Risalah Redaksi

Kebebasan Sebagai Kriminalitas

Rabu, 11 Oktober 2006 | 05:02 WIB

Sejak masa renaisans masyarakat barat terus memperjuangkan kebebasan individu. Langkah itu kemudian berpuncak menjadi gerakan enlightenment (pencerahan) yang menjadikan manusia sebagai ukuran dan tujuan. Kebebasan yang pertama diperjuangkan adalah kebebasan dari otoritas negara dan otoritas agama, yang kemudian melahirkan gerakan reformasi di Eropa. Tampaknya reformasi tidak berhenti terus-menerus berkembang hingga masa tidak percaya pada Tuhan.

Pada mulanya kebebasan itu sangat positif sehingga melahirkan manusia-manusia yang kreatif. Tetapi karena manusia atau kebebasan individu menjadi ukuran segala sesuatu, maka kebebasan itu menjadi demikian anarkis. Walaupun segala aturan hokum dan undang-undang dibuat, tetapi tidak boleh membatasi kebebasan individu termasuk keliarannya.

<>

Di situlah negara modern dan agama lumpuh menghadapi mereka, tetapi hal itu tidak terlampau masalah ketika kebebasan digunakn sebaik-baiknya, tanpa mengurbankan martabat manusia lain. Tetapi ketika kebebasan telah digunakan sebagai upaya untuk memperkaya diri, dengan cara menang sendiri, maka kebebasan telah mebahayakin orang lain, bahkan bangsa lain.

Beberapa tahun yang lalu kita direpotkan oleh ulah para seniman dan jurnalis Denmark yang membuat kartun Nabi Muhammad dengan penuh sinisme. Setelah mendapat protes dari dunia Islam para pemimpin negara dan agama di sana menjelaskan pada dunia Islam bahwa mereka tidak mungkin dilarang karena negara menjamin kebebasan berekspresi. Padahal tidak tahu bahwa ekpresi itu telah mengaarah pada tindakan kriminal, bahkan subversif.

Kalau itu kebebasan kenapa mereka tidak menggunakan kebebasannya untuk membuat kartun yang netral, apalagi adanya rasa hormat dan simpati. Semuanya bernada menghina dan mencaci maki. Berarti mereka ada dalam tekakan dan cengkeraman entah ideologi, agama atau tradisi. Pada saat itu kelompok Kristen dan pemerintah menghiba-hiba pada pimpinan Islam untuk memahami tradisi liberal yang tidak bisa dicegah tersebut, tanpa mau memahami ajaran dan tradisi Islam yang tidak boleh dihinakan. Kelompok Islam akhirnya tidak meneruskan protesnya.

Belum lama heboh itu usai mereka membuat kisruh lagi dengan membuat sayembara kartun yang sama  dilakukan, sehingga kelompok NU yang dulunya lunak, sekarang bersikap keras. Memang tardisi barat mengidap penyakit superior, sehingga bersikap rasialis, diskriminatif, hanya mereka yang punya hak, bangsa lain hanya bangsa terjajah. Itulah kesadaran kolektif mereka. Sejak dulu kala hingga sekarang tidak berubah mereka tetap kolonial dalam berbagai bentuk dan manifestasi.

Tetapi anehnya mereka selalu meneriakkan demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme anti diskriminasi dan sebagainya. Tidak hanya itu mereka berani mengajarkan kepada kita tentang hal-hal yang tidak bisasi dan tidak mereka miliki itu. Bayangkan berapa training, seminar, lokakarya dan simposism tentang kemanusiaan itu diselenggarakan Eropa termasuk Denmark, menghadirkan aktivis dari Indonesia dan negara Timur lainnya, tanpa rasa bersalah. Padahal mereka terbukti belum memiliki peradaban. Memang terhadap sesama Barat mereka sangat santun dan beradab. Tetapi begitu menoleh ke timur dan melihat kulit sedikit berwarna, mereka sinis. Tidak peduli aktivis HAM, seniman, apalagi diplomat, berperilaku konial seperti itu.

Dengan penguasaan media, mereka bisa menutupi kelemahan itu, tetapi siapa pun yang berpikir waras dan jernih, tidak bisa menutupi kejahatan semacam itu. Sebenarnya berhentilah negara-negara semacam itu menyelenggarakan berbagai training tentang pluralisme, toleransi dan sebagainya. Buktikan dulu mereka memiliki apresiasi terhadap ras lain, agama lain dan bangsa lain. Sebelum mereka mampu melakukan dekolonisasi terhadap budaya dan merubah kelakuan sendiri mereka tidak punya hak moral untuk melakukan berbagai agenda kemanusiaan.

Masih kita saksikan bagaimana mereka bersekutu menghancurkan peradaban dunia yanga ada di Irak, kemudian menjarah dari yang tersisa. Maka di sana pun mereka menghancurkan kemanusiaan atas nama pengerukan kekayaaan. Berbagai alas an dibyuat, berbagai alibi dipakai, tetapi akhirnya semuanya terbuka, bahwa mereka menyerbu Irak hanya ingin menjarah kekayaan negara itu.

Mereka yang selama ini dikenal manusiawi, beradab ternyata dengan nyata menunjukkan kebiadaban. Maka tiada lain bagi bangsa Timur agar tetap waspada, sebab di tengah damai yang mereka ajakkan mereka menyimpan berbagai amunisi yang siap diledakkan baik di wilayah ekonomi, wilayah budaya dan termasuk di wilayah agama. Saat ini kita harus berani membicarakan secara terbuka, sebab selama ini dibicarakan secara tertutup biar tidak menyinggung perasaan mereka. Dan itu tidak difahami mereka.

Sungguh sangat kita sesalkan. Padahal kalau mereka mau sedikit berbuat baik, tanpa suka menghina, tanpa sikap sisnis, tanpa ke


Terkait