Risalah Redaksi

Jangan Biarkan Kebohongan Mewarnai Ramadlon

Selasa, 4 Oktober 2005 | 01:56 WIB

       Biasanya menjelang Ramadlan orang sibuk dengan persiapan spiritual, mulai dari melaksanakan dzikir nisfu sya,ban, hingga ziarah ke makam para leluhur. Tetapi Ramadlan kali ini disambut disongsong dengan berbagai kecemasan kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan ini juga sangat spektakular, sejak dari 80 persen hingga mendekati 200 persen, tindakan yang tidak pernah dilakukan oleh rezim paling represif manapun, tetapi hal itu dilakukan oleh rezim yang dipilih rakyat secara demokratis, dan bertindak atas nama kesejahteraan rakyat.

        Tetapi yang perlu disoroti bukan hanya kenaikan yang membawa kesengsaraasn rakyat itu, melainkan juga argumen dibalik kenaian harga BBM itu. Kalau selama ini kenaikan BBM hanya dilakaukan pemerintah bersama DPR yang biasanya banyak rewel. Tetapi kalai ini DPR yang wakil rakyat itu mendorong. Selain itu yang tidal lazim kenaikan tersebut didukung dengan gigih oleh kaum intelektual melalui dukungan vulgar melalui media massa.

<>

        Berbagai argumen diajukan untuk mencabut subsidi dengan menaikkan harga BBM pertama untuk menghemat cadangan devisa, untuk menghindari penyelundunpan karena adanya selisih harga, untuk menghemat konsumsi BBM, agar negara tidak bangkrut. Lalu dikatakan bahwa pencabutan subsidi-kenaikan harga BBM itu sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat. Dengan mengalihkan subsidi dari orang kaya ke orang miskin.

Sejak awal Prof. Mubyarto menolak argumen tersebut karena asumsi-asumsi yang digunakan tidak hanya salah tetapi penuh kebohongan. Tidak benar bahwa subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah mencapai Rp. 70 triliun pertahun, sebab sebagian besar BBM diproduksi dalam negeri. Selain itu negara juga masih mendapat keuntungan dari hasil ekspor BBM. Sementara pemerintah secara resmi melalui APBN masih mensubsisdi 14.000 orang melalui bank-bank rekap yang memiliki depositio di atas Rp. 5 miliar, yang jumlahnya pertahun mencapai Rp.60-70an triliun, sehingga rakyat harus mensubsidi orang kaya. Tetapi semua itu didiamkan oleh para intelektual bayaran yang liberal itu.

Hal serupa dibongkar lagi oleh Dr. Revrisond Baswir, ternyata kenaikan harga BBM internasional lebih banyak menguntungkan Indonesia, bukan merugikan, karena kita negara produsen minyak. Dengan kenaikan harga BBM dunia itu surplus penerimaan Indonesia 2005 meningkat menjadi US$. 9 miliar, maka surplus transaksi 2006 akan meningkat menjadi US $ 7,5 miliar. Di sisi lain pemerintah mengatakan dengan mencabut subsidi BBM akan menghemat Rp.12 triliun,  sementara pemerintah masih mengibral subsidi tidak berguna baik kepada bank papan atas sebesar Rp. 72 triliun, juga menghamburkan uang untuk membayar hutang luar negari 125 triliun. Maka Revrisond menilai itu semua merupakan kebohongan pemerintah untuk memenuhi tuntutan lembaga asing seperti IMF dan Bank Dunia , yang berusaha melakukan swastanisasi Pertamina, sehingga pertamina bukan menjadi lembaga negara yang bertugas melayani rakyat, melainkan menjadi perusahaan dagang asing yang hanya mencari keuntungan pribadi.

Dengan adanya dukungan para akademisi dan kaum pengkhianat negara itu, maka pemerintah juga berani berbohong dengan menaikkan diluar yang dijanjikan, kalau sebelumnya akan menaikan sekitar 50 persen, dalam kenyataannya berani menaikkan hingga 200 persen. Ini sangat membahayakan ketahanan rakyat dan keamanan negara. Karena itu kebohongan masih terus dikumandangkan bahwa kenaikian itu akan membawa kesejahteraann rakyat, terbukti bahwa jumlah orang miskin meningkat pesat, dan akan terus bertambah.Dengan kompensasi yang hanaya Rp.100 ribu, sementar seluruh kebutuhnan meningkat, maka subsidi tersebut tidak ada artinya, itupun kalau sampai ke tangan kaum miskin, sebab di tengah jalan banyak birokrasi yang menghadang.


Terkait