Risalah Redaksi

Komentar Pejabat yang Tak Cermat soal Pesantren

Rabu, 16 Maret 2016 | 16:27 WIB

Pesantren belakangan ini mendapat publikasi luas dari media setelah ada komentar pejabat mengenai institusi pendidikan tertua di Indonesia ini. Isu pertama terkait dengan pesantren adalah adanya indikasi 19 pesantren yang kemasukan teroris. Komentar kedua adalah masuknya narkoba di lingkungan pesantren. Tentu saja, pernyataan tersebut menjadi pertanyaan bagi publik, mengingat pesantren selama ini menjadi institusi pendidikan yang mengajarkan perdamaian dan mengutamakan pentingnya ajaran moral. NU pun ikut terhenyak dengan pernyataan tersebut karena publik mengenal keterkaitan yang sangat dekat antara NU dan pesantren. NU adalah pesantren besar. Pesantren adalah NU kecil. Tokoh-tokoh NU adalah para pengasuh pesantren. 

Tentu saja, komentar tersebut jelas tidak pas. Ada 23 ribu lebih pesantren yang berafiliasi dengan NU. Jika ada kasus luar biasa yang terkait dengan satu pesantren yang belum tentu benar dan kemudian digeneralisasikan, hal tersebut akan merugikan citra pesantren secara umum. Lebih baik langsung saja ditangani pesantren yang mengalami masalah.

Komentar bahwa ada pesantren kemasukan teroris juga menjadi pertanyaan, ini pesantren yang mana dan berafiliasi ke mana? Kelompok Islam garis keras kini juga berupaya mengembangkan pesantren sebagai upaya untuk menanamkan ajarannya. Tentu, jika dihitung jumlahnya akan sangat kecil jika dibandingkan dengan proporsi pesantren yang berafiliasi dengan NU. Selama ini para teroris yang tertangkap selalu identik dengan jaringan pesantren tertentu yang memang bukan pesantren NU. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj berulangkali menegaskan bahwa tidak ada pesantren NU yang terlibat kasus terorisme. Ia setuju, jika ada pesantren yang terkait dengan terorisme, sebaiknya dibubarkan saja karena sejatinya pesantren NU adalah salah satu komponen yang memperjuangkan berdirinya NKRI dan sampai sekarang, terus berupaya menopang keberlangsungan Indonesia.

Komunitas pesantren bersifat dinamis. Kemampuan bertahan pesantren saat ini juga salah satunya disebabkan kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat sehingga orang tua tetap mempercayakan putra-putrinya dididik di pesantren. Sistem pengajaran dan teknologi masuk ke pesantren sebagai bagian dari adaptasi terhadap kemajuan, tetapi inti pesantren sebagai penjaga moral tetap dipertahankan. Jika ada satu-dua pesantren yang mengalami masalah, pendekatan yang dilakukan sebaiknya adalah dengan melakukan penanganan secara langsung. Para pengambil kebijakan tidak perlu membuat komentar yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat sehingga banyak pihak harus memberikan klarifikasi yang seharusnya tidak perlu. Energi yang ada seharusnya digunakan untuk hal yang lebih produktif. PBNU sebagai institusi yang membawahi dan memahami betul pesantren siap membantu jika ada persoalan yang membutuhkan penanganan. Langkah ini akan jauh lebih baik dan lebih produktif dalam menyelesaikan persoalan.  

Rabithah Maahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) atau asosiasi pesantren NU saat ini sedang mengampanyekan gerakan Ayo Mondok. Upaya tersebut ternyata cukup berhasil dalam meningkatkan jumlah santri yang belajar di pesantren. Ini tentu tidak lepas dari citra pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sangat mengutamakan pendidikan akhlak. Banyak santri baru datang bukan dari kalangan keluarga santri, tapi benar-benar datang dari kalangan biasa. Minat yang tinggi terhadap pesantren ini tidak lepas dari keprihatinan terhadap sistem pendidikan formal yang selama ini terlalu menekankan prestasi akademik tanpa disertai pengisian nilai-nilai spiritual. Akibatnya, banyak lulusannya yang bermasalah di masyarakat. Omongan pejabat yang tak pas ini bersifat kontraproduktif terhadap upaya mengajak masyarakat untuk belajar di pesantren dan menciptakan generasi muda Indonesia yang lebih berakhlak. (Mukafi Niam)


Terkait