Teknologi dengan cepat telah mengubah banyak hal dalam hidup. Jika sebelumnya manusia sangat tergantung pada alam, kini banyak hal bisa dikendalikan, cukup dengan sentuhan tangan di telepon atau perangkat cerdas lainnya. Mereka yang memiliki teknologi paling canggih akan mengendalikan pihak lain. Karena itu, banyak negara memberi dukungan pengembangan teknologi sebagai sarana memenangkan persaingan dengan negara lain. Masing-masing berusaha menjadi yang terdepan. Perusahaan teknologi berusaha menjadi yang tercepat dalam meluncurkan produk baru. Hasilnya adalah percepatan penemuan teknologi baru. Kini, teknologi digital menjadi pusat perhatian para pengembang teknologi.
Teknologi digital yang salah satunya berwujud dalam bentuk internet mampu memberi solusi pada banyak hal yang sebelumnya mustahil. Apa yang dahulunya susah dijangkau, kini hanya dengan genggaman tangan telah terhubung. Dunia telah menjadi desa global karena apa yang terjadi di satu bagian dunia, bisa secara langsung dihadirkan di bagian lainnya. Upaya pengembangan dari teknologi digital saat ini salah satunya adalah, teknologi kecerdasan buatan (artifisial intelegence) yang memungkinkan komputer atau mesin bisa mengerjakan sesuatu tanpa diperintah manusia. Para ahli mengkategorikan hal ini sebagai bagian dari revolusi industri 4.0.
Sejarah revolusi industri dimulai dari 1.0 ketika mesin uap ditemuan yang pada akhirnya memunculkan mesin-mesin untuk produksi yang menggantikan tenaga manual manusia. Revolusi industri 2.0 terjadi saat muncul tenaga listrik dengan produksi massal dan standarisasi mutu. Revolusi industri 3.0 berjalan saat muncul komputer dan otomatisasi dan selanjutnya revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan digitalisasi manufaktur yang diakibatkan oleh kekuatan komputasi dan konektivitasnya serta kecerdasan buatan. Salah satu produknya adalah internet of thing, yang mana segala sesuatu dikerjakan secara otomatis.
Tanpa terasa kita telah mengadopsi teknologi tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, algoritma di internet menyajikan informasi yang paling kita butuhkan berdasarkan sejarah penelusuran kita di internet. Kita diingatkan di media sosial akan peristiwa-peristiwa pribadi atau keluarga yang penting, seperti ulang tahun, pernikahan atau sejarah pertemanan. Media sosial mampu mendeteksi foto yang merupakan teman kita dan mengirimakan pesan untuk memberi komentar atau menandai. Di tempat parkir, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan semakin sedikit karena tergantikan oleh mesin. CCTV menyimpan data dan kita dapat mengakses secara waktu nyata (real time) dari mana saja kita berada.
Lembaga-lembaga pendidikan telah memikirkan bagaimana mempersiapkan peserta didik mereka agar mampu beradaptasi dengan dunia yang semakin kompleks. Pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan di berbagai lembaga pendidikan jika merujuk pada kurikulum saat ini tidak memadai lagi untuk memberi bekal peserta didik di masa depan mengingat banyak sekali pekerjaan yang digantikan oleh mesin dan muncul pekerjaan-pekerjaan baru belum pernah ada sebelumnya.
Pesantren, sekalipun mendidik para santri untuk tafaqquh fid dîn, juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Direktur Pedidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ahmad Zayadi, dalam kunjungannya ke NU Online baru-baru ini menyampaikan, berdasarkan riset yang dilakukan Kemenag, hanya empat persen dari jumlah santri yang akhirnya menjadi kiai atau ulama. Selebihnya menjalani beragam profesi sesuai dengan minat dan ketersediaan lapangan kerja. Karena itu, bagaimanapun juga para santri harus disiapkan ketika mereka berkiprah di masyarakat.
Bukan hanya bagi mereka yang akan akan terjun dalam berbagai profesi selain bidang keagamaan, bahkan, bagi mereka yang akan menekuni dunia dakwah dan pengembangan Islam pun, pemahaman akan teknologi dan pemanfaatannya dalam media dakwah juga sangat penting. Para dai yang sudah akrab dengan media sosial mampu memanfaatkan platform tersebut untuk memperluas pengaruh dakwah mereka. Sedangkan mereka-mereka yang hanya berkutat pada cara-cara konvensional hanya memiliki ruang apresiasi yang terbatas di tingkat lokal yang mampu mereka jangkau.
