Risalah Redaksi

Illegal Logging yang Tidak Pernah Selesai

Jumat, 25 Februari 2005 | 12:57 WIB

Kita selama ini selalu diributkan berbagai tindakan illegal, mulai illegal trading, (perdagangan gelap) yang ini sangat mendominasi perekonomian kita, sejak dari perdagangan barang terlarang hingga barang penyelundupan, seperti beras, gula atau elektronika. Belum lama ini kita juga diributkan mengenai besarnya illegal recording (rekaman bajakan) yang besarnya hingga 75 persen dari produksi musik yang ada, sementara yang legal hanya 16 persennya. Ini malapetaka buat penyanyi dan pencipta. Ketika persoalan itu belum padam, saat ini kembali kita disuguhi oleh kenyatan besarnya illegal logging (penebangan liar).

Soal pencurian kayu itu sebenarnya telah menjadi isu lama, namun hingga saat ini belum teratasi, hingga hutannya sendiri nyaris habis. Berbagai modus dilakukan, baik dengan dalih hendak dibangun perkebunan rakyat, hendak dibangun hutan tanaman industri, serta berbagai modus lainnya, yang semuanya sebagai upaya memperlancar pencurian mereka. Pencurian barang besar dan dilakukan dengan suara bising, dan lalu lalang di depan mata, tetapi seolah semuanaya tidak kasat mata, sebab semua aparat yang semestinya jadi mata-mata, mengawasi pencurian justeru tutup mata, setelah matanya ditutup setumpuk uang oleh para pencuri berdasi itu. Di sulah apa yang namanya kolusi itu terjadi.
t;

Karena itu pembongkaran illegal logging itu naampaknya tidak mengejutkan masyarakat, bahkan dianggap sebagai adanya pertarungan antar gang kayu, atau sekadar sample buat penegak hokum bahwa mereka bersungguh-sungguh melakukan pengawasan terhadap pelestarian hutan dan penebangan liar, lantas kasusnya dibiarkan berlalu ketika masyarakat sudah lupa, peristiwa itu tidak lagi menjadi berita di media massa. Persoalan akan berhenti dan selesai di situ, lalu tinggal membagi-bagi hasil jarahan hutan itu.

Bayangkan, saat ini jutaan meter kubik kayu merbau yang sudah langka di Papua itu sudah bertengger di beberapa pelabuhan Cina, untuk memasok kebutuhan industri mereka, sebagian masih tersisa di tepi hutan Papua. Orang percaya bahwa kayu sitaan yang ribuan kubik itu juga akan segera hilang dijual oleh aparat, dan akan beredar sebagai illegal logging level kedua. Modus itu terus berulang-ulang sehingga masyarakat menjadi sekeptis dibuatnya. Aparat boleh menolak anggapan itu, tetapi buktinya hutan terus menipis, sementara reboisasi tak pernah dilakukan.

Bahkan ada modus konyol dari aparat perhutani, yang selama ini banyak membabat sendiri hutan jati yang bekerja sama dengan para cukong di kota, sehingga hutan tiggal kulit luarnya. Untuk menutupi penjarahannya itu pada masa reformasi tahun 1998 lalu rakyat dikompori untuk menjarah hutan, akhirnya semakin parahlan nkerusakan hutan yang sudah rusak itu. Dengan adanya penjarahan dari rakyat itu, maka perhutani membuat catatan bahwa rakyat yang terpesona reformasi itulah yang menjarah hutan jati. Padahal rakyat hanya menjarah sisanya, dengan demikian kejahatan mereka tertutupi, sehingga kejahatan rakyat itulah yang dijadikan laporan resmi, rakyat dijadikan kambing hitam, lalu ini yang diekspos diberbagai media massa.

Tentu saja persoalan illegal logging itu tidak pernah teratasi hingga hutannya habis dan berbagai malapetaka seperti banjir dan longsor menerjang warga. Karena memang persoalan itu hanya diomongkan, tidak pernah diatasi. Tidak lain hal itu terjadi karena para aparat pemerintah, aparat penegak hokum serta masyarakat telah dibeli oleh para cukong, sehingga para cukonglah yang menang.dan selalu lolos dari jerat hukum. Jarang sekali penjarah hutan itu diadili dan dihuku, mereka akan selalu lolos, selalu mendapatkan pembebasan.

Semua perangkat hukum sudah dipersiapkan, semua aparat penegaknya juga sudah dipersiapkan, tetapi mental tidak dipersiapkan. Akhirnya semua berantakan ketika berhadapan dengan kenyataan lapangan yang keras, tetapi sekaligus menggiurkan, yaitu terror dan tumpukan uang. Kalaua semuanya masih berlangsung begini, maka tidak akan teratasi. Maka mental pejabat, mental aparat serta rakyat harus diperbaiki semuanaya, sehingga hukum. (Abdul Mun'im DZ)


Terkait