Pemerintah Indonesia sejauh ini tidak dapat dikategorikan memiliki prestasi gemilang dalam penanganan pandemi ini dibandingkan negara lain.
Pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada periode 3 Juli-20 Juli 2021 akibat mengganasnya Covid-19 varian Delta. Berbagai pembatasan mobilitas masyarakat dalam PPKM ini menyebabkan kegiatan ekonomi menjadi lesu.
Kelompok masyarakat miskin dan pekerja informal paling terdampak kebijakan tersebut. Dengan demikian, penting sekali memastikan segera turunnya bantuan pemerintah kepada mereka.
Ada banyak skema bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat selama pandemi ini, yaitu bantuan sosial tunai (BST), diskon listrik, BLT Dana Desa, Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, BLT UMKM, dan Kartu Prakerja. Rencananya bantuan tersebut sudah mulai tersalurkan pada pekan kedua Juli 2021.
Sejauh ini, bantuan yang telah diberikan pun bukan berarti tanpa masalah. Menteri Sosial Juliari Batubara ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK karena dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pendistribusian bansos.
Di sisi lain, serapan anggaran penanganan Covid-19 pun rendah. Para pejabat takut jika salah, mereka masuk penjara. Termasuk yang dikeluhkan adalah belum cairnya insentif untuk tenaga kesehatan yang berjibaku merawat para korban.
Belum lagi ketidaktepatan penerima bantuan, yaitu mereka yang seharusnya menerima bantuan tetapi namanya tidak terdaftar sementara orang yang berkecukupan malah menerima bantuan.
Dalam penanganan gelombang kedua ini, pemerintah mestinya sudah mendapat banyak pelajaran dari penanganan pandemi yang sudah berjalan lebih dari satu tahun ini. Manajemen pandemi mestinya lebih baik; ketersediaan data seharusnya sudah lebih akurat.
Masyarakat juga sudah banyak belajar bagaimana mengurangi risiko terpapar Covid-19 atau melakukan isolasi mandiri jika terkena virus ini. Jangan sampai situasinya malah menjadi lebih buruk.
Bagi kelompok menengah atas yang mendapatkan gaji rutin, yang dapat bekerja dari mana saja dengan akses internet, atau memiliki tabungan dan pendapatan tambahan untuk mendukung kerja dari rumah, PSBB, PPKM atau apapun namanya, tidak akan menimbulkan dampak yang berarti. Tetapi bagi para pekerja informal atau kelompok rentan lainnya, berita peningkatan kasus Covid-19 saja sudah membuat orang takut keluar yang ujung-ujungnya mengurangi belanja. Para pedagang kecil turun omset, atau bahkan usahanya kolaps. Pemutusan hubungan kerja kembali meningkat.
Berbagai bantuan dari pemerintah tidak dapat menggantikan pendapatan yang hilