Baru-baru ini kita dihadapkan dengan pelanggaran etika yang dilakukan oleh ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. Hakim dengan kekuasaan tertinggi yang keputusannya harus dipatuhi oleh siapa saja di negeri ini. Karena itu, dia merupakan sosok wakil tuhan yang seharusnya memiliki sikap etis dengan kualitas tertinggi. Kita juga menyaksikan para anggota DPR yang mengesahkan UU MD3 yang kontroversial mengingat sejumlah pasal dinilai publik berpotensi menjerat masyarakat yang akan mengkritik mereka. Di awal 2018 ini, sejumlah pemimpin daerah juga tertangkap tangan KPK karena melakukan tindakan korupsi. Kesan yang muncul adalah, para pejabat tersebut berusaha merebut kekuasaan dan melindungi posisinya dengan segala cara.
Kejadian-kejadian yang berlangsung secara beruntun ini memunculkan keprihatinan publik atas perilaku para pemimpin kita. Mereka yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat malah mengumbar perilaku yang tidak senonoh di hadapan publik. Mengapa sedemikian sulit mencari pemimpin yang dapat menjadi contoh? Padahal kita seringkali mengagung-agungkan diri sebagai umat Islam yang saleh, yang menjalankan berbagai macam ritual keagamaan dengan baik, tetapi perilaku publiknya berbeda jauh dengan moral agama.
Kini saatnya kita melakukan evaluasi, apa yang salah dalam pengelolaan negeri ini. Jika ada satu-dua orang yang tertangkap melakukan korupsi, maka kita bisa berasumsi bahwa kesalahan sifatnya individual dan harus ditangani secara individual pula, tetapi jika banyak pejabat yang tertangkap dan ada persepsi publik bahwa masih banyak pejabat dengan perilaku yang sama yang belum tertangkap, maka yang perlu dievaluasi adalah sistem kita dalam bernegara. Dalam sistem yang baik, orang yang berpotensi menyimpang akan lurus, tetapi dalam sistem yang buruk, orang baik akan ikut terjerat dalam berbagai kebusukan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah tindakan korupsi. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satunya. Para pegawai negeri sipil kini juga mendapat gaji dan tunjangan yang memadai, sehingga tidak perlu berperilaku yang aneh-aneh untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Sudah ada sejumlah perbaikan, tetapi masih jauh dari harapan karena penyimpangan masih saja berlangsung.
Demokrasi diagung-agungkan sebagai sistem terbaik untuk menghasilkan pemimpin. Demokrasi liberal menyerahkan semua mekanisme pemilihan secara langsung kepada rakyat. Tetapi, sistem ini mahal. Untuk bisa diusung partai agar bisa menjadi calon kepala daerah, para calon pemimpin tersebut harus sudah melakukan lobi-lobi politik dengan ongkos bejibun. Jauh sebelum pemilihan, mereka sudah menebar poster di mana-mana untuk menunjukkan kepada partai politik bahwa mereka memiliki elektabilitas yang tinggi. Saat kampanye sampai dengan hari pemilihan, ongkos yang dikeluarkan lebih banyak lagi. Satu kandidat bisa menghabiskan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Mereka yang terpilih, akan berusaha mengembalikan uang investasi politiknya dengan beragam cara.
Harapan bahwa dari pemilihan langsung tersebut menghasilkan pemimpin yang mumpuni dan berkualitas ternyata jauh panggang dari api. Mereka yang terpilih adalah orang-orang yang memang memiliki uang banyak sehingga mampu membiayai kampanye. Calon pemimpin yang baik dan berkarakter tetapi tidak memiliki modal, akan tersingkir dari arena pertarungan sejak awal.
Belakangan, terjadi konsolidasi kekuasaan antara pengusaha dan penguasa. Para pengusaha menginginkan kepentingan bisnis mereka tetap berjalan sementara para penguasa membutuhkan modal yang besar untuk memenangkan pemilihan. Akibatnya, ketika sudah berkuasa, mereka sesungguhnya hanya kepanjangan tangan dari para pengusaha tersebut. Kepentingan rakyat, jangan ditanya, itu hanya nomor kesekian yang tidak masuk prioritas utama.
Ada satu dua orang kepala daerah dengan kinerja baik, yang kemudian secara massif dipublikasikan keberhasilannya. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa sistem demokrasi liberal ini telah menghasilkan pemimpin yang mumpuni, tapi mereka bukanlah mewakili kualitas pemimpin secara umum, mereka adalah outlier, orang-orang istimewa yang mampu lolos dari pertarungan sengit dengan uang sebagai modal utama. Dan jumlah mereka tidak banyak. Rata-rata, kualitas pemimpin kita adalah medioker atau bahkan rendah. Rakyat sudah putus asa dan apatis, karena harapan dan janji-janji yang disampaikan selama kampanye tak terlaksana. Dan terutama karena perilaku korupsi yang meraja lela.
Kini saatnya kita berpikir dan merumuskan ulang bagaimana membangun mekanisme perekrutan kepemimpinan dengan biaya rendah dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Kadang kita terlalu terpukau dengan segala sesuatu yang berasal dari Barat, termasuk model demokrasi liberal ala Amerika Serikat ini, yang dibawa dari anak-anak Indonesia yang belajar di sana. Juga dengan gencar dikampanyekan LSM-LSM Amerika Serikat. Kondisi ekonomi dan sosial kita jauh berbeda. Sebuah sistem akan berhasil jika padu dengan situasi yang ada. Tak ada yang sifatnya standar dan berlaku di semua tempat. Jika kita berhasil menemukan itu, tak perlu khawatir soal etika dan sikap kenegarawanan para pemimpin kita. Input yang terseleksi dengan baik sudah menghasilkan calon-calon yang berkualitas. (Achmad Mukafi Niam)