Dalam lima tahun belakangan ini rakyat Indonesia mengalami perubahan yang sangat pesat baik dalam arti positif maupun negatif. Munculnya era kebebasan disamping membawa pada rasa aman juga membawa ancaman baru, ketika dalam mengekspresikan kebebasan tidak mengenal batas tata krama termasuk hukum.
Ini akibat kesadaran masyarakat terhadap hak terlampau besar, seraya tidak mengakui hak orang lain, maka akibatnya kewajiban dan tanggung jawab tidak ada. Kalau dulu reazim otoriter hanya menuntut kewajiban rakyat tanpa memenuhi hak-haknya, maka sekarang sebaliknya orang terlalu menuntut haknya tetapi lupa kewajiban pada orang lain.
<>Semua kekacauan yang terjadi di negeri ini adalah akibat ketidak seimbangan tersebut, maka muncullah kekerasan yang sekeji-kejinya, penipuan yang sejahat-jahatnya serta korupsi sehabis-habisnya. Dalam situasi seperti itu tidak ada rasa sungkan, maka semua keinginan bisa dijalankan, sementara prosedur hukum bisa dilampaui bila mau. Dan itu jalan pintas yang ditempuh banyak orang.
Diselenggarakannya pemilu baik parlemen maupun presiden membuat rakyat punya harapan, harapan tentang adanya perubahan. Mereka bosan dengan suasana ketidakpastian dan ketidakamanan yang selalu mencekam. Disitulah mencari figure yang bisa memenuhi harapan itu. Sistem politik yang berkembang memberikan rakyat keleluasaan pada rakyat untuk menentukan pilihannya sendiri. Tetapi hal itu membuat elite yang selama ini mendekte kehendak rakyat kehilangan wewenang, karena itu mereka berusaha merebut monopolinya itu melalui berbagai gerakan. Seperti badai yang lepas dari lorong alam, kebebasan rakyat untuk menentukan pilihannya sendiri tak bisa dibendung, mereka punya aspiorasi dan rasionalitas serta nurani sendiri, salah atau benar panggilan itu mereka turuti, sehingga apapun perhelatan elite untuk membendung arus itu tetap jebol.
Kini rakyat dihadapkan pada pengujian baru apakah pilihan yang mereka lakukan itu telah tepat, bukan membeli kucing dalam karung, zaman yang akan membuktikan. Apapun bukti yang dilakukan, kembali rakyat akan menentukan pilihan, mendepak atau mengkuhkan kembali pilihannya. Kenyataan itu mengharuskan para elite untuk hati-hati dalam melangkah, sebab ia selalu dalam kontrol masyarakat, dan ini akan mentukan nasib mereka dalam periode berikutnya.
Menghadapi arus zaman itu memang para elite harus mulai memahami bahwa zaman telah berubah atau diubah, akibanya terjadi perubahan keseluruhan tata nilai yang kemudian mengarah pada perubahan pikiran, sikap dan perilaku. Perkembangan itu tidak perlu dibendung dihadang, tetapi perlu diberi saluran, agar kebebasan itu digunakan secara matang dan dewasa, penuh erhitungan dan serba bertanggung jawab. Dengan demikian rakyat mulai berlatih untuk mempertanggungjawabkan langkahnya sendiri, kekeliruan dan kebenaran akan ditanggung sendiri, ini berarti rakyat telah dewasa dan dikelola secara dewasa oleh para elitenya.
Memang pandangan intelektualistis-elitis sering menilai rendah terhadap kemampuan masyarakat, padahal masyarakat selalu menyelesaikan persoalannya sendiri, dengan pikiran langkah dan beaya sendiri. Sementara ketergantungan para elite intelektual secara pemikiran dan pendanaan sangat tergantung kepada lembaga donor, karena itu walaupun rakyat melarat tetapi hidup bermartabat, mereka tidak pernah menuntut banyak pada negara, sebaliknya malah meberi banyak pada negara dengan kerja kerasnya, sebagai petani buruh atau nelayan, yang terus bekerja walaupun berpendapatan atau digaji pas-pasan, sehingga dengan kerja kerasnya itu orang lain bisa makan dan bisa hidup.
Tanpa adanya peran masyarakat kecil itu negera ini akan tumbang, secanggih apapun mesin akan puso tanpa melibatkan peran serta rakyat. Karena itu bisa dipahami bagaimana para elite politik yang hendak berkuasa begitu menghiba-hiba minta perhatian rakyat. Maka semestinya para pemain politik yang tampil atas restu rakyat baik di eksekutif maupun legislative mestinya kembali memperhatikan kepentingan seluruh rakyat yang selama ini menjadi tumpuan mereka. (MDZ)