Keislaman dengan kenusantaraan telah melebur sebegitu erat, sehingga ketika kenusantaraan menjadi keindonesiaan sebagai sebuah negara bangsa, maka keislaman menjadi perekat utamanya, karena islam pada waktu itu sudah berwajah Indonesia, tumbuh dan berkembang bersama kebudayaan Indonesia. Penciptaan Indonesia sebagai sebuah bangsa Islam dan khususnya Islam NU dan pesantren memiliki andil besar. Sejak sebelum kemerdekaan NU telah berpegang pada konsep kebangsaan. Walaupun pada waktu itu namanya masih Hindia Belanda, tetapi Nu dalam Muktamar Banjarmasin telah mengeluarkan sikap, bahwa mempertahankan kedaulatan bangsa yang ada di Hindia belanda itu merupakan kewajiban. Sebab yang hendak dipertahankan bukan pemerintahan Belanda, melainkan eksistensi bangsa yang ada di dalamnya. Karena itu pada masa revolusi komunitas NU dengan Hisbullah dan Sabilillahnya berdiri di depan menghadapi penjajah.
Pada masa awal kemerdekaan pinsip kebangsaan itu kembali tergoncang akibat gerakan separatis, baik yang dilakukan DI/TII, PRRI, PERMESTA serta PKI. Kelompok DI/TII menolak negara Indonesia berdasarkan prinsip kebangsaan dengan menawarkan dasar keislaman. Sementara gerakan PRRI dan Permesta, berusaha memecah keutuhan republik ini dengan melakukan pemberontakan. Mereka itu rela membantai bangsa sendiri demi kepentingan penjajah asing yaitu Amerika yang ingin menguasai Indonesia, dengan mendongkel Bung Karno, sebagai penguasa sah (waliyul amri addlaluri).Pembelaan NU terhadap penguasa yang sah dan pembelaan atas keutuhan bangsa ini, NU malah mendapat tuduhan oportunis.
<>Apalagi ketika NU bersama kekuatan politik lainnya yaitu kaum nasionalis, kelompok agama dan komunis (Nasakom) membentuk Front Nasional untuk menghadapi imperialisme asing, tuduhan itu semakin menjadi-jadi, karena NU tidak mau bekerja sama dengan penjajah yang berbulu demokrasi, yang dengan sistematis melakukan sabotase dan politik, sehingga di pertengahan 1960-an itu Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik yang parah, yang mengakibatkan bangsa ini menderita kelaparan, kemudian Bung Karno dijadikan biang keladi semua itu, dan termasuk NU sebagai partner setianya.
Pada masa orde baru paham kebangsaan berkembang sangat aneh, di satu sisi rezim otoriter itu telah meneyerahkan seluruh sector strategis pada negara-negara asing, dengan pola kontrak yang janggal, eksploitatif, hampir Indonesia kehilangan kedaulatan. Tetapi di sisi lain paham kebangsaan ditekankan sangat ketat bahkan dengan kekerasan, setiap aspirasi kelompok maupun kedaerahan selalu dicurigai sebagai gerakan separatis yang akan mengganggu kesatuan dan persatuan nasional. Di sisi lain melakukan liberalisasi ekonomi, tetapi menolak liberalisasi atau kebebasan politik, padahal ketika terjadi liberalisasi ekonomi rakyat bukan dibebaskan, tetapi malah mengalami keterjajahan ekonomi oleh produk asing, sehingga bangkut keseluruhan usaha ekonomi rakyat.
Kaum neoliberal, kembali dengan membonceng demokrasi, mengkampanyekan demokrasi, tetapi bukan untuk membebaskan rakyat, tetapi untuk mepreteli wewenang negara, negara tidak boleh mengatur ekonomi. Maka ekonomi rakyat yang selama ini mendapat subsidi dan proteksi dari negara, tidak lagi punya pelindung dengan dalih liberalisme. Liberalisme yang selama ini dibayangkan sebagai pembebasan rakyat, muncul sebagai kebebasan kaum imperialis untuk menjajah, dengan bentuk penjajahan yang sangat konvensional, rakus dan transparan, padahal semuanya itu dulunya dirintis melalui program demokrasi yang dilakaukan para aktivis pro demokrasi. Maka demokrasi telah dijadikan permadani merah untuk melicinkan jalannya imperialisme masa kini, yang bertopeng liberalisme, dengan isu-isu menyesatkan, borderless state, negara tanpa batas, atau bahkan stateless, masyarakat tanpa negara. Sementara tokoh dan negara yang mengembangkan isu bersikap chauvinistis.
Imperialisme ini mengembangkan budaya materialis, atau yang disebut materialisme praktis, sehingga membuat masyarakat sangat konsumtif, agar produk kapitalis diserap pasar maka diciptakan budaya konsumtif, sementara untuk menutupi biaya konsumsi itu masyarakat yang lemah moralnya seperti masyarakat Indonesia, cenderung memilih jalan pintas yaitu korupsi, yang hingga saat ini Indonesia yang katanya religius itu masih menempati urutan negara korupsi paling tinggi di dunia, dengan cara mengeruk kekayaan negara dan sumber daya alam. Celakanya lembaga keuangan dunia yang memberikan pinjaman, yang sekedar ingin mencari untung, sehingga membiarkan hutang tanpa mau ikut mengontrol penggunaannya, sehingga korupsi seolah difasilitasi dan dilestarikan agar negeri ini terjerat oleh rentenir internasional yang dikelola PBB itu.
Maka tantangan terbesar paham kebangsaan kita saat ini, selain munculnya gerakan sparatis di beberapa daerah, dan kelompok yang berusaha mengubah dasar negara menjadi negara agama, elemen lain yang sangat mengancam keutuhan bangsa ini adalah korupsi. Korupsi telah menggerogoti sekujur tubuh bangsa, sejak dari pimpinan paling hingga yang paling bawah, sementara pepatah mengatakan bahwa corruptio optimi pessim (korupsi para petinggi adalah terburuk). Karena bangsa telah dirongrong korupsi, maka bangsa ini telah kehilangan harga diri, layaknya tidak lagi sebuah bangsa yang punya muka bisa berhadapan dengan bangsa lain. Melainkan hanya segerombolan individu yang tidak punya kepribadian, yang aspirasi hidupnya hanya setinggi perut, belum mencapai hati dan otak.