Risalah Redaksi

Dari Peran Kebangsaan Menuju Peran Kesejagatan

Kamis, 28 Januari 2010 | 02:24 WIB

Pergeseran politik global menempatkan NU pada posisi terjepit antara fundamentalisme Islam dengan liberalisme sekuler. Sebagai organsiasi berakidah ahlussunnah wal jamaah yang bercirikan pada moderasi (ummatan wasathon) NU justru dituntut untuk mengembangkan eksistensinya. Dengan demikian posisi tengah itu bukan lagi berarti keterjepitan, tetapi merupakan peluang dalam mengembil peran di antara kedua ekstrem yang ada. Ketiika kedua ektrem tersebut berbenturan, maka NU bisa menjadi alternatif dari ideologi yang ada. Dari situ NU justru akan menampakkan eksistensinya, karena NUorganisasi yang memiliki fikroh (paradigma) dan fitrah (identitas) tersendiri.

Posisi itulah yang selama  ini ditempati NU dalam kancah politik nasional, sebagai organisasi Islam yang berwawasan kebangsaan NU mampu menjadi penengah dan penyeimbang pertikaian antara kelompok Islamis dengan kelompok nasionalis sekuler. Karena antara Islamisme dan nasionalisme telah melebur dalam diri NU. Dengan posisi ini NU berhasil meredam berbagai ketegangan dan konflik antara ideologi, justru ketika posisi NU moderat, sehingga kehidupan negara tidak ektrem jatuh pada liberalisme sekular dan tidak jatuh pada fundamentalisme dan ektremisme Islam. Keseimbangan kehidupan nasional bisa kembali terjaga. Demkian ketegangan antara berbagai agama yang ada di Indonesia, dengan sikapnya yang terbuka dan toleran NU bisa menjadi penengah di antara mereka.<>

Peran tersebut nampaknya sekarang secara bertahap mulai berkembang di level internasional. Kehadiran NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia dan sekaligus memeiliki paham ahlusnnah waljamaah yang merupakan paham mayoritas di dunia,dengan sendirinya kehadiran Nu di kencah internasional menjadi sangat bermakna. Ketika gerakan wahabi lahir dan memusnahkan segala mazhab yang ada, maka kehidupan dunia Islam menjadi tidak seimbang. Hal itu tidak hanya memperpaarah ketegangan berbagai firqah yanga ada seperti syiah, Ahmadiyah, bahaiyah dan sebagainya.  Ketidakrukunan itulah yang menyebabkan kolonialisme tetap berjaya menguasasi dunia Islam.

Pengalamana NU sebagai kekuatan penyeimbang bagi kehidupan berbangsa itu rupanya mulai menarik masyarakat internasional untuk menjadikan NU sebagai mitra mereka. Terbukti alam kemitraan itu NU mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti, maka NU dilibatkan hampir dalam setiap penyelesaian masalah internasional. Hal itu pertama karena NU memiliki sikap moderat dan sekaligus jujur sehingga dipercayaioleh semua pihak. Kedua, NU memiliki keberanian yang tegas dalam membela kebenaran dan keadilan, sehingga tidak hanya berani mengkritik negara super power dan membela negara Islam, tetapi juga berani mengingatkan mitranya sendiri agar berjalan sesuai dengan prinsip kebenaran dan keadilan. Dalam konteks ini NU membawa misi Islam sebagai rahmatan lil alamin, penyeimbang dan pembawa kesjahteraan dunia.

Khittah dan fikroh Nahdliyah yang selama ini dianggap oleh warga Nu sebagai pemikiran yang biasa saja, nampaknya merupakan pikiran brilian yang luar biasa. Prinsip-prinsip tawasuth dan tawazun serta ukhuwah ternyata merupakan ide baru bagi mereka sehingga setiap masalah ini dijelaskan selalu mendapatkan apresiasi dan perhatian. Apalagi kemudian NU mampu menerapkan dalam kebijakan konkrit di level nasioanl maupun internasional. Didirikannya NU cabang istimewa di berbagai negara dan penyelenggaraan konfrensi ICIS serta konfrensi internasional yang lain, membuat ide-ide NU tersebar secara luas. Dalam taraf ini NU tidak hanya menyerap ide dari luar, tetapi juga mampu memberikan ide-ide dan pikiran segar bagi dunia luar. Pola timbal balik ini menjadikan kehidupan kebudayan menjadi dinamis dan sehat.

Kehadiran NU di forum-forum internasional sangat ditunggu sebagai upaya untuk membangun tata hubungan dunia baru yang lebih adil, karena itu kehadiran NU di luar negeri selalu mendapat sambutan hangat, tidak hanya dari kalangan organisasi Islam, tetapi juga dari organisasi keadgamaan yang lain termasuk dari pemerintah. Karena diplomasi kebudayaan NU dianggap bisa melengkapi diplomasi politik yang dilakukan oleh pemerintah. Karena itu pemerintah di luar membutuhkan NU sebagai mitra kedua yang akan mnjamin terlaksananya kerjasama yang dilakukan di level pemerintah.

Peran-peran nasional dan internasional yang diemban oleh NU ini mensyaraktan organisasi ini harus solid di dalam, sehingga akan mampu memperbesar perannya. Semakin solid kondisi organisasinya, maka akan semakin kuat perannya. Sementara kondisi organisasi NU selama ini kurang terkonsolidasi, padahal ini sangat diperlukan. Maka agenda ke depan tetap pada konsolidasi organisasi, setelah itu kaderisasi. Pengkaderan secara sistemtis sangat diperlukan, karena pengurusan organisasi sebesar NU ini butuh kemampuan ekstra.

Apalagi organisasi ini berwatak keulamaan, maka integritas moral menjadi prasyarat utam bagi seorang kader. Sebagai organisiasi ulama, maka pemimpin adalah panutan dan pembimbing. Dengan kaer berkapasitas seperti itu maka NU akan menjadi organiasi yang disegani dan secara teknis  semua program yang dicanankan bisa diterapkan di semua tingkatan, dengan demikian peran NU akan lebih subtantif dan lebih bisa dirasakan. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait