Tasynifus Sam’i, Kajian tentang Shalat Jamak Qashar tanpa Uzur
Senin, 9 September 2024 | 16:00 WIB
Penulis menemukan informasi tentang kitab ini ketika membaca salah satu referensi dalam kitab karya Alawi bin Ahmad As-Segaf yang berjudul Tarsyihul Mustafidin tentang kebolehan menjamak shalat tanpa uzur. Penulis sempat terkecoh dengan judul kitab yang sama namun dengan penulis dan isi yang jauh berbeda, yakni tidak mencantumkan pendapat tersebut.
Kitab berjudul Tasynifus Sam’i yang pertama kali ditemukan adalah karya Ali bin Muhammad Abu Haniyeh al-Falastini dengan judul Tasynifus Sam’i bi Ahkamil Jam’i dengan model penulisan tanya jawab yang berisikan 40 masalah terkait jamak shalat yang selesai ditulis pada hari Sabtu tanggal 17 Januari 2004. Namun, banyak dari redaksi kitab ini yang mengutip para tokoh Wahabi seperti Albani dan Utsaimin bahkan secara eksplisit penulis kitab itu mengatakan Utsaimin adalah gurunya.
Hal ini tentu ironis jika dikutip oleh Alawi As-Segaf yang seorang Hadrami pengikut sunni dan pakar fiqih Syafi’iyah. Ternyata kitab yang dikutip olehnya adalah karya Yusuf bin Muhammad al-Bathah al-Ahdal (w. 1246 H) yang berjudul Tasynifus Sam’i bi Akhbaril Qashri wal Jam’i yang selesai ditulis pada akhir bulan Syawal tahun 1241 Hijriyah di Makkah al-Mukarramah.
Ali bin Abu Haniyeh bukan satu-satunya orang yang menggunakan judul itu, dia sendiri mengungkapkan judul ini memang sering digunakan oleh beberapa ulama terdahulu seperti al-Ahdal, begitu juga al-Suyuthi (w. 911 H) dengan judul Tasynifus Sam’i bi Ta’didis Sab’i, juga Asy-Syaukani (w. 1255 H) dengan judul Tasynifus Sam’i bi Ibthali Adillatil Jam’i, dan yang lainnya.
Nama Yusuf bin Muhammad bin Yahya bin Abu Bakr bin Ali al-Bathah al-Ahdal al-Husaini Az-Zabidi al-Makki, penyusun makalah ini sesuai dengan sosok yang dituliskan oleh Rasyid al-Ghafili selaku editornya (hal. 7).
Al-Ghafili sendiri menuliskan bahwa Yusuf al-Ahdal dilahirkan di kota Zabid kemudian bermigrasi ke Makkah untuk belajar dan tinggal di sana hingga mendapatkan legalitas untuk mengajar di Makkah Mukarramah hingga akhir hayatnya.
Yusuf al-Ahdal menyebutkan dalam prolognya bahwa dia menulis makalah ini karena diminta oleh seseorang yang sangat berat untuk ditolak permintaannya, dia menyebutkan bahwa makalah ini disusun berdasarkan data-data primer dari literatur mazhab syafi’iyah, ditambah dengan data-data sekunder dari lintas mazhab (hal. 18).
Pada mulanya Yusuf al-Ahdal hanya menuliskan tentang makalah fiqih jamak shalat tanpa menyertakan fiqih qashar shalat. Hanya saja, sebagaimana dia jelaskan dalam epilognya, banyak dari murid-muridnya yang menginginkan untuk mencantumkan pembahasan terkait qashar agar makalahnya lebih komprehensif sehingga dituliskan sedemikian rupa (hal. 51).
Kesimpulan pendapat Yusuf al-Ahdal tentang legalitas menjamak shalat dinilai berbeda dengan kesimpulan redaksi lain dari literatur mazhab syafi’iyah, bahkan kesimpulan itu menjadi pembahasan penutup dalam kitabnya ini sebagai berikut:
ومن الشافعية وغيرهم من ذهب الى جواز الجمع تقديما مطلقا لغير سفر ولا مرض ولا غيرهما من الاعذار.-الى ان قال-
يعني أن القائلين بجواز الجمع محمد بن سيرين وربيعة الرأي شيخ الامام مالك والقفال الصغير والقفال الكبير وابن المنذر كلهم من الشافعية وأشهب من المالكية والامام احمد بن حنبل
وقال ايضا جماعات بجوازه ما لم يتخذه عادة وهم غير محصورين لكثرتهم. انتهى. هذا في جمع التقديم
وأما جواز جمع التأخير لغير عذر فقد قال به جمع غفير وعدد كثير من الشافعية وغيرهم, والله سبحانه أعلم
Artinya: “Sebagian pakar mazhab Syafiiyah dan yang lain berpendapat bolehnya jamak taqdim dengan mutlak tanpa sebab bepergian, sakit, atau selainnya dari sekian uzur.
