosial-ekonomi (hlm. 3-15).

Di Indonesia, varian kiri-radikal ini terdapat pada Anarkis-Marxis. Yakni varian gerakan sosial-politik berhaluan Marxis yang anti-negara. Karena anarkisme merupakan ideologi anti-negara, maka persatuan antara anarkisme dan Marxisme terletak pada kekritisan atas kekuasaan negara yang selalu dilihat sebagai Leviathan yang menjajah. Serta perjuangan Marxian pada level buruh, petani, dan rakyat miskin kota. Menurut As’ad, Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah pusat-politik dari segenap gerakan anarkis-Marxian ini. Artinya, sebagai partai, PRD mampu menyatukan segenap gerakan buruh, petani, mahasiswa radikal dan rakyat miskin kota di dalam payung besar politik radikalnya. Hanya saja dalam perkembangannya, berbagai gerakan sosial radikal ini kemudian mengundurkan diri dari PRD, karena perbedaan pandangan.

Yang menarik As’ad mampu memberikan data gerakan radikal anarkis di negeri kita. Gerakan itu adalah Kolektif Kontra Kultura (Bandung), Anti Fascist and Racist Action (Jakarta) yang berafiliasi dengan organisasi anti-rasis internasional: Anti Racist Action (ARA). Di Yogyakarta juga terdapat Taring Padi yang berisi para seniman anarkis yang membentuk jaringan anarkis nasional, yakni Jaringan Anti Fasis Nusantara (JAFNus). Jaringan ini kemudian dibubarkan oleh pemerintah. Hanya saja pada tahun 2007, gerakan ini bangkit lagi dan membentuk Jaringan Anti-Otoritarian. Sebuah jaringan nasional yang berisi Kolektif Affinitas (Yogyakarta), Jakarta Anarchist Resistance yang kemudian menjadi Jaringan Otomatis (Jotos), Jaringan Autonomous Kota (Salatiga) dan Kolektif Bunga (Surabaya). Jaringan besar ini disatukan untuk menyambut MayDay 2007 dan bergabung dengan Aliansi Buruh Menggugah (hlm. 16-23).

Kedua, kiri moderat. Ini adalah varian sosial demokrasi yang ingin memperluas demokrasi dari ranah politik kepada ranah sosial-ekonomi. Varian ini berangkat dari tradisi sosialis namun percaya pada mekanisme demokrasi. Tujuan utama varian ini adalah negara kesejahteraan (welfare state), yang merupakan ejawantah cita-cita sosialis dalam negara demokrasi. Di Indonesia, varian sos-dem ini digerakkan oleh Gerakan Pembaharu Indonesia (1967), Partai Rakyat Marhein, Partai Rakyat Prima, Partai Penerus Perintis Kemerdekaan Indonesia (PGPPK) dan Partai Buruh Sosial Demokrat. Sementara itu bentuk gerakan sosialnya digerakkan oleh Forum Sosialis Demokratik, Pemuda Sosialis Jakarta, Perhimpunan Indonesia dan Uni Sosial Demokrat. Selain dalam gerakan sosial dan intelektual, sos-dem juga digerakkan melalui pergerakan buruh dengan tokoh Dita Indah Sari, dan rakyat miskin kota (Urban Poor Consortium) dengan tokoh Wardah Hafidz. Belakangan, gerakan ini getol menembakkan kritik kepada neo-liberalisme. Satu varian yang dibuku ini disebut sebagai kanan-liberal (hlm. 25-29).

Ketiga, kanan-konservatif. Varian ini menekankan konservatisisme. Yakni sebuah keinginan menjaga ketertiban sosial. Dalam kerangka ini, varian tersebut ingin kembali pada tatanan lama dan mengritik proses Reformasi yang  dianggap kebablasan. Untuk menjaga tertib sosial, model demokrasi elitis yang dipakai, sebab bagi varian ini, elitlah aktor sosial yang bisa menentukan corak kehidupan sosial-politik. Menurut As’ad, varian ini digerakkan oleh aktor-aktor lama politik Orde Baru yang bersembunyi di balik klaim nasionalisme. Maka, salah satu isu yang ditumpangi gerakan ini adalah kritik atas amandemen UUD 45, sehingga mereka mencetuskan perlunya kembali kepada dasar negara (dan juga NKRI) yang telah mapan itu. Selain aktor lama Orde Baru, varian ini juga digerakkan oleh petinggi militer radikal dan kaum nasionalis puritan. Organ-organ yang menggerakkan adalah Dewan Revolusi, Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya, Perhimpunan Nasionalis Indonesia, dan bahkan Gerakan Indonesia Bangkit (hlm. 44-47).

