Risalah Redaksi

Mempertahankan al-Aqsa dari Ancaman Israel

Jumat, 28 Juli 2017 | 10:30 WIB

Mempertahankan al-Aqsa dari Ancaman Israel

Ilustrasi (Republika)

Kawasan paling panas di Timur Tengah, Palestina kembali bergolak setelah Israel memasang detektor logam di pintu-pintu masuk Masjidil al-Aqsa. Masyarakat Palestina kemudian melakukan demonstrasi sedangkan dunia internasional menekan Israel untuk mencabut kembali detektor-detektor yang sebelumnya sudah dipasang. Sekalipun akhirnya peralatan tersebut dicopot kembali, Israel berencana memasang kamera pengintai canggih. 

Tindakan Israel untuk “mengokupasi” Masjidil al-Aqsa ini didasari alasan keamanan setelah ada dua orang polisi Israel yang ditembak oleh dua orang Palestina. Tampaknya Israel menggunakan memomentum ini sebagai kesempatan untuk menguasai kompleks yang sebelumnya berada di bawah otoritas Yordania. 

Alat pengintai canggih yang rencananya akan dipasang di kompleks Masjidil al-Aqsa ini juga tidak dapat diterima. Jika ini boleh dipasang, ini menunjukkan berlakunya otoritas Israel di wilayah tersebut. Sudah sejak lama Israel ingin menguasai sepenuhnya kompleks suci ini sebagai bagian dari Israel Raya. Salah satu targetnya adalah memindahkan ibukotanya ke Yerussalem dari sebelumnya di Tel Aviv.

Tindakan yang dilakukan Israel tersebut tentu saja melanggar kebebasan untuk beribadah. Otoritas pengelolaan Masjid al-Aqsa saat ini harus sebagaimana yang berjalan sebelumnya. Untuk mencegah upaya Israel mengambil alih tempat suci ini, sudah selayaknya jika masyarakat internasional dilibatkan dalam upaya perlindungan kompleks yang dihormati oleh tiga agama ini. 

Strategi dalam memperjuangkan Palestina saat ini tampaknya harus diubah. Upaya meraih kemerdekaan dengan perjuangan fisik, bahkan sudah kalah sejak perang 1967. Semakin ke sini, kapasitas militer Israel semakin canggih, sementara pejuang Palestina hanya bisa berjuang dengan peralatan yang kapasitasnya jauh di bawah apa yang dimiliki Israel yang mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat dan beberapa sekutu lainnya dengan persenjataan tercanggih saat menghadapi ancaman. Korban-korban nyawa terus berjatuhan sedangkan kerusakan fisik yang ditimbulkan akibat peperangan juga bernilai sangat besar. Semakin lama, rakyat Palestina semakin menderita jika pendekatannya adalah militer.

Belakangan, perjuangan melalui jalur diplomasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina lebih berhasil. Pengakuan eksistensi Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan dukungan penuh negara-negara Muslim dan negara lain yang menginginkan kemerdekaan Palestina menunjukkan kekalahan diplomasi Israel dan Amerika Serikat. Kemenangan lain Palestina atas Israel dan Amerika Serikat terjadi juga atas pengakuan Palestina oleh UNESCO. Diplomasi pula yang membuat beberapa negara memboikot barang-barang Israel yang diproduksi di daerah pendudukan yang dikuasai setelah perang 1967. 

Mengharapkan Amerika Serikat sebagai juru damai yang adil untuk kepentingan kedua belah pihak bagaikan pungguk merindukan bulan. Berbagai kepentingan menjadikan kebijakan resmi negeri adidaya ini lebih condong dalam melindungi Israel daripada memperjuangkan aspirasi Palestina. Poros kekuatan dunia yang kini semakin tersebar ke berbagai negara besar lain seperti India dan China serta perubahan sikap dari negara-negara Eropa Barat yang kini melihat persoalan secara lebih berimbang bisa dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan Palestina secara lebih intensif. 

Tentu saja, perjuangan Palestina tersebut tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pada negara-negara Timur Tengah sendiri yang hingga kini tak henti-hentinya dilanda konflik, apalagi hanya menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat Palestina yang terus mengalami himpitan keras oleh Israel. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dapat mengambil inisiatif dan peran penting membantu membantu Palestina dalam forum-forum internasional.

Indonesia pernah memiliki peran penting dalam diplomasi internasional saat era kepemimpinan Soekarno. Penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) menjadi pendorong kemerdekaan negara-negara di dua kawasan tersebut yang sebelumnya masih mengalami kolonialisasi. Para pemimpin Indonesia di masa kini atau masa mendatang bisa belajar langkah-langkah yang dilakukan oleh presiden pertama RI ini dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang atau negera terbelakang di hadapan kepentingan negara-negara yang kuat yang tidak mau kehilangan gehemoni atas sumberdaya yang mereka miliki, sekalipun merugikan merugikan pihak lain. Bagi para pemimpin negara, kepentingan tertinggi mereka adalah kepentingan nasionalnya karena mereka dipilih oleh penduduk di negaranya. Karena itu, negara-negara Muslim tidak bisa sepenuhnya berpangku tangan dengan mengharapkan keadilan diberikan. Keadilan harus diperjuangkan 

Demikian pula, cita-cita negara Palestina yang damai dan sejahtera, tidak bisa hanya dengan mengandalkan kerelaan pihak lain untuk berkorban. Upaya tersebut harus diperjuangkan. Jika melihat situasi kekinian, maka pola perjuangan yang paling memungkinkan adalah melalui jalur diplomasi. Dan hal ini membutuhkan kebersamaan negara-negara Muslim untuk memiliki satu pandangan akan pentingnya Palestina dan Masjidil Aqsa sebagai salah satu tempat suci yang harus dijaga eksistensinya.  (Ahmad Mukafi Niam)


Terkait