Yakni Shalih bin As-Shiddiq al-Namawi dari kalangan syafi’iyah mengatakan (dalam nadzamnya) para pakar yang dimaksud di atas adalah Muhammad bin Sirin, Rabi’ah bin Abdurrahman Ar-Ra’i (guru Imam Malik), dan al-Qaffal junior, al-Qaffal senior (Asy-Syasyi), dan Ibnu al-Mundzir (semuanya dari mazhab Syafi’iyah), dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi (dari mazhab Malikiyah), dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Beberapa komunitas yang tidak terhitung jumlahnya juga berpendapat demikian hanya saja memberikan catatan untuk tidak dilakukan terlalu sering sehingga menjadi rutinitas. Ini untuk jamak taqdim.
Sedangkan untuk kebolehan jamak ta’khir tanpa uzur telah banyak komunitas ulama yang sangat banyak dari kalangan mazhab Syafi’iyah yang berpendapat demikian." (hal. 51).
Kesimpulan ini tentu berbeda dengan literatur syafiiyah pada umumnya. Dalam literatur syafiiyah, mayoritas ulama menyimpulkan kebolehan melakukan jamak shalat selain bepergian, sakit, atau hujan, itu disebabkan karena ada hajat yang mendorong untuk melakukannya asal tidak dijadikan sebagai suatu rutinitas. Sedangkan catatan kesimpulan Yusuf al-Ahdal ini membolehkan secara mutlak, dengan catatan tidak dijadikan rutinitas.
Padahal Yusuf al-Ahdal sendiri mengutip redaksi Zakariya al-Anshari ketika menjelaskan tentang jamak sebab hajat, dan menambahkan catatan “akan dibahan di akhir makalah ini Insyaallah” (hal. 36).
Adapun redaksi al-Anshari tersebut adalah sebagai berikut:
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ إلَى جَوَازِ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذُهُ عَادَةً ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سِيرِينَ وَأَشْهَبَ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيِّ عَنْ الْقَفَّالِ وَالشَّاشِيِّ الْكَبِيرِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ ، وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ حِين سُئِلَ أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ فَلَمْ يُعَلِّلْهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْرِهِ
Artinya: “Satu komunitas dari kalangan para imam berpendapat bolehnya menjamak shalat di rumah sebab hajat bagi orang yang tidak menjadikannya sebuah kebiasaan, yakni pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi dari kalangan Malikiyah. Al-Khattabi meriwayatkan dari al-Qaffal al-Syasyi al-Kabir dari kalangan Syafi’iyah dari Abu Ishaq al-Marwazi dari para ahli Hadits, dan didukung oleh Ibnu Mundzir dengan bertendensikan ucapan Ibnu Abbas ketika ditanya akan hal ini beliau menjawab bahwa Nabi menghendaki untuk tidak mempersulit ummatnya dengan tidak memberi alasan dalam hadits terkait masalah ini.” (Zakariya al-Anshari, Ghuraarul Bahiyah, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1997], juz II, hal. 482).
Terlepas dari perbedaan kesimpulan ini, jika saja pendapat Yusuf al-Ahdal ini mempunyai kredibilitas yang diakui oleh para pakar, maka sangat berguna bagi masyarakat muslim penganut mazhab syafi’iyah yang benar-benar membutuhkan legalitas menjamak shalat tanpa uzur yang begitu ketat, misalnya ketika momentum karnaval agustusan, rapat penting, dan problematika lainnya.
Kitab ini mendapatkan banyak endorsment (Taqridz/sanjungan) dari beberapa ulama terkemuka lintas mazhab seperti yang tercantum dibagian akhir kitab ini (hal. 53-58) yakni dari Umar bin Abdul Karim al-Hanafi, Muhammad Yasin bin Abdullah al-Marghani al-Hanafi, Muhammad Umar bin Abu bakr Ar-Ra’is Asy-Syafi’i, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Arabi al-Maliki, dan Faraj bin Sabiq al-Atsari al-Hanbali.
Kata sambutan dari pakar lintas mazhab tersebut membuktikan bahwa sosok seorang Yusuf al-Ahdal adalah orang yang memang diperhitungkan keilmuannya dan tentunya kitab ini juga merupakan kitab yang patut untuk dibaca dan dikaji karena kedalaman keilmuan dan nama harum penulisnya. Wallahu A’lam.
Identitas Buku
Judul Buku: Tasynifus Sam’i bi Akhbaril Qashri wal Jam’i
Penulis: Yusuf bin Muhammad al-Bathah al-Ahdal
Penerbit: Darul Basya’ir al-Islamiyah
Kota: Beirut, Lebanon
Tahun Terbit: 2006
Editor: Rasyid bin Amir al-Ghafili
Jumlah Halaman: 79
Peresensi: Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim LBM MWCNU Tanggulangin dan Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo.