Risalah Redaksi

Keprihatinan yang Mendalam

Rabu, 29 Desember 2004 | 01:10 WIB

Berbagai bencana baik yang bersifat social seperti perang atau kerusuhan maupun bencana alam, seperti gempa bumi, banjir hingga gelombang tsunami telah berulang kali terjadi di republik ini, sehingga menimbulkan kepedihan yang berkepanjangan. Tetapi bencana alam yang terjadi di Aceh yang terjadi di persimpangan tahun ini merupakan bencana paling besar. Ribuan orang telah menjadi korban, sementara kerusakan bangunan tak ternilai harganya, karena bencana itu hampir menelan seluruh propinsi.

Tidak seperti letusan gunung yang bisa diditeksi atau bukan pula badai tornado yang dengan mudah diintai sebelum terjadi. Terjadinya tsunami sama sekali tidak terditeksi, sehingga upaya evakuasi warga tidak mungkin dilakukan, apalagi dengan kecepatannya yang tinggi, serta daya rusaknya besar, maka hadirnya bencana sulit dihindari bila bencana itu datang dan terjadi. Korban besar akhirnya terjadi tanpa bisa diatasi, kecuali sesudah peristiwa itu berlalu meningggalkan duka.

<>

Walaupun peristiwa itu kelihatan murni alami, tetapi umat manusia mesti tetap mawas diri, apakah tidak mungkin adanya factor manusiawi dalam bencana yang kelihatan alami tersebut. Bila hal itu ada, misalnya dengan perusakan lingkungan yang terjadi selama ini oleh masyarakat dan negara. Sedikit banyak factor manusia juga terlibat, minimal pembabatan hutan mengakibatkan tidak adanya penahan gelombang, pencemaran yang luar biasa sehingga membocorkan ozon telah mengakibatkan pemanasan global yang akhirnya juga membesarnya volume air laut, sehingga tsunami lebih leluasa menenggelamkan daratan yang dihuni manusia.

Kalau terhadap peristiwa social, politik atau insiden teknis kita bisa complain, tetapi terhadap peristiwa alam kita biasanya pasrah, diam seribu bahasa. Namun demikian tidak ada salahnya kita refleksi diri, dari perisiwa alam yang beruntun, jangan-jangan faktor manusia memegang peran besar. Bagaimanapun sebagai mikro kosmos (jagat kecil), manusia sedikit banyak punya pengaruh kepada makro-kosmos (alam raya).Kita lihat tata-politik dunia yang kacau balau yang berasa banditisme, kita lihat system perekonomian dunia yang seperti dunia binatang, saling memangsa, juga system budaya dunia yang saling mendominasi tak kenal tatanan, tak kenal moralitas dan tak kenal peri kemanusiaan.

Dalam hal ini mikrokosmos telah dihancurkan oleh manusia modern. Manusia modern yang disemangati oleh ide of progress (kemajuan) memang selalu berusaha melakukan conquestador (penaklukan) terhadap apa saja manusia dan alam. Ide itulah yang kemudian melahirkan penjajahan dan pemerasan manusia atas manusia dan manusia atas alam.

Pendeknya manusia modern dengan peralatan teknologinya merasa telah menguasasi seluruh informasi dan pengetahuan tentang manusia dan alam, karena itu mereka merasa telah dapat menaklukkan alam, dalam banyak peristiwa hal itu memang telah mereka buktikan. Tetapi banyak peristiwa alam dahsyat yang sama sekali tidak mereka ketahui, apalagi mengatasi. Namun demikian mereka tetap tidak berendah hati mengakui keperkasaan alam yang tak tertaklukkan dan keagungan Ilahi yang tak termaknai.

Bagaimanapun hebatnya bencana ini dan begitu dalamnya kepedihan yang kita derita, namun hal itu tetap perlu kita ambil hikmahnya, setidaknya peristiwa ini telah bisa membangkitkan solidaritas nasional dan kemanusiaan yang selama ini telah luntur oleh deraan pragmatisme dan materialisme. Dengan adanya peristiwa itu setiap orang sadar bahwa peristiwa naas dapat terjadi kapanpun dan dapat menimpa siapapun baik dalam skala kecil atau besar seperti di Aceh.

Maka alangkah baiknya kalau peristiwa ini tidak hanya dijadikan momentum mewujudkan perdamaian di Aceh yang dialnda konflik, tetapi juga dijadikan landsan untuk mengubah paradigma politik dan paradigma kebudayaan nasional. Kita mengupayakan sebuah kekuasaan politik yang lebih nasionalistik dan populistik, bukan politik komprador kapitalis seperti sekarang ini sehingga rakyat menderita, karena negara tidak boleh dan tidak mampu melindungi dan mengemong rakyatnya. Untuk menuju ke sana kita juga butuh politik kebudayaan yang baru, yakni menumbuhkan sikap kritis, mengembangkan pola hidup  sederhana.

Dengan demikian kita bisa kembali menjadi bangsa yang mandiri, bangsa yang kreatif dan bangsa yang besar, yang setara dan disegani oleh bangsa lain. Sehingga setiap ada peristiwa besar seperti bencana dan kerusuhan bisa ditangani sendiri, sebab dalam situasi begini banyak orang mancing di air keruh, lihat para relawan asing mulai banyak memasang umpan, negara lain juga sudah memasang jarring, baik selama masa emergency seperti sekarang ini, maupun untuk masa recovery nanti. Dengan banyaknya jebakan kita akan terjerumus ke dalam utang, akhirnya sumberdaya alam yang kita gadaikan. Ini yang perlu kita hindari di Aceh, agar semua bisa ditangani sendiri dengan cernmat dan hati-hati. Memasuki Tahun baru refleksi yang mendalam terhadap peristiwa yang terjadi di tahun lalu akan sangat berarti untuk menghadapi tahun depan agar menjadi hari


Terkait