Selain itu, ketika masyarakat sudah melek teknologi sementara para pemuka agama gagap teknologi (gaptek), maka mereka tidak mampu memahami dinamika akibat pengaruh teknologi yang berada dalam masyarakat. Di balik semua manfaat dan kelebihan yang disematkan pada teknologi canggih, tersimpan beragam dampak buruk yang mengancam siapa saja yang lengah.
Teknologi juga membantu memudahkan proses belajar mengajar di pesantren. Metode yang mengandalkan hafalan sebagaimana masih berjalan, perlu dievaluasi ulang seiring dengan adanya teknologi pembelajaran terbaru yang melibatkan teknologi digital. Dulu, untuk membelajari Bahasa Arab, para santri harus menghafalkan kitab Alfiyah sebanyak seribu bait. Dibutuhkan waktu yang lama untuk menguasai hal tersebut. Kini, beragam aplikasi belajar bahasa Arab dapat diunduh dengan gratis dan dipelajari dengan mudah dengan hasil yang cepat. Berbagai perangkat lunak untuk mencari rujukan hadits kini tersedia dalam beragam versi. Beragam kitab klasik sudah tersedia dalam bentuk PDF yang memudahkan proses pencarian rujukan.
Dengan sejumlah kesempatan untuk pemanfaatan teknologi ini, sayangnya pesantren masih menghadapi sejumlah tantangan dalam pemanfaatannya. Pertama, sebagian besar pesantren belum mengizinkan penggunaan beragam perangkat teknologi digital oleh para santri dalam proses belajar mengajar. Ada aspek positif dan negatif dari kebijakan ini. Sisi positifnya, santri bisa fokus belajar dan terhindar dari konten-konten negatif yang tersebar melalui beragam peralatan canggih tersebut. Dampak buruknya adalah, mereka terhambat dalam pemanfaatan teknologi terbaru dalam proses belajar mengajar yang semakin efektif dan efisien.
Faktor kedua, ketersediaan sarana dan prasarana teknologi yang belum memadai. Tak banyak pesantren yang memiliki laboratorium komputer dan perangkat teknologi digital terkini untuk membantu pengajaran materi-materi keagamaan dengan basis teknologi ini. Memang, dibutuhkan biaya mahal untuk berinvestasi dalam teknologi. Hal ini yang menjadi kendala bagi banyak pesantren.
Terdapat pesoalan yang dapat diselesaikan secara lokal di internal masing-masing pesantren seperti pengaturan penggunaan teknologi digital agar diperolah manfaat sekaligus menghindari dampak negatif yang mungkin timbul. Terdapat persoalan yang dapat diselesaikan oleh asosiasi pesantren seperti pembuatan panduan kurikulum untuk mengenalkan teknologi kepada para santri. Terdapat permasalahan yang lebih besar seperti dukungan dana dan infrastruktur serta pengakuan lulusan pesantren. Hal ini perlu melibatkan para pemangku kepentingan yang lebih besar seperti pengambil kebijakan di parlemen atau kementerian terkait.
Kita perlu belajar dari pengalaman masa lalu saat prakemerdekaan atau awal-awal kemerdekaan Indonesia. Para era tersebut, pesantren hanya berfokus memberi bekal para santri dengan ilmu agama. Akhirnya ketika tersedia ruang yang luas untuk terlibat dalam membangun negara, komunitas pesantren hanya bisa mengambil peran di Departemen Agama. Ruang-ruang lain, diisi oleh mereka yang memiliki keahlian teknis dan administratif, tetapi minim pengetahuan agama sehingga banyak kebijakan dari lembaga strategis tidak ranah terhadap kebutuhan umat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia.
Hal yang saja juga terjadi, jika komunitas pesantren tidak mempesiapkan para santrinya untuk menguasai dunia digital, maka orang lain yang akan mengisinya. Tentu saja sesuai dengan ideologi dan pandangan yang mereka miliki. Jangan sampai kita ketinggalan dan hanya menjadi obyek atau konsumen teknologi saja. Bagaimanapun juga, banyak sektor telah terdisrupsi karena perkembangan teknologi digital. Saatnya kita mengambil peran dalam kemajuan teknologi ini. (Achmad Mukafi Niam)