Keempat, kanan-liberal. Varian ini mendasarkan diri pada filsafat liberalisme yang saat ini telah berkembang menjadi neo-liberalisme. Varian ini tentu bertujuan pada penguatan pasar bebas dan pengecilan intervensi negara. Targetnya adalah privatisasi dan dominasi multinational corporation di kancah ekonomi Indonesia. Secara struktural, varian ini digerakkan oleh ELIPS (Economic Law and Improved Procurement System), Partnership for Governance Reform in Indonesia, dan PEG (Partnership for Economic Growth). Ketiga lembaga ini telah mampu mengintervensi pemerintah sehingga melahirkan beberapa kebijakan yang menguntungkan perusahan-perusahaan multi-nasional, terhitung sejak 1997-2003. Kebijakan pro-pasar bebas tersebut adalah UU Kepailitan, UU Migas, UU SDA, UU Merek, UU Hak Cipta, UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, dan bahkan UU Otonomi Daerah (hlm. 47-55).  

Kelima, Islamisme. Dalam varian ini As’ad menyebutkan beberapa gerakan Islam radikal yang ia tempatkan sebagai non-maintream, berseberangan dengan gerakan Islam mainstream yakni NU-Muhammadiyah. Gerakan Islamis itu adalah Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi-Wahabi, Salafi Jihadi, Jama’ah Tabligh, Syi’ah, Laskar Jihad Ahl Sunnah Wal Jama’ah, Majelis Mujahidin Indonesia, serta Jama’ah Ansharut Tauhid. Menariknya, As’ad juga mengurai jejaring al-Qaeda di AsiaTenggara dan hubungan strukturalnya dengan beberapa gerakan Islam radikal tersebut.

Dalam kesimpulan, As’ad memprediksi terjadinya benturan antara gerakan Islam radikal dan Islam mainstream. Hal ini perlu diwaspadai sebab gerakan Islam radikal ini telah menggerogoti basis massa gerakan Islam mainstream. Basis Muhammadiyah di perkotaan misalnya, telah digerogoti oleh jama’ah Ihkwan dan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh mengerogoti konstituen NU di perkotaan, gerakan salafi berusaha mengambil jama’ah NU puritan dengan pendekatan pesantren. Pada ranah internal gerakan-gerakan radikal itupun terjadi ketegangan. Jama’ah Ikhwan misalnya, tidak pernah sepakat dengan Hizbut Tahrir, demikian sebaliknya. Alasannya, Hizbut Tahrir yang menolak demokrasi, tidak sepakat dengan Ikhwan yang menggunakan jalur demokrasi. Sementara Salafi-Wahabi yang non-politis, mengecam Ikhwan dan Hizbut Tahrir yang bergerak pada ranah politik (hlm. 73-143).

Buku yang merupakan riset pribadi selama di BIN ini terbilang cukup berat, karena memuat data intelijen yang kaya. Oleh karena itu, buku ini memberikan data berharga yang jarang ditemukan dalam media dan buku-buku gerakan konvensional. Keseriusan penulis dalam memetakan ideologi gerakan-gerakan sosial-politik di Indonesia patut kita apresiasi sebagai upaya seorang “pengabdi negara” dalam menjaga dasar-dasar konstitusional kenegaraan kita. Apalagi posisi penulis sebagai Waketum PBNU, menyiratkan keterlibatan ideologis sang penulis dalam kontestasi gerakan sosial-politik di negeri ini. Dengan demikian kita bisa memahami kenapa PR besar yang direkomendasikan buku ini adalah perumusan “payung konstitusi” penjaga ideologi negara. Jawabnya jelas. Karena tanpa “payung konstitusi” itu, Pancasila bisa saja dijegal tengah jalan, oleh beberapa varian ideologi di atas, yang memang memiliki tujuan normatif-ideologis, berbeda dengan Pancasila.


* Koordinator Kelas Pemikiran Gus Dur


Terkait