Risalah Redaksi

Kemandirian Kaum Tarekat

Jumat, 8 April 2005 | 07:48 WIB

Zuhud merupakan kata kunci dalam kehidupan komunitas sufi, sikap itu tidak bebarti anti dunia, tetapi menghindar dari kungkungan duniawi. Dengan sikap itu kaum sufi yang kemudian tergabung dalam perkumpulan tarekat tidak menggantungkan diri pada hal-hal duniawi, apakah itu kekayaan atau kekuasaan, dunia hanya sebagai salah satu sarana bukan tujuan. Sementara tujuannya adalah peningkatan kualitas moral dan spiritualitas menuju taqarrub kepada Allah.

Maka tidak aneh ketika masyarakat sudah sedemikian jauh terseret pada arus materialisme bahkan konsumerisme yang sedemikian dalam, sehingga menyembah materi dan kemewahan, yang mengakibatkan mereka harus memenuhi kebutuhan itu dengan berbagai cara, menodong, menipu korupsi dan sebagainya. Kerusakan negeri ini karena korupsi sementara korupsi terjadi akibat keserakahan pada materi dan kemewahan duniawi. Hal itu tidak terjadi secara alami melainkan diciptakan oleh kapitalisme melaui biro iklan yang membentuk selera masyarakat sesuai dengan barang yang diproduk mereka. Maka disini kezuhudan ditolak, kerakusan keserakahan dianjurkan, agar proses produksi dan konsumsi terus berputar.

<>

Pada masa awal kemerdekaan kita mengenal kosa kata yang sangat terkenal yaitu berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) istilah yang diciptakan Bung Karno itu menjadi pegangan bangsa ini sehinga walaupun masih bangsa baru dan miskin tetapi dihormati bangsa di seluruh dunia, karena mandiri dan punya watak. Tetapi ketika Soekarno dijatuhkan istilah kemandirian diganti dengan pembangunan, yang isinya adalah utang luar negeri dan investasi atau penanaman modal asing. Seluruh potensi nasional digadaikan sebagai jaminan utang tersebut, akhirnya rakyat tidak lagi menguasai asset negara, karena semuanya telah dijadikan jaminan di bank-bank negara asing.

Dari situ kemudian berdiri berbagai perusahaan asing yang meguasai seluruh sector ekonomi kita, sehingga kita hanya menjadi buruh di negeri sendiri, sementara direksi konsultan semuanaya asing. Tidak hanya itu kemudian produk asing, apakah itu pikiran, makanan, sarana komunikasi dan sebagainya diciptakan, lalu dipaksakan untuk dibeli rakyat, sehinggga industri dan perusahaan rakyat pribumi jatuh. Orang terus menerus disuruh berkonsumsi, dengan cara apapun, hutang dan kredit konsumsi disediakan, sehingga mereka terus menghutang. Tidak hanya negara yang menghutang, tetapi kemudian swasta, ormas dan terutama LSM, sangat tergantung pada modal atau dana asing.

Relasi social kemudian juga difuungsionalkan, tidak ada lagi hubungan emosional, kemudian hubungan sosial menjadi kontraktual, sehinga bersifat temporal dan material, karena itu semua aktivitas dimaterialkan, sehingga menjadi mahal, sebab  imbalan materi dalam setiap kegiatan harus jelas, tidak ada lagi suka rela. Bisa kita lihat setiap ada kegiatan selalu kaleng dan proposal berdar kemana-mana, untuk mencari dana. Karena sumber dana yang lain terutama dari masyarakat tidak bias dihimpun, ketika tidakada kepercayan dari masyarakat pada lembaga yang ada.

Di tengah materialisme yang sangat tinggi itu tiba-tiba kita dikagetkan oleh adanya solidaritas kaum sufi serta kemandiriannaya dalam mengjalankan aktivitasnya sendiri, yang tercermin dalam Muktamar X kaun Terekat Nahdliyah di Pekalongan beberapa waktu lalu. Selama ini kita telah lupa pada potensi sendiri,  hanaya dihadapkan pada kekuatan modal asing, yang kepadanya kita bergantung, dan kepadanya kita minta bantuan. Potensi dan kemandirian serta solidaritas social dari rakyat cukup tinggi, dan ini perlu dikelola secara seksama, di sini tidak butuh manajemen yang canggih, yang justeru sangat korup itu, tetapi dibutuhkan trust rasa saling percaya.

Pemimpin dan komunitas yang terpercaya akan mendapat kepercayaan pada masyarakat secara spontan. Bisa kita saksikan bagaimana masyarakat dengan suka rela menyediakan puluhan ton beras, bawang merah, kelapa, serta ratusan ekor kambing, puluhan ekor sapi. Masyarakat menyediakan ratusan kendaraan serta sopir beserta kurir, serta penduduk menyediakan rumah bagi 7000-an Muktamirin, semuanya sukarela dan tanpa beaya. Dengan demikian kaum tarekat yang selama ini banyak jasa pada masyarakat pada akhirnya masyarakat juga akan membantu mereka. Tidak perlu banyak bantuan pemerintah, apalagi bantuan bantuan asing yang sangat mengikat itu.

Sebenarnya banyak potensi dalam bangsa ini yang bisa dikembangkan hanya saja para pemimpin, politisi, intelektual serta para aktivisnya malas, sudah terbiasa makan bantuan asing, sehingga lupa menjaga kemandirian sendiri, dan lupa kemampuan masyarakat dalam mendanai sendiri aktivitas yang dijalankan. Kaum tarekat yang selama ini diremehkan karena hanya mampu berzikir dan berdoa, ternyata mereka juga lebih mampu berpikir untuk mandiri, mampu mempengaruhi dan menggerakkan dana masyarakat dan mengelolannya sebagai kekuatan bangsa.

Nilai terpenting dari semua itu adalah adanya kepercayaan, hal itu muncul karena mereka zuhud, tidak serakah, sehingga tidak akan menilep atau menyelewangkan bantuan yang dengan tulus ikhlas diberikan. Bila ada jaminan keamanan sumbangan yang mereka berikan, masyarakat akan lebih giat berswadaya mendanai berbagai akt


Terkait