Risalah Redaksi

Belajar dari Pilkada: Menuju Demokrasi yang Matang

Rabu, 4 Juli 2018 | 16:45 WIB

Salah satu calon gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus dan calon bupati Tulungagung Syahri Mulyo yang keduanya ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan suara terbanyak dalam pilkada serentak 2018 yang berlangsung akhir Juni lalu. Sejumah mantan terpidana korupsi yang juga mencalonkan diri dalam pilkada tersebut juga mendapat dukungan suara yang luamayan banyak sekalipun tidak terpilih. Kini, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan terpidana korupsi juga ditentang oleh banyak pihak.

Apa sebenarnya yang terjadi dalam pikiran masyarakat, ketika suara pemberantasan korupsi begitu kencang disampaikan, tetapi ketika mendapatkan kesempatan memilih pemimpin, mereka yang sedang menghadapi masalah hukum tetap dipilih. Apakah masyarakat sudah demikian permisif terhadap korupsi? Saat jalan-jalan di kampungnya rusak dan tidak dibenahi, mereka mengumpat pemimpinnya. Saat layanan birokrasi kurang memuaskan, mereka mengeluh buruknya pemerintahan, tetapi saat-saat menentukan dalam pemilihan umum, mereka kembali memilih pemimpin-pemimpin yang kurang kompeten, baik secara moral maupun manajerial.

Para calon yang bertarung dalam pilkada menggunakan beragam cara untuk bisa meraih simpati masyarakat. Cara-cara yang formal seperti kampanye terbuka, dukungan mesin partai atau tokoh masyarakat maupun cara-cara bawah tanah yang dalam bentuk politik uang dengan beragam variannya. Bauran dari beragam faktor ini ikut menentukan kemenangan mereka dalam pilkada.

Tahapan pertama yang harus dilalui seorang calon pemimpin daerah adalah mendapat dukungan partai. Ini bukan hal yang mudah karena banyak sekali orang yang berminat untuk melamar. Ketua atau elit partai di daerah tentu ingin ikut pertarungan tetapi belum tentu populer. Belum lagi jaringan oligarki politik di daerah tersebut. Ada pula politisi di tingkat pusat yang melobi ketua umum partai agar bisa terpilih. Besarnya biaya politik juga mendorong para pengusaha lokal yang sudah merasa sukses untuk mencoba peruntungan dalam politik. Di sini, orang-orang yang pernah bermasalah dengan hukum atau sedang bermasalah ikut bertarung. Beberapa orang akhirnya mendapat tiket untuk bertarung.

Pemenang akhir dari pertarungan internal ini sesungguhnya belum tentu calon-calon terbaik yang dikehendaki rakyat. Sejumlah partai yang memiliki basis kuat di daerah tertentu calon-calon yang diusung kalah. Jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu legislatif tidak secara otomatis merupakan dukungan dalam pilkada. Beberapa orang bermasalah yang memiliki jejak kurang baik atau sedang bermasalah akhirnya ada juga yang menang. Kesadaran bahwa calon yang diusung harus orang-orang terbaik sudah meningkat, tetapi hasil yang menunjukkan bahwa orang tertentu, sekalipun memiliki catatan merah, tetap dipilih oleh rakyat mendorong elit partai untuk berspekulasi mengusung calon-calon yang tidak sepenuhnya didukung oleh rakyat, tetapi lebih pada pertimbangan elit politik yang menentukan siapa yang akan diusung.

Demokrasi liberal dengan mekanisme satu orang satu suara mensyaratkan kampanye yang luas. Hal ini tentu saja memakan ongkos politik yang mahal. Mesin partai untuk meraih dukungan juga hanya bisa digerakkan jika ada uang operasional bagi mereka. Tak ada yang gratis dengan memperjuangkan mengedepankan ideologi partai sebagaimana masa lalu. Politisi dengan gampang loncat dari satu partai ke partai lain sejauh mereka memiliki sumber daya yang dimanfaatkan partai. Pragmatisme dari partai menyebabkan kader partai di jajaran bawah enggan untuk melakukan kerja-kerja politik tanpa dukungan dana operasional. 

Lembaga penyelenggara pemilu juga belum sepenuhnya dipercaya oleh masyarakat. Masing-masing calon harus menyiapkan saksinya sendiri-sendiri untuk mengawal suara di tiap tempat pemungutan suara. Ini tentu saja biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh politisi yang sedang berkontestasi. Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika berhasil, maka akan cukup menekan biaya pemilihan bagi masing-masing calon.

Cara yang paling kasar digunakan dalam kontestasi pilkada adalah politik uang. Sesungguhnya ini sudah berakar lama dalam tradisi politik lokal pada pemilihan kepala desa. Rakyat yang tidak mendapat uang saku tidak mau datang untuk memilih karena lebih mengutamakan bekerja di ladang. Hal ini juga dilakukan untuk memastikan dukungan. Tradisi ini kemudian dgunakan dalam kontestasi politik yang lebih luas. Dulu dikenal istilah serangan fajar, yaitu pada malam sebelum pemilihan, para pemilih mendapatkan uang dari calon tertentu untuk memilihnya. 

Akumulasi dari berbagai biaya politik ini menyebabkan calon-calon yang ingin berkontestasi harus memiliki modal besar. Hal ini hanya dimiliki oleh para penguasa, politisi yang menggunakan kekuasaannya untuk mengakumulasi orang melalui korupsi, atau politisi yang memiliki jaringan pengusaha yang bersedia memberi modal dengan konsekuensi pembagian kue-kue proyek jika menang dalam pemilu. 

Mengubah segala tradisi politik tidak sehat yang sudah mengakar kuat di masyarakat bukanlah hal yang mudah. Jika ditengok ke belakang, beberapa permasalahan seperti konflik antarmasyarakat saat pilkada sudah jauh berkurang. Mendidik masyarakat untuk memilih calon yang baik akan memastikan daerah mereka akan lebih baik dalam periode lima tahun ke depan. Menyejahterakan masyarakat akan memastikan bahwa mereka tidak akan tergiur dengan pilihan-pilihan jangka pendek berupa politik uang. Perbaikan sistem pemilu penting terus dilakukan untuk mendorong pemilu yang efektif dan efisien serta terpercaya oleh masyarakat. 

Kepada mereka yang terpilih, kini saatnya untuk mulai memikirkan rancangan secara lebih detail bagaimana janji-janji kampanye dalam segera dilaksanakan begitu mereka dilantik. Bukan lagi waktu untuk terus mengumbar wacana dan janji karena tugas pemimpin untuk melaksanakan kerja-kerja nyata. Inilah jalan panjang menuju demokrasi yang lebih matang di Indonesia. (Achmad Mukafi Niam)



Terkait