Risalah Redaksi

Pembelaan NU terhadap Kebebasan Pers

Selasa, 25 Maret 2003 | 01:21 WIB

Sejak masa orde baru NU telah bekerjasama dengan seluruh komponen pro demokrasi yang lain, untuk membela kebebasan rakyat, baik dengan kalangan LSM dan terutama kalangan pers. Dalam masa sulit itu mereka bersatu padu sehingga memiliki daya tahan yang tangguh meski tekanan orde baru dating dari berbagai penjuru, penyumbatan akses politik, informasi, pembredelan, pemenjaraan dan lain sebagainya. Ancaman yang dialami NU adalah penyumbatan seluruh akses ekonomi dan politik sehingga NU benar-benar menjadi ormas yang terpinggirkan. Demikian juga kalangan pers yang banyak ditekan baik melalui aparat maupun preman, atau kalangan LSM yang banyak menerima teror dan pemenjaraan, banyak yang berlindung pada NU, demikian pula kalangan NU yang diintervensi negara, juga mendapat simpati dan bantuan dari kalangan LSM dan pers.

Saat tiga media massa nasional, Tempo, Detik dan Editor dibredel, NU turut membela dengan gigih, begitu juga ketika para aktivis LSM dan mahasiswa dalam pengejaran rezim represif NU selalu melindungi mereka. Langkah penuh resiko itu diambil, hanya karena ingin menegakkan moralitas bangsa melindungi kaum tertindas. Karena hanya media massa, LSM dan gerakan mahasiswa itulah yang bisa menjadi penyeimbang bahkan kontrol terhadap kekuatan negara, sebab saat itu partai politik tidak mampu menjadi kekuatan pengontrol pemerintah, maka terpaksa ormas seperti NU demi alasan kemanusiaan terpaksa turut menyelamatkan aktivis pergerakan.

<>

Namun demikian ketika zaman berubah, ironisnya NU pernah menjadi korban kecerobohan pers yang dengan atas nama kebebasan, akhirnya membuat kesalahan fatal. Ketika pers mulai kritis terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid, kemudia mengusut kasus Bulog, maka Ketua umum PB NU Hasyim Muzadi dituduh menerima suap sebesar Rp. 35 miliar dari Bulog. Tetapi setelah diprotes Tempo  segera meralat, tetapi terlanjur beredar sehingga dikutip beberapa Koran tanpa konfirmasi, karena memang ada semacam keinginan mencari perkara untuk mediskreditkan  posisi Presiden Wahid. Akhirnya Jawa Pos edisi 6 Mei 2000, mengutip berita salah tersebut, tanpa check and recheck, maka sekelompok masyarakat Jawa Timur dan beberapa anggota Banser protes ke redaksi Jawa Pos, mereka ingin ketemu Pemred, tetapi karena tidak dilayani, maka kerumunan semakin banyak, akhirnya diantaranya ada yang memaksa masuk ke ruang redaksi, yang ini membuat mereka yang semula acuh menjadi panik.

Dengan masuknya rombongan para protestan itu kalangan redaksi akhirnya membuat manufer untuk tidak menerbitkan Jawa Pos dengan alas an kantornya diduduki, Banser. Melihat manuver Jawa Pos  itu Banser menolak siasat tersebut, dan meminta agar Jawa Pos tetap terbit,  sebab Banser tidak ingin membatasi kebebasan pers, yang ingin disampaikan hanya minta berita diralat, dan permintaan maaf  dari redaksi. Ketika besoknya Koran tidak terbit, maka publik nasional heboh dengan menuduh Banser menduduki redaksi Jawa Pos, karena itu segera mendapatkan simpati buta dari seluruh kalangan pro-demokrasi tanpa recek.

Persoalan lokal Surabaya itu kemudian menjadi isu nasional, bahkan dengan cepat menjalar ke level internasional, sehingga memojokkan Banser, NU dan Abdurrahman Wahid yang selama ini merupakan pelopor kebebasan pers. Walaupun secara resmi Jawa Pos mengaku salah, dan permintaan maaf dilakukan di media itu secara terbuka dilakukan, dan kalah dalam berbagai debat publik di media elektronik, tetapi posisi Banser dan NU terus dihujat dalam berbagai forum. Terlanjur diberbagai publikasi buku maupun majalah dicap sebagai anti kebebasan pers. Memang berbagai protes pada Koran bahkan diserta pemukulan wartawan terjadi saat itu, seperti yang dilakukan kader PDI atau Laskar Jihat di beberapa tempat, namun karena tidak dalam posisi kuasa, maka cukup diabaikan dan luput dari penglihatan  kalangan politisi dan pengamat.

Release yang dikeluarkan PBNU yang langsung disampaikan oleh Ketua Umum PBNU pada 13 Maret 2003 di kantor PB NU, berkaitan dengan serangan anak buah Tomy Winata dan Banteng Muda Indonesia (BMI)  ke redaksi Majalah Tempo beberapa waktu lalu, sekali lagi menunjukkan komitmen NU pada kebebasan pers. Dalam situasi sulit yang penuh resiko NU dengan berani menyatakan sikap, apalagi dalam situasi yang relatif bebas, dukungan NU terhadap kebebasan pers semakin kuat, karena itu NU turut mengutuk bentuk premanisme yang mengancam kebebasan pers, sebab kalau dibiarkan begitu saja  akan mengancam keberadaan media massa yang berperan sangat penting dalam  melakukan kontrol dan sebagai pendorong proses demokratisasi. Karena itu ia memintak masyarakat agar memahami fungsi pers sebagai institusi yang melakukan check and balances, maka siapa pun  tidak bisa bertindak sewenang-wenang melakukan kekerasan pada pers. Namun tidak kalah pentingnya adalah pembentukan norma bersama, yang bisa menjamin harkat dan martabat  masyarakat, termasuk pers sendiri perlu memanfaatkan kebebasannya guna mendidik masyarakat, sebab kebebasan yang sama bisa digunakan sebagai terror terhadap kelompok lain, sehingga muncul premanisme pers, seperti yang berlangsung selama ini, ketika kode etik jurnalistik telah diabaikan. Anarkisme pers ini merangsang tumbuhnya represi baru bagi negara untuk membatasi kebebasan pers melalui berbagai aturan yang mengikat. Karena itu kebebasan pers perlu didayagunakan sebaik-baiknya bagi pengembangan demokrasi di situlah kepentingan NU mendukung kebebasan pers. Pers yang bebas bias mendidik masyarakat sementara per


Terkait