Risalah Redaksi

Menjaga Nilai-nilai Kemanusiaan di Uighur

Ahad, 23 Desember 2018 | 10:15 WIB

Menjaga Nilai-nilai Kemanusiaan di Uighur

Ilustrasi (Reuters)

Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Ras pada Agustus 2018 melaporkan sekitar satu juta orang dari komunitas Uighur ditahan di kamp-kamp raksasa. Laporan sejumlah media dan jurnal akademik internasional yang dapat dengan mudah diakses atau diunduh dari internet juga menunjukan adanya persoalan kemanusiaan di wilayah tersebut. Sementara itu, otoritas China mengatakan orang-orang tersebut menjalani pendidikan vokasi yang bisa dipilih sendiri sesuai dengan minat dan bakatnya.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, pemberitaan yang terjadi di Uighur menghiasi media internasional. Pada 2009 terdapat bentrokan yang menyebabkan 197 orang tewas dan lebih dari 1600 orang ditahan. Dan selanjutnya, secara rutin berbagai persoalan kekerasan dari daerah tersebut mengemuka ke dunia internasional.

Bagaimana situasi sesungguhnya yang terjadi, masih gelap gulita karena informasi yang saling bertentangan. Pemerintah China mengklaim adanya kelompok pembangkang yang ingin memerdekakan diri yaitu East Turkestan Islamic Movement (ETIM) dan adanya cabang dari Al-Qaeda yang beroperasi di China. Ini menjadi legitimasi untuk melakukan gerakan penertiban para separatis dan mereka yang dianggap kelompok radikal. Seberapa besar pengaruh kelompok separatis tersebut sampai akhirnya sekitar satu juta penduduk harus “dididik” ulang? Ini yang harus diungkap lebih lanjut.

Pemerintah China tentu ingin menunjukkan semuanya baik-baik saja. Bahwa di Uighur juga ada kelompok yang mendukung kebijakan pemerintah. Negara atau kelompok lain yang menjadi pesaing atau merasa khawatir dengan kebangkitan China, mungkin saja melebih-lebihkan fakta yang ada. Di sinilah perlunya pihak ketiga yang diakui kredibilitas dan otoritasnya untuk melihat dengan jelas, fakta sebenarnya yang terjadi. Tentunya, lembaga yang diakui secara internasional adalah PBB.

Sejarah keberadaan Muslim di dataran China sudah ada sejak zaman sahabat Nabi. Jalur Sutra menjadi pintu masuk para pedagang Muslim berinteraksi para pedagang dan kalangan istana di negeri Tirai Bambu ini.  Kini terdapat sejumlah komunitas besar di China yang beragama Islam. Yang terbesar adalah suku Hui.  Suku Hui secara kultural dan etnis lebih dekat dengan suku Han yang merupakan mayoritas penduduk China. Mereka dianggap sebagai contoh yang baik terkait hubungannya dengan pemerintah. 

Sementara itu, suku Uighur secara kultural dan etnis lebih dekat dengan masyarakat di Asia Tengah. Bahkan, jarak antara Uighur ke Baghdad lebih dekat dibandingkan dengan ke Beijing yang merupakan ibu kota China. Karena itulah, hubungan yang terjadi sejak lama antara komunitas Uighur dan kekaisaran China dari waktu ke waktu cukup dinamis.  Satu masa, orang-orang Uighur dekat dan bekerja sama secara erat dengan kekaisaran China.  Pada 1933 mereka sempat memproklamasikan Republik Turkistan Timur. Namun, republik tersebut tak bertahan lama. Kini daerah tersebut memiliki status otonomi atau memiliki hak memerintah sendiri.

Uighur merupakan daerah strategis yang kaya akan sumber daya alam dan akses menuju ke Asia Tengah. Pemerintah China melakukan pembangunan besar-besaran di daerah tersebut. Hal ini menarik orang-orang dari suku Han untuk bermigrasi ke wilayah ini.  Seiring dengan perkembangan zaman, daerah yang sebelumnya mayoritas dihuni oleh suku Uighur tersebut mengalami perubahan komposisi. Persentase awal suku Han yang hanya 6 persen pada tahun 1949 ketika China merdeka, kini menjadi 40 persen. Malangnya, suku Uighur kini menjadi minoritas di negerinya sendiri. Suku Han lebih sejahtera dengan memegang posisi-posisi strategis.

Pada setiap persoalan dalam negeri, masing-masing negara memiliki otoritas untuk menyelesaikannya dengan pendekatan yang paling tepat. Bahkan, ketika menyangkut penanganan terhadap kelompok separatis pun, terdapat aturan HAM yang harus dipatuhi bagaimana menangani mereka secara manusiawi. Jangan sampai masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa kemudian menjadi korban. 

Ketika berhadapan dengan negara kuat, negara-negara lain cenderung mencari aman. Misalnya, saat Amerika Serikat menyerang Irak tanpa legitimasi yang memadai, yang kini menimbulkan korban meninggal sekitar 500 ribu jiwa, sebagian besar negara, bahkan yang paling kencang meneriakkan hak asasi manusia, hanya terdiam saja. Hal yang sama bisa saja terjadi saat ada persoalan di China. Kritik yang disampaikan lebih pada upaya untuk menjaga sentimen masyarakat domestik bahwa pemerintah memperhatikan nasib Muslim di negara lain. 

Dalam konteks lokal Indonesia, terdapat isu-isu tertentu yang dicoba untuk digalang seperti persoalan Palestina dan Suriah. Namun, ada pula persoalan yang kurang tersentuh sekalipun menimbulkan korban luar biasa. Konflik Yaman yang menimbulkan ancaman kelaparan bagi jutaan orang kurang terdengar gaungnya. Apakah karena yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara-negara yang memiliki afiliasi ideologis dengan kelompok tertentu tersebut, masih perlu ditelusuri lebih lanjut. Sebuah persoalan memiliki banyak dimensi. Karena itu, harus disikapi dengan hati-hati. 

Indonesia memiliki tugas berat untuk turut serta dalam menciptakan perdamaian dunia yang abadi sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Dan itu tidak mudah. Ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan raksasa, maka organisasi-organisasi regional seperti ASEAN atau di tingkat dunia seperti PBB dan organisasi khusus yang menangani aspek tertentu, dapat digunakan untuk memperjuangkan kepentingan kemanusiaan. Bahwa apapun masalahnya, persoalan kemanusiaan harus mendapatkan perhatian dan penghormatan yang layak. (Achmad Mukafi Niam)



Terkait