Sebanyak 41,6 persen mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam berpandangan pemerintah Indonesia thaghut (tidak Islam). Ini merupakan temuan yang diperoleh dari riset yang dilakukan oleh Center for The Study of Islam and Social Transformation (CISForm) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dari riset yang mereka lakukan pada 2018 lalu. Indikator lain tak jauh berbeda: 36,5 persen mahasiswa Prodi PAI berpandangan bahwa Islam hanya dapat tegak dengan sistem khilafah, 27,4 persen mahasiswa memiliki pandangan boleh menggunakan kekerasan dalam membela agama.
Temuan ini tentunya menjadi lampu kuning bagi pengajaran Islam di Indonesia di masa mendatang. Riset lain yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lain juga menunjukkan kecenderungan serupa. Sayangnya belum ada respon yang memadai. Para mahasiswa ini merupakan para calon guru yang nantinya akan mendidik murid di tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah. Apa yang mereka yakini sangat potensial untuk disebarluaskan kepada anak didiknya. Secara perlahan, gerakan tersebut membesar. Paham tersebut menyelusup tanpa sadar untuk mempengaruhi pikiran anak-anak muda Indonesia sampai akhirnya di masa datang dapat menjadi sebuah ledakan yang rawan menghancurkan bangunan kebangsaan Indonesia.
Selama ini, ada kecenderungan kita untuk bersikap reaksioner terhadap banyak hal. Menganggap enteng hal-hal yang selama ini belum terlihat berbahaya, padahal jika dibiarkan akan menjadi potensi bencana besar di masa mendatang. Setelah gerakan tersebut menjadi besar dan sulit diatasi, baru kita kebingungan bagaimana mengatasi masalahnya. Contoh konkretnya adalah sikap kita dalam memandang organisasi khilafah. Setelah dibiarkan selama berpuluh tahun dan memperoleh banyak pengikut, baru ada kekhawatiran terhadap organisasi tersebut, padahal di negara-negara Muslim, gerakan tersebut telah lama dilarang.
Mengatasnamakan agama memang sangat mudah untuk menarik perhatian massa. Bahkan, banyak orang yang bersedia mati demi agama karena ada janji surga setelah kematian. Apalagi bagi orang-orang yang baru bertobat atau bersemangat mendalami agama, tetapi minim bekal pengetahuan agama. Indoktrinasi seperti ajaran khilafah dengan gampang masuk dengan cara seperti ini. Sayangnya banyak yang terperdaya dengan solusi semu tersebut.
Islam adalah agama yang mengombinasikan antara wahyu dan akal. Ketika beragam masalah dicarikan cantolan dalil dengan mengabaikan faktor sebab akibat yang merupakan hukum alam, maka di situ pula kemunduran umat Islam sebagaimana yang telah terjadi selama berabad-abad. Pola pikir seperti inilah yang masih mendominasi gerakan Islam tekstualis. Yang memandang segala sesuatu secara hitam putih.
Organisasi-organisasi yang ingin mengubah dasar dan bentuk Indonesia bisa tumbuh dan berkembang dalam sistem demokrasi, tetapi mereka sendiri merupakan penentang demokrasi yang memberi mereka kebebasan berekspresi. Dengan menumpang demokrasi yang mereka klaim sebagai sistem taghut, maka mereka ingin memberangus sistem tersebut jika nantinya berkuasa dengan mengeliminasi aspirasi yang tidak sesuai dengan pendapat mereka.
Yang perlu jadi perhatian adalah organisasi-organisasi penentang NKRI tersebut mampu mengemas gerakannya dengan cara yang sistematis, menarik, dan modern. Saat mahasiswa baru menginjak ke perguruan tinggi, mereka membantu mencarikan kos-kosan setelah mereka tiba dari kampung halaman. Mereka memberi pendampingan saat masa-masa sulit memulai pembelajaran di tingkat perguruan tinggi sampai dengan mengajari mereka belajar Qur’an setiap harinya dan pertemuan-pertemuan lain yang telah terprogram secara sistematis. Keberhasilannya dalam merekrut mahasiswa berprestasi menyebabkan citra gerakan-gerakan seperti ini terlihat keren.
Sekalipun sudah dibubarkan, ideologi yang sudah tertanam pada generasi sebelumnya tentu masih tertanam kuat. Mereka akan berusaha dengan segala cara untuk menyebarkan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi. Tak mudah untuk menanamkan keyakinan baru terhadap apa yang sudah terpatri dengan kuat. Minimal yang bisa kita lakukan kini adalah, mencegah tumbuhnya tunas-tunas baru pendukung gerakan radikal dan khilafah.
Inilah PR bagi organisasi mahasiswa seperti PMII, HMI dan organisasi keagamaan berbasis Islam lainnya yang ideologinya mampu menyelaraskan antara nilai kebangsaan dan keislaman. Mereka mengevaluasi strateginya dalam menarik mahasiswa baru agar bersedia terlibat dalam gerakannya. Strategi berubah menyesuaikan diri dengan kondisi dan persaingan. Apa yang berhasil dilaksanakan pada masa lalu belum tentu masih relevan untuk masa kini karena pihak lain melakukan inovasi-inovasi strategi dalam mengembangkan gerakannya.
Temuan ini tentu harus disikapi dengan kritis, kalau perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara lebih akurat agar pemangku kepentingan seperti Kementarian Agama yang membawahi pendidikan tinggi Islam dan pemangku kepentingan utama lainnya dapat mengambil tindakan yang tepat guna mengeliminir gerakan-gerakan anti-NKRI tersebut.
Teknologi juga telah mendisrupsi cara-cara berdakwah yang kemudian menghasilkan ustadz-ustadz online yang mampu mengemas dakwahnya dengan enak, sekalipun isinya biasa-biasa saja. Kelompok Islam transnasional menyadari sepenuhnya cara-cara pemanfaatan teknologi baru ini untuk kepentingan ideologinya. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi kelompok mapan yang selama ini masih menggunakan cara-cara konvensional dalam berdakwah, yang ternyata kurang efektif dalam menjaring generasi baru.
Lampu kuning sebagai peringatan telah disampaikan, kini tinggal bagaimana kita menyikapinya. Warna Islam Indonesia di masa mendatang sangat tergantung dari apa yang kita lakukan hari ini. (Achmad Mukafi Niam)