Ketika pandangan hidup yang serba fungsionalistik, pragmatis, maka nilai-nilai pengabdian menjadi barang langka. Sebab dalam pandangan hidup ini semua diukur serba materi, dengan sendirinya nilai-nilai moral dan spiritual seperti pengabdian dan pengorbanan manjadi diremehkan. Padahal dalam kehidupan bersama kedua nilai tersebut merupakan landasan dasar serta perekat bagi kehidupan. Ketiadaan nilai-nilai luhur itu dalam kehidupan kehidupan penuh dengan kompetisi, kebencian, manipulasi dan segala macam kecurangan.
Hasilnya adalah kehidupan sosial kita saat ini, di mana orang saling menipu, menjegal dan mengkhianati satu sama lain. Kejahatan seperti itu dianggap sebagai sebuah kelaziman, orang yang tidak berperilaku seperti itu dianggap konservatif dan tidak rasional. Karena itu saat ini betapa orang dengan bangga melakukan kejahatan, apalagi ketika kejahatan bisa dinetralisir dengan uang dan kekuasaan. Kondisi itu yang memperburuk bangsa ini, sehingga makin tidak berdaya menghadapi bangsa lain yang semakin maju dan beradab.
<>Memasuki Idul Adha yang merupakan hari pengorbanan sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, maka sudah selayaknya kita bisa mengambil hikmah dari hari suci ini. Jangan sampai hari penuh sejarah itu diliwatkan begitu saja. Sebaliknya bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki diri. Bagaimanapun di tengah pragmatisme dan materialisme ini, pengorbaban sangat dibutuhkan, baik untuk membangun umat Islam, organisasi Islam maupun untuk membangun negeri ini secara keseluruhan.
Walaupun negeri ini ditandai dengan berbagai pragmatisme dan meterialisme, kita masih saksikan di beberapa komunitas kecil yang masih berbuat tanpa pamrih. Beberapa orang yang mengajar mengaji di sebuah surau tanpa menarik bayaran. Bahkan ada seorang kiai yang memiliki ribuaan jamaah yang menghentika pengajiannaya hanya karena ada di antara seorang jamaah yang berusaha mengumpulkan dana dari pengajian itu. Kiai itu ingin semua orang bisa mengikuti pengajian tanpa dibebani bayaran apapun, sebab sebagai seorang petani sang kiai telah bisa mencukupi kehidupannya sendiri.
Ada seorang ahli komputer yang dengan dengan tekun mengajarkan kemampuannaya itu pada masyarakat tanpa memungut bayaran. Juga masih banya tabib yang mehyembuhkan banyak orang, tetapi monolak diberi imbalan. Di berbagai kawasan pegunungan dan pantai, banyak orang biasa yang dengan tekun melakukan penanaman pohon agar bukit dan pantai tidak longsor, mereka tidak mendapat bayaran hanya ingin mengabdikan hidupnya pada Tuhan dan sesama manusia, padahal kehidupan mereka serba terbatas.
Pengorbanan dan pengabdian adalah watak, bukan status, karena itu bila memiliki watak seperti itu tidak peduli dia miskin, tidak terpelajar, tentu akan melaksanakan kewajiban itu. Sementara banyak orang yang kaya dan pandai malah melakukan tindakan sebaliknya, tanpa memiliki rasa pengabdian dan pengorbanan.
Kita saksikan betapa sia-sia beberapa kelompok dibentuk untuk mengatasi krisis yang terjadi di negeri ini, baik kalangan agama atau kelompok lainnya. Mereka mencoba melakukan gerakan, tetapi mereka hanya bertujuan meraih sukses materi, makanya gerakan tersebut tidak hanya akan menyelesaikan maslah, tetapi malah membuat makin ruwet masalah, sebab mereka hanya berebut kedudukan dan dana. Sementara tujuan utama untuk memperbaiki kondosi ini terlupakan. Karena tujuannnya mencari keuntungan, maka sedikit mungkin pengorbanan diberikan, agar memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Di situlah kebiasaan mengeruk keuntungan di sana sini secara illegal cenderung dilakukan.
Bila kita ingin membangun agama, membantuk atau menggiatkan semangat berorganisasi, maka tidak ada jalan lain harus menghidupkan komitmen keagamaan memperkuat semanagat pengabdian dan pengorbanan. Hanya dengan cara itu agama bisa ditegakkan dan negara bisa diwujudkan. Karena itu dalam melaksanakan kurban itu bukan darah dan daging dari binatang korban itu, tetapi adalah makna sosial dan spiritual dari pengorbanan itu. Hanya dengan pemaknaan itu pengorbaban memiliki arti baik secara agama maupun kehidupan. (Mun’im DZ)