Pustaka

Satu Dusun Tiga Masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama

Kamis, 10 Mei 2007 | 11:23 WIB

Penulis: Ahmad Salehudin, Penerbit: Pilar Media, Yogyakarta, Cetakan: 1, Maret 2007, Tebal: xxiv + 132 Halaman, Peresensi: Puji Hartanto*
 
Dalam sejarah manusia seluruh dunia dan pada setiap zaman, agama adalah sesuatu yang terus mengalami perubahan. Hal demikian ini dikarenakan agama tidaklah lahir dari sebuah realitas yang hampa, tetapi ia (agama) hadir dalam masyarakat yang telah mempunyai nilai-nilai. Pertemuan antara Islam dan budaya Indonesia yang notabene mempuyai budaya dan kultur yang berlainan antar suku bangsa misalnya, telah menjadikan Islam Indonesia mempunyai banyak wajah. <<>/font>

Ini tercermin dari beragamnya organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Dewan Dakwah Islamiyah (DDII), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (Islam Tauhid), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lain sebagainya yang merupakan bukti dari banyaknya wajah atau lebih tepatnya ekspresi keberagamaan keislamanan masyarakat Indonesia. Beragamnya ekspresi keberagamaan tersebut menurut Geertz (1960) dipengaruhi oleh proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal yang heterogen.

Buku dengan judul Satu Dusun Tiga Masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama yang di tulis oleh Ahmad Salehudin ini adalah buku dari hasil penelitaannya yang di fokuskan pada masyarakat Gunung Sari. Dalam penelitiannya ini Salehudin mencoba melihat agama yang bekerja dalam masyarakat atau memahami ekspresi keberagamaan masyarakat dan interaksi sosial keagamaan dengan mempertimbangkan pola konstruksi sosial keberagamaannya. Hasilnya, ditemukan sebuah wajah agama baru berdasarkan tiga tipologi hubungan agama dan budaya lokal, yaitu sinkretis, akulturatif, dan pribumisasi.

Dari ketiga macam paradigmatik itulah kiranya semakin memperjelas kepada kita bahwa terdapat kecenderungan tentang bagaimana cara masyarakat mengkonstruksi agama (Islam) berdasarkan letak geografis dan pemahaman keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi lokal yang pada gilirannya telah melahirkan bermacam ekspresi keagamaan yang unik baik secara pemikiran, ritual, dan persekutuan antara pemeluk yang satu dengan yang lainnya. Fenomena ekspresi keagamaan masyarakat Gunung Sari sebagaimana diuraikan dalam buku ini adalah bukti riil dari keunikan yang di maksud.

Gunung Sari adalah daerah yang secara goegrafis terletak cukup dekat dengan pusat keagamaan di Yogyakarta, yaitu berjarak sekitar 19 km dari Kauman sebagai pusat Muhammadiyah, sekitar 25 km dari pondok Krapyak, Bantul sebagai pusat penyebaran NU, dan sekitar 60 Km dari pusat penyebaran Islam Tauhid yaitu daerah Degan, Kulonprogo. Sedangkan secara budaya, wilayah Gunung Sari juga cukup dekat dengan Kraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, serta beberapa obyek wisata sosial-relegius seperti candi Prambanan sebagai simbol Hindhu, candi Borobudur dan Mendut sebagai simbol agama Budha.

Dengan posisi yang demikian itu, maka Gunung Sari merupakan medan interaksi antara NU, Muhammadiyah, Islam Tauhid dan budaya Jawa serta pemikiran-pemikiran keagamaan lain yang diderivasi dari budaya Jawa. Oleh karena sebagai medan  interaksi, maka perbedaan pemahaman keislamannya pun mengalami perbedaan. Perbedaan paham keislaman ini menyebabkan setiap rombongan keagamaan berada pada posisi saling berhadapan secara diametral (hal 52). Mereka seringkali saling menyalahkan, saling bertahan, dan bahkan saling menyerang. Polarisasi dan pengidentifikasian diri ini berlangsung secara terus menerus, dan diwariskan dari generasi kegenerasi berikutnya.

Dari sini yang terjadi kemudian adalah pembatasan antara kelompok NU, Muhammadiyah dan Islam Tauhid. Pemetaan tersebut juga semakin nampak dengan keberadaan masjid-masjid sebagai identitas kelompoknya. Sebut saja misalnya Masjid Zuhud sebagai Masjidnya Islam Tauhid, masjid Miftahul Huda sebagai masjidnya orang NU, dan masjid Ikhlas sebagai masjidnya orang Muhammadiyah. Dan inilah yang oleh penulis buku ini disebut dengan istilah satu dusun tiga masjid.

Sejarah Islam di Indonesia

Setidaknya ada empat teori yang menjelaskan mengenai sejarah kedatangan Islam ke Indonesia . Pertama, Islam datang dari anak benua India yaitu Gujarat dan Malabar. Kedua, Islam datang dari Bengal , seperti yang telah diungkapkan oleh SQ Fatimi. Ketiga, Islam datang ke Indonesia melalui Colomader dan Malabar. Dan keempat, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Naquib al-Attas bahwa Islam datang dari sumber aslinya yaitu Arab. Dalam hal ini, adalah Azumarzi Azra (1994) yang mengatakan bahwa mungkin saja Islam yang datang ke Indonesia adalah Islam Arab, tetapi tentu saja Islam yang berdasarkan atas interpretasi dari para pembawanya.

Dari berbagai macam teori diatas, maka atas beragamnya wajah Islam di Indonesia ini setidaknya adalah dari hasil proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal yang heterogen. Dengan kata lain, Islam di Jawa merupakan hasil dari pertemuan Islam dengan local javanese religion, Hinduisme dan Budhisme yang hidup secara bersamaan. Oleh karena itulah, melihat Islam Indonesia sebagai suatu kebulatan adalah sesuatu yang mustahil. Hal ini disebabkan oleh persepsi dari individu-individu pemeluknya mengenai apa yang mereka pahami sebagai realitas mutlak (ultimate reality).

Yang perlu di garis bawahi adalah bahwa agama sebagai bagian dari sistem budaya, keberadaannya senantiasa akan selalu bergerak secara dinamis, sehingga dalam kurun waktu tertentu wajah agama akan senantiasa berubah tergantung pada bagaimana individu atau kelompok memahaminya. Maka cara  yang paling bijaksana dalam kita melihat berbagai perbedaan cara mengekspresikan keberagamaan adalah dengan tidak menganggap salah terhadap individu-individu atau kelompok-kelompok keagamaan, tetapi sebuah kebenaran-kebenaran atas dasar rasionalitas yang berbeda.

Sekali lagi, bahwa buku dengan judul satu dusun tiga masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama ini adalah hasil dari penelitian secara terperinci yang menyoroti konsep kebenaran dalam beragama sebagaimana yang telah dipahami oleh masyarakat. Oleh karena itu, hadirnya buku ini ditengah-tengah kita semoga dapat memberikan keluasan cakrawala dalam berpikir ditengah beragamnya ekspresi keberagamaan masyarakat, sehingga tumbuh dalam diri kita sebuah kearifan dalam menyikapi keragaman yang ada. 

Peresensi adalah pecinta buku, Asisten pada Program Pengembangan Kepribadian Integral Berkelanjutan (P2KIB) UIN Sunan Kalijaga


Terkait