Risalah Redaksi

Pembentukan Mental

Selasa, 17 Juni 2008 | 06:41 WIB

Beberapa waktu yang lalu sebuah klub sepak bola Inggris bertandang ke Indonesia untuk mengisi waktu liburan, ketika itu pemain terbaik klub tersebut ditarik ke negara masing-masing untuk mengikuti pertandingan Piala Eropa 2008. Meski tanpa pemain terbaiknya, bahkan pemain yang ada main asal-asalan, ternyata bisa menang telak melawan Tim Nasional Indonesia yang menurunkan seluruh pemain terbaiknya dan bermain habis-habisan. Kekalahan telak itu telah dialami secara beruntun dengan negara manapun.

Sebenarnya kekalahan Tim Indonesia itu terjadi justeru sejak di luar lapangan sudah mengalami kekalahan, tidak hanya itu suporter yang datang juga tidak berharap timnya menang, mereka hanya ingin melihat pemain Eropa yang selama ini hanya disaksikan lewat televisi. Artinya penonton sendiri juga telah kalah di luar lapangan, dengan menyadari akan kelemahan bahkan rendahnya kualitas kesebelasannya.<>

Sementara di laga Piala Eropa bisa kita saksikan beberapa negara kecil dengan sistem persepakbolaannya yang tidak cukup maju bisa menggilas raksasa sepak bola, seperti Kroasia menggasak Jerman, Swis menyingkirkan Inggris dari pertandingan bergengsi Eropa ini. Turki bisa menjungkalkan Polandia. Ini tidak lain karena mental mereka telah dibina, tidak hanya mental pemain, tetapi juga mental para pengurus sepak bola nasionalnya. Ini karena pemerintahnya memang memiliki mental baja demikian juga rakyatnya memiliki optimisme menjadi juara.

Sememntara bangsa kita semakin hari semakin dihinggapi mental inlander. Justru semakin terpelajar menjadi semakin inlander. Mereka mengangap bangsa kulit putih Eropa sebagai segalanya, dan harus tunduk, tidak hanya secara politik, tetapi juga secara budaya. Kelompok terpelajar baik yang ada di perguruan tinggi, media massa, militer dan politik hanya mau mendengar pendapat para konsultan asing, sama sekali mengabaikan kemampuan bangsa sendiri. Ketakutan pada bangsa bule sangat kelihatan, pelayanan terhadap mereka selalu diutamakan, sementara bangsa sendiri dinomorduakan.

Sejak masa kebangkitan hingga masa perjuangan kemerdekaan sampai masa awal kemerdekaan yang dilakukan oleh para aktivis pergerakan adalah membangun mental rakyata atau bangsa Indonesia yang dikenal dengan character building (pembentukan karakter) agar mereka sadar sebagai bangsa yang terhormat, bukan bangsa budak. Dengan kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat itu mereka berani menuntut keadilan dan menuntut kemerdekaan dan memperjuangkannya dengan penuh risiko.

Hanya bangsa yang memiliki karakter yang bisa berdiri setara dengan bangsa lain, selama masih bermental inlander maka bangsa ini tidak bisa memperoleh kemajauan, walaupun pendidikan telah menyebar luas. Sebab nantinya setelah belajar mereka hanya akan menjadi buruh atau pelayan. Tidak menjadi majaikan bagi bangsanya sendiri.

Dengan memiliki mental merdeka, bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan disegani, sebab mereka bisa menentukan nasib sendiri, berani mengambil keputusan sendiri sesuai dengan aaspirasi rakyat dan bangsanya. Tidak lagi didikte oleh bangsa lain yang ingin merebut kekuasaan dan kekayaan negara. Dengan kemandirian itu bangsa ini akan menjadi bangsa yang disegani, karena bisa mendiri tidak hanya secara politik tetapi juga bisa mandiri secara ekonomi. Kemandirian itu bisa dimiliki kalau memang punya mental mandiri.

Selama ini Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi para pemimpinnya selalu meminta batuan kemana-mana. Setiap menjalankan program tidak pernah dibiayai dan dilaksanakan sendiri, tetapi selalu mengutang atau digadaikan pada bangsa lain. Bahkan untuk mendidik bangsanya sendiri dilakukan dengan mengemis beasiswa pada bangsa lain. Untuk menjalankan roda politik dan pemerintahan juga meminta dana pada bangsa lain. Tidak berusaha mendanai sendiri, agar punya kemandirian dalam mengambil keputusan. Mental pengemis, mental calo sudah terlalu dalam menjangkiti bangsa kita, tidak hanya kalangan pemimpin politik, tetapi telah menjangkiti semua level kepemimpinan, masyarakat dan budaya.

Pembentukan mental yang mandiri, tegas, mau berkorban dan bermoral. Dan tidak kalah pentingnya mesti memiliki mental pemimpin dan mental juara, ini merupakan kunci pembangunan bangsa ini. Karena itu semestinya pendidikan nasional diarahkan ke sana. Sementara ini pendidikan nasional masih diarahkan pada penciptaan tenaga kerja, sehingga mengabaikan perbaikan moral dan pembentukan mental bangsa. Reorientasi pendidikan nasional menjadi sangat mendesak guna membangun bangsa ini. Karena dalam lembaga pendidikan itulah nilai-nilai, pengabdian, kejujuran dan perjuangan diwariskan dan disebarluaskan kepada seleuruh warga bangsa.

Dari permainan kesebelasan itu kita bisa mengambil ibarat, mengambil pelajaran dan contoh, bagaimana dengan mental baja yang penuh perjuangan sebuah kesebelasan dari negara yang tidak diunggulkan, tetapi mampu mengimbangi negara raksasa, bahkan diantaranya mampu mengalahkan secara telak.

Untuk meperoleh kemajuan dan kemenagan pertama kali yang harus dibangun adalah mentalnya, dari situ kemudian timbul semangat berjuang, karena memiliki harapan dan memilikimpeluang untuk maju, untuk menang. Kalau dulu kita tidak dibekali semangat juang, tidak dibekali pengorbanan, tentu tidak akan menjadi bangsa merdeka. Tetapi mental mandiri, mental merdeka dan perjuangan itu mulai redup, karena itu eksistensi kita juga ikut redup. Itu yang perlu dibenahi saat ini dengan upaya membangun kembali mental bangsa melalui pendidikan, melalui lembaga politik dan lembaga kebudayaan termasuk dengan menggunakan lembaga keagamaan. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait