Meningkatkan Kesadaran Umat untuk Membayar Zakat, Infak, dan Sedekah
Ahad, 16 Mei 2021 | 11:30 WIB
Kewajiban zakat terasa berat karena tidak ada "imbalan" secara langsung dari ditunaikannya kewajiban tersebut sementara kecintaan manusia terhadap harta sedemikian besar.
Kesadaran Muslim untuk membayar zakat meningkat pesat. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) melaporkan dana zakat, infak, dan sedekah yang dikumpulkan pada 2002 berjumlah Rp68 miliar. Pada 2019, jumlah yang dikumpulkan naik menjadi Rp10,22 triliun. Dengan demikian, rata-rata pertumbuhan pengumpulan ZIS mencapai 34,33%, jauh melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional pada periode yang sama, yakni hanya 5,36 persen.
Sekalipun jumlahnya meningkat pesat, namun dana yang dihimpun masih jauh dari potensi yang ada, yaitu sebesar Rp233 triliun atau baru terkumpul 4,39 persen. Dengan demikian, ruang untuk pertumbuhan pengumpulan dan penyaluran dana ZIS masih sangat besar.
Jumlah kelas menengah Indonesia menurut Bank Dunia mencapai 52 juta. Jika kita membuat perhitungan kasar 90 persen kelas menengah adalah Muslim, maka akan diperoleh angka 46,8 juta. Saat ini yang membayar ZIS baru 8,8 juta orang. Artinya baru sekitar 18,8 persen umat Islam Indonesia yang membayar ZIS.
Di sisi lain jumlah mustahik yang menerima penyaluran zakat mencapai 23,5 juta orang sedangkan jumlah penduduk miskin pada 2019 mencapai 24,79 juta. Artinya sudah mencapai 95 persen dari jumlah yang berhak.
Jika angka rata-rata pertumbuhan pengumpulan dana ZIS sebesar 34,33 persen mampu dipertahankan dalam waktu 10 tahun berikutnya, pada tahun 2029, jumlah dana mencapai Rp145,55 triliun. Namun, untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan tinggi yang stabil tidaklah mudah. Jika diasumsikan pertumbuhan moderat sebesar 15 persen per tahun, maka pada 2029, diperoleh 35,95 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan 10 persen per tahun, maka pada 2029 jumlahnya 24,09 triliun.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan perolehan zakat, di antaranya adalah disahkannya UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang selanjutnya disempurnakan dengan UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pendirian Baznas merupakan bagian dari implementasi UU zakat tersebut. Keberadaan UU tersebut juga memungkinkan pendirian lembaga pengelola zakat yang sekarang ini jumlahnya mencapai 81 lembaga, 26 di antaranya berstatus nasional, termasuk LAZISNU (Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Nahdlatul Ulama).
Lembaga ZIS kini melakukan sosialisasi dan edukasi pembayaran ZIS secara masif, terutama dalam bulan Ramadhan ketika sebagian besar Muslim berbondong-bondong membayarkan zakatnya karena keyakinan bahwa mengeluarkan ZIS pada bulan yang penuh rahmat tersebut mendatangkan pahala yang lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
Pola kampanye untuk mengajak masyarakat membayar ZIS pun sudah dilakukan sebagaimana iklan produk atau jasa yang ditawarkan oleh berbagai perusahaan dengan tema yang bagus dan pesan memikat. Kampanye masif dilakukan dalam bentuk spanduk, informasi di web, media sosial, dan saluran komunikasi lain telah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk meningkatkan literasi zakat serta membayar ZIS.
Antarlembaga zakat pun bersaing ketat untuk meraih kepercayaan masyarakat menjadi tempat pembayaran ZIS. Masing-masing berinovasi memberikan layanan terbaik. Hal ini menguntungkan masyarakat secara keseluruhan yang kini memiliki banyak pilihan dan akhirnya mendorong semua lembaga zakat berbenah supaya tidak ditinggal muzakki.
Membayar zakat juga dapat dilakukan dengan sangat mudah, cukup dengan mentransfer ke rekening lembaga zakat; melalui aplikasi lokapasar; bahkan terdapat lembaga zakat yang menyediakan layanan jemput zakat.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, namun tidak ada sanksi dari pemerintah atau pihak lain yang diterapkan bagi mereka yang tidak menunaikannya. Hal ini berbeda dengan pembayaran kewajiban pajak yang ada unsur pemaksaannya. Ancaman bagi yang tidak menunaikan kewajiban tersebut berupa dosa yang konsekuensinya ditanggung di akhirat nanti.
Dengan demikian, kepatuhan membayar zakat ditentukan oleh tingkat kesadaran dalam memenuhi kewajiban agama dan persuasi untuk membantu golongan yang membutuhkan. Strategi dalam menyampaikan pesan inilah yang dilakukan oleh lembaga pengelola zakat untuk mendorong muzakki membayarkan kewajibannya.
Selama ini umat Islam Indonesia merupakan kelompok yang taat dalam melaksanakan 5 rukun Islam. Namun, di antara 5 rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, mungkin yang paling rendah tingkat kepatuhannya adalah pembayaran zakat.
Tiga rukun yang diwajibkan, syahadat, shalat, dan puasa, hanya membutuhkan pengorbanan mental dan fisik untuk pelaksanaannya. Haji membutuhkan pengorbanan harta, tetapi ada peningkatan status sosial bagi masyarakat yang sudah menunaikannya sehingga orang berbondong-bondong pergi haji. Di sisi lain, kewajiban zakat terasa berat karena tidak ada "imbalan" secara langsung dari ditunaikannya kewajiban tersebut sementara kecintaan manusia terhadap harta sedemikian besar.
Namun sebagai makhluk sosial, manusia juga memiliki kesadaran untuk membantu pihak lain. Muzakki akan sangat senang jika dana yang mereka bayarkan digunakan untuk membantu orang lain yang terkena bencana atau menderita. Merupakan sebuah kegembiraan bisa meringankan penderitaan orang lain. Dengan demikian, laporan penggunaan dana mesti disosialisasikan dengan baik. Pada aspek inilah, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana-dana ZIS menjadi krusial. Sekali kepercayaan masyarakat hilang karena salah kelola, maka sangat sulit untuk memulihkannya.
Secara makro, peta jalan pengembangan ZIS sudah berjalan dengan baik, tentu dengan berbagai penyempurnaan yang dilakukan terus-menerus seiring dengan kemajuan zaman. Dengan demikian, ZIS dapat menjadi sarana untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan dan agar harta orang kaya tidak berputar-putar di kalangan mereka sendiri. Nahdlatul Ulama melalui LAZISNU turut menjadi bagian dalam pengumpulan dan pendistribusian ZIS. (Achmad Mukafi Niam)