Menunggu Pemerintah Tegas Berantas Pinjaman Online Ilegal
Ahad, 6 Juni 2021 | 10:00 WIB
Pelanggaran pinjaman online ilegal lebih dari sekadar mencakup urusan administratif semata tapi juga sudah masuk kategori tindak pidana.
Seorang guru honorer di Kabupaten Semarang berinisial AM (27) terjerat pinjaman online ilegal sebesar Rp3,7 juta yang kemudian membengkak menjadi Rp206,3 juta. Hal ini disebabkan karena teror yang diterimanya dari penagih utang yang membuatnya panik dan akhirnya gali lobang tutup lobang ke pinjol ilegal lainnya sampai akhirnya terjerat utang di 20 pinjol. Kini, ia didampingi oleh Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Salatiga untuk menyelesaikan masalah yang menimpanya.
Sebelumnya sudah ada kasus di Malang yang melibatkan guru honorer TK berinisial S (40) dengan pola yang sama. Ia meminjam Rp2,5 juta untuk membayar biaya kuliah S1, tetapi kemudian tidak mampu membayar yang kemudian mamaksanya berhubungan dengan 24 pinjol senilai Rp40 juta.
Teror yang dilakukan oleh penagih utang sangat mengerikan. Mereka berbicara dengan kasar dan membentak-bentak. Nasabah juga dipermalukan dengan menyebarkan profilnya di seluruh kontak yang ada di telepon cerdasnya. Bahkan para penagih utang ini menelepon orang-orang terdekat nasabah yang akhirnya membuat orang yang punya utang semakin tertekan.
Akibat teror yang dilakukan oleh para debt collector pinjol ilegal, terdapat beberapa kasus bunuh diri seperti yang dilakukan oleh NF (28) di Padang, Sumatera Barat, pada Februari 2020 dan NF (35) di Mampang Prapatan, Jakarta, serta percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh KS (25) karena terjerat pinjol sebesar Rp20 juta.
Dalam kasus guru TK di Malang, ia bahkan sampai dipecat dari sekolah tempatnya mengajar karena koleganya di sekolah dihubungi penagih utang. Pengabdiannya selama 13 tahun dan perjuangannya untuk meraih gelar sarjana tak berbekas sama sekali akibat kasus tersebut. Di Solo, YS (51) menerima teror foto “siap digilir” untuk membayar utangnya sebesar 1.054.000. Selanjutnya, Donna dipecat dari pekerjaannya karena utang 1,2 juta setelah debt collector menelepon bosnya tengah malam.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI) yang melibatkan berbagai lembaga pemerintah terkait untuk melakukan penanganan dugaan tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi. Antara 2018 sampai Januari 2021, satgas ini sudah menutup 3.056 fintech lending ilegal. Namun, tekfin (teknologi finansial) ilegal ini terus bertumbuh bak jamur di musim hujan. Perusahaan yang ditutup kemudian berdiri lagi menggunakan nama lain.
Melihat masih banyaknya kasus yang terjadi, OJK dinilai belum mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Deteksi dan pencegahan mestinya bisa dilakukan dengan gampang mengingat pinjol ilegal beroperasi dengan menggunakan teknologi digital. Pemerintah memiliki kapasitas untuk melacak dengan cepat nomor-nomor telepon yang digunakan oleh para operator. Bahkan mendeteksi lokasi di mana telepon tersebut digunakan, yang artinya kantor pinjol ilegal bisa dengan gampang diketahui dan langsung ditutup. Aplikasinya pun bisa dengan cepat diblokir.
Penegakan hukum atas perilaku kasar dan mengancam yang dilakukan oleh para debt collector belum banyak dilakukan. Seharusnya ini bisa masuk ke dalam ranah pidana. Dengan demikian, pinjol ilegal tidak akan dengan mudah berganti dengan para aktor intelektual yang sama ketika usahanya yang lama ditutup.
Pinjol ilegal menyediakan pinjaman bernilai kecil antara satu jutaan sampai dengan 5 jutaan. Mereka menyasar orang-orang yang tidak layak mendapatkan kredit bank. Sasaran ini juga memiliki literasi keuangan rendah yang tidak memahami risiko berhubungan dengan pinjol ilegal karena hanya memperhatikan aspek kemudahannya, yaitu hanya mengunggah beberapa data, duit langsung cair.
Rentenir online gampang mencairkan uang karena mereka dapat mengakses seluruh data yang ada di telepon milik pengutang. Jika debitor tidak membayar kewajibannya, pihak perusahaan pinjol dapat menekan, bahkan mengancam akan menyebarkan data-data milik pengutang. Ini yang tidak dapat dilakukan oleh pinjol resmi. Pada aspek tindakan mengancam dan mempermalukan inilah seharusnya polisi turun tangan. Pembiaran yang dilakukan pihak keamanan menjadi legitimasi bagi sindikat pinjol ilegal untuk terus melakukan ancaman dan tindakan tak beretika.
Para peminjam, umumnya orang-orang tak berdaya, baik secara ekonomi, intelektual, maupun dukungan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan 1-2 juta saja, mereka tidak punya uang. Mereka tidak tahu harus berbuat apa ketika mendapat ancaman atau dipermalukan. Yang terjadi malah tambah panik dengan membabi buta meminjam ke pinjol ilegal lainnya, yang akhirnya menjerumuskannya semakin jauh ke dalam jeratan rentenir online. Sampai pada titik tertentu, ketika situasi sudah parah, mereka baru mencari bantuan hukum dan akhirnya viral dan kasusnya menjadi perhatian publik. Dari beberapa kasus yang viral, tentu lebih banyak lagi yang tidak mendapatkan perhatian masyarakat.
Kesan yang muncul di publik, OJK lebih menekankan peran masyarakat untuk berhati-hati dalam mewaspadai pinjol ilegal. Literasi digital merupakan hal yang penting, namun kita perlu memahami bahwa para korban pinjol ilegal adalah orang-orang yang secara ekonomi lemah sehingga kemungkinan literasi keuangannya lemah. Dalam situasi saat ini, perlindungan dan sikap tegas dari pemerintah merupakan hal yang harus diutamakan.
Tindakan tegas pemerintah mesti dilakukan dengan secara dini menutup, memidanakan, termasuk memblokir rekening yang digunakan perusahaan pinjol ilegal. Pemerintah memiliki otoritas dan kapasitas untuk melakukan hal tersebut. Jika pemerintah bisa melacak dan mengantisipasi tindakan terorisme yang gerakannya sangat tertutup, mestinya memberantas pinjol ilegal yang terang-terangan menawarkan pinjaman melalui SMS atau media sosial menjadi lebih gampang. Hal ini lebih pada kemauan politik, bukan pada ketidakmampuan penanganan.
Jangan sampai terjadi lagi rakyat jelata, yang sudah hidup susah malah semakin menderita karena terjerat pinjol ilegal karena abainya pemerintah dalam melakukan perlindungan kepada rakyat yang selama ini sudah tak berdaya. (Achmad Mukafi Niam)