SASTRA SEBAGAI JENDELA KEHIDUPAN
Oleh
:Al-Zastrouw
Membaca buku Dr. Farida Soemargono (Far<>ida) seperti memasuki ruang masa lalu. Sepenggal fragmen kehidupan masa lalu terpasang secara rapi dalam etalase sejarah. Periode penulisan yang diambil oleh Farida adalah era puncak proses pembentukan nasionalisme Indonesia. Suatu titik kulminasi dari persilangan tradisi antara Jawa, Indonesia dan Barat untuk menjadi Indonesia. Sementara itu secara spiritual terjadi persilangan antara Hindu, Islam dan sekuler (Barat). Yogyakarta sebagai sentral kebudayaan Jawa, pada saat itu tiak saja menjadi nadi kesenian, ditengah berkecamuknya revolusi pada periode itu, Yigyakarta berubah menjadi kota revolusi yang mengobarkan spirit perjuangan pada rakyatnya. Inilah yang membuat buku ini menjadi menarik.
Secara jelas cermat Farida memaparkan terjadinya bahwa wajah kesenian pada saat itu bukanlah tunggal dan pasif. Seni adalah media melakukan ekspresi dan perlawanan, bukan semata-mata ekspresi atas jiwa estetik para seniman. Sebagai bentuk dari spirit perlawanan dan etos perjuangan yang terbungkus dalam estetika, maka keberpihakan para seniman terlihat secara jelas pada periode ini. Akibatnya timbul polarisasi seni antara Barat dan tradisional. Kelompok Sudjojono dan kawan-kawan, misalnya adalah kelompok yang secara konsisten bertahan pada pola dan model seni tradisional. “Para pelukis tersebut mampu bertahan menghadapi segala kritik yang ditujukan kepada mereka, terutama yang menilai mereka tidak “modern”, artinya tidak brcorak Barat seperti Sekolah Seni Rupa Bandung…..” (hlm. 20).
Dari paparan tersebut, terlihat, bahwa para seniman (dan intlektual) serta elit (priyayi) yang sekolah di Barat tidak serta merta menjadi agen untuk melakukan sosialisasi nilai Barat dan melakukan perubahan seperti Barat, sebaliknya mereka justru mejadi pioneer untuk melakaukan rekosntruksi tradisi sebagai resources social melalui ilmu-ilmu yang diperoleh dari Barat, untuk melawan imperialisme Barat. Ini merupakan cermin sejarah yang bias dijadikan kritik pada seniman dan intelektual sekarang, yang banyak menjadi agen dan anthek Barat setelah pulang menuntut ilmu dari Barat. Sehingga akhirnya mereka pangling pada dirinya, masyarakatnya dan tradisinya, karena silau oleh tradisi dan budaya Barat.
Apa yang tertulis dalam buku ini menunjukkan bahwa seniman pada saat itu memiliki kepekan dan empati yang cukup dalam terhadap realitas kehidupan dan nasib masyarakat. Hal ini terjadi karena para seniman lebur dalam dalam problem kehidupan dan suasana batin rakyat. Mereka benar-benar tidak berjarak dengan rakyat sehingga bisa merasakan pahit getir kehidupan dan mendengar desar nafas penderitaan rakyat. Perjalanan hidup dan konstruksi social yang dipotret Farida dalam buku ini menunjukkan pergulatan para seniman dengan kehidupan dan rakyat yang menjadi inspirasi kreasi seni mereka. Rakyat dn kehidupan adalah mata air yang tidak pernah kering dan mereka bersentuhan langsung untuk mereguk kesegaran mata air tersebut. Suatu contoh yang baik bagi seniman sekarang yang mulai berjarak dengan kehidupan nyata, dan membayangkan penderitaan rakyat dari jauh sambil mereka-reka imajinasi. Akibatnya karya yang mereka hasilkan sudah bersumber dari “mata air kedua”, dunia emagi yang diimaginasikan lagi. Sehingga wajar saja bila karya-karyanya menjadi kurang greget, tidak punya ruh, kurang empatif.
Apa yang dilakukan Sri Murtono merupakan bukti kedekatan dan kepekaan seniman dalam problem kehidupan rakyat. Lewat sanggar teater “Remaja Seni” Murtono memberikan penerangan pada lingkungan pekerja (hlm. 104). Kreatifitas seni di sini benar-benar menjadi instrument stratformasi social dan proses penyadaran. Dengan ketajaman analisis dan kepekaan sosialnya, Murtono melakukan kritik pada msyarakat yang terjangkit uporis revolusi sehingga melibatkan anak-anak dibawah umur untuk bergerilya, melalui pementasan tetater dalam sebuah lakon “Gunung Brintik”. Hal ini ditentang oleh par gerilyawan pejuang, namun Murtono menyerahakan kepada public penonton, dan dia mendapat dukungan dari penonton untuk terus mementaskan la