Risalah Redaksi

Nasib Rakyat di Negara Kapitalis

Kamis, 20 Januari 2005 | 03:04 WIB

Gelisah masyarakat meluas dari Sabang sampai Merauke, pasalnya pemerintah akan menaikkan seluruh kebutuhan dasar, secara serentak mulai dari BBM, LPG, Listrik, telepon, air minum, serta pupuk. Sementara transportasi rakyat, obat-obatan, bahan bangunan telah duluan melambung tanpa kendali. Pertama-tama yang memberatkan bukan kenaikan itu sendiri, tetapi cara menaikkannya yang drastis dari 50 persen hingga 100 persen. Kemudian tidak satu persatu, tetapi dinaikkan secara serentak, sehingga strategi rakyat untuk bertahan dengan menggunakan skala prioritas telah kocar-kacir, menghadapi serangan pemerintah yang mendadak itu akibatnya rakyat merasa tercekik di segala sudut.

Belum lagi cara mengambil kebijakannya, yang sama sekali tidak elok, ada yang sama sekali tidak konsultasi dengan DPR, atau menyelinap ketika DPR lagi reses, atau ketika rakyat lagi merayakan sesuatu peristiwa, lalu harga diam-diam dinaikkan. Itulah perilaku negara dan perusahaan negara yang ada terhadap masyarakat dari waktu ke waktu yang dijadikan warga negara atau rakyat sebagai obyek bisnis. Rakyat tidak dilihat lagi sebagai kader negara, tetapi semata sejenis pangsa pasar, yang derajatnya diletakkan sebagai homo economicus (binatang ekonomi), yang hanya butuh makan, atau kebutuhan badani semata.

<>

Sejak model negara modern diperkenalkan sejak awal 1970-an, negara tidak lagi peduli dengan proses pendewasaan bangsa melalui pencerdasan bangsa yang diselenggarakan melalui pengembanagan pendidikan dan kebudayaan. Tetapi negara sepenuhnya hanya menumpahkan perhatian pada kesejahteraan rakyat, terutama dalam bidang ekonomi, maka rakyat pun diparang berpolitik dan berkebudayaan, sebab hal ktu bisa mengganggu pendapatan ekonomi, tidak efisien dan tidak efektif, rakyat haruis cari makan, negara harus cari makan, lainnya tidak.

Dengan cara pandang serba materi itu maka terbentuklah masyarakat materialis dan sekaligus masyarakat konsumtif. Dalam situasi semacam ini negara tidak berperan sebagai pelindung dan pelayan rakyat, tetapi menjadi pelayan kepentingan ekonomi kaum kapitalis. Ambisi pemerintah untuk membangun sarana kehidupan mewah tidak menggunakan biaya dan teknik sendiri, tetapi dengan cara menghutang dari negara lain, terutama dari para kapital. Para kapitalis itulah yang diberi wewenang membangun sector strategis yang dimiliki negara.

Persis seperti ulat, para kapitalis itu pertama-tama menjadi konsultan dalam membangun perusahaan negara, kemudaian mulai menjadi eksekutif, kemudian juga menjadi komisaris. Akhirnya si ular itu menjalar ke seluruh tubuh perusahaan negara, baik di sector pertambangan, keuangan, transportasi, air, telekomunikasi dan ketenagalistrikan.Pendeknya tak ada perusahaan negara yang tersisisa, yang kemudian muncul kebijakan gila yang dicetuskan di tengah reformasi, yaitu swastanisasi dan divestasi, sebagai bagian dari semangat liberalisasi yang kesetanan.

Dengan adanya kebijakan itu, kalangan kapitalis akhirnya bisa menaruh modal besar dalam perusahaan negara, bahkan sebagai pemilik dominan, akhirnya perusahaan negara telah menjadi perusahaan swasta, yang misinya tidak lain hanya berdagang, mencari keuntungan dengan berbagai macam cara, apalagi sector yang dipegang tanpa saingan, maka ia bisa menentukan harga tanpa ada kompetisi. Apa yang disebut layanan sudah dihapus dari konsep kenegaraan dan perusahaan yang ada dibawahnya. Tipuan liberalisasi telah sepenuhnya ditelan dan menjadi doktrin yang harus dijalankan.

Pandangan hidup seperti itulah yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan, karena tugas perusahaan mencari untung semata, maka harus dilakukan dengan berbagai cara, yakni menaikkan harga, tanpa harus memperbaiki kualitas barang dan layanan. Demikian juga cara menaikkan juga seenaknya, tanpa mempertimbangkan daya beli rakyat, karena itu kenaikan tidak bertahap tetapi bisa puluhan hingga ratusan persen.

Kelompok itu bisa menipu publik seenaknya, misalnya disesuaikan dengan harga internasional, mengalami kerugian, subsidi tidak mendidik. Tetapi celakanya keuntungan selalu dihamburkan untuk promosi yang tidak diperlukan dengan cara itu kalau perlu modal invesatasi maka tidak mengeluarkan dari cadangan, tetapi menguras dana rakyat dengan cara menaikkan harga semaunya. Untuk mencapai tujuan itu rakyat ditipu melalui logika dan pembukuan yang ruwet yang hanya dimengerti kelompok mereka sendiri, yang tujuannya satu menupu rakyat.

Lebih celaka lagi dana perusahaan strategis negara yang memilikannya telah didominasi swasta terutama swasta asing, mengakibatkan semakin jauh dari layanan, apa peduli bangsa asing terhadap kesejahteraan rakyat Nusantara, mereka hanya cari untung tidak peduli rakyat menderita. Karena mereka asing maka harga disesuaikan dengan kota metropolitan dunia, yang pendapatannya sangat tinggi, rakyat disuruh menyesuaikan dengan mereka. Untuk memenuhi tujuan itu keuntungan perusahaan digunakan untuk membeli politisi, membeli para tokoh masyarakat, tokoh agama, para intelektual, sehingga mereka bersuara sama, mendukung ambisi pengusaha kapitalis, dan menginjak-injak hak rakyat.

Akibat dari keseluruhan itu adalah  seluruh produk undang-undang dan kebijakan negara hanya mengabdi pada kepentingan pengusaha, kapitalis, terutama penjajah asing atau VOC gaya baru, yang berkedok diberbagai tindak kebajikan, seperti


Terkait