Dari masa ke masa NU sering dilanda konflik, ada yang singkat ada yang berkepanjangan, konflik yang berkaitan dengan ide biasanya lebih mudah dilerai. Tetapi konflik yang berkaitan dengan kekuasaan biasanya berlarut, panjang. Namun satu hal yang dimiliki warga NU dalam menhadapi konflik internal, adalah kemampuannya mengatasi konflik tersebut secara damai, sejauh mau menelusuri akar ketegangan yang memicu. Maka ketegangan yang melanda NU selama menjelang dan pasca Muktamar Solo ini perlu diselesaikan dengan menggunakan tradisi NU sendiri.
Bagi komunitas Nahdliyin perasaan in group (kejamaahan) sangat kental, sehingga betapapun tingginya ketegangan mereka masih merasa sewarga, karena mereka masih ada tiang penyangga atau tali perekat kejamaahan, sehingga ketegangan bisa diatasi. Apalagi dalam tradisi pesantren yang mengutamakan ketawadlukan ketimbang ambisi pribadi, lebih mengutamakan keakhiratan ketimbang yang duniawi, maka ketegangan biasanya segera bisa diatasi sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
<>Pada dasarnya tradisi NU adalah tradisi pesantren yang mengutamakan kezuhudan (kesederhanaan), muru’ah, andap-asor dan sopan-santun dan tatakrama kepesantrenan yang sudah lazim berlaku. Oleh karena itulah seburuk apapun dalam berorganisasi, social maupun politik kelihatan warga NU masih mengikuti tradisi tersebut, walaupun sering kalah dalam permaianan taktis, tetapi menang dalam perspektif pelembagaan politik demokratis.
Dengan adanya potensi tradisi semacam itu maka kita optimis ketegangan yang terjadi di kalangan para elite pimpinan NU saat ini bisa diatasi. Tentu saja bukan penyelesaian permukaan yang diharapkan, tetapi persoalan ditangani secara mendasar, agar ishlah yang dicapai bisa abadi. Semuanya itu bisa tercapai bila semua warga NU mau kembali ke tradisi NU sendiri, sebab kita lihat belakangan ini dua tradisi luar mulai menggerogoti tubuh NU yaitu pemikiran Islam fundamentalis, yang puritan anti tradisi NU yang toleran, pluralis, di sisi lain muncul tradisi liberal yang berusaha mengobrak-abrik seluruh tatanan NU, sejak dari cara berpikir hingga bersikap sehingga menolak segala tatakrama keNUan sebagaimana yang sudah menjadi konvensi warga NU, maupun yang dituangkan dalam khittah NU.
Bila kedua kubu tersebut dibiarkan berkembang dalam NU, sudah pasti NU akan terpecah, karena itu keduanya secara resmi ditolak, karena NU ingin tetap tampil sebagai kelompok moderat, dan merakyat, bukan berpenampilan sangar, atau liar yang menolak segala moralitas, yang dianggap sebagai bagai bagian dari hegemoni ulama sebagai upaya pendisiplinan warga.
Maka bisa dimengerti bila sejumlah kiai menolak gerakan fundamentalisasi NU dan gerakan liberalisasi NU, baik yang kiri maupun yang kanan, karena keduanya merusak tradisi NU. Maka semuanya perlu diatasi dengan kembali mengukuhkan NU sebagai jam’iyah diniyah yang berhaluan ahlussunnah waljamaah, yang mengutamakan prinsip tawasuth dan tawazun untuk menciptakan tatanan hidup yang penuh ‘adaalah (keadilan) bagi semua pihak.
Semua pihak tampaknya sangat setuju bahwa NU perlu dikembalikan pada tradisinya sendiri, agar NU kembali utuh, karena NU bisa berumur panjang, ketika organisasi besar yang lain yang lahir pada zaman pergerakan sudah pada tumbang. Keuletan dan kelenturan NU dalam menghadapi situasi social maupun politik itu, karena NU benar-benar berpegang pada tradisinya sendiri. Bisa disaksikan dalam sejarah bagaimana gigihnya NU berusaha mempertahankan diri dari gempuran fundamentalisme Islam dan gerakan liberalisme yang berbaju humanisme universil pada tahun 1960-an.
Menjelang usianya yang ke 80 ini NU terus akan berjaya, bahkan berperan aktif dalam kehidupan bangsa ini. Oleh karena itu ketegangan apapun yang terjadi, jangan sampai merebak, konflik elite Pasca Muktamar ini hendaklah jangan dilembagakan menjadi NU tandingan, karena langkah itu akan menyeret warga ke medan konflik elite. Kalau hal itu terjadi maka luka akibat konflik itu akan membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkannya. Akibatnya akan melunturkan NU dalam menjalanakan peran keumatan dan kebangsaan. (munim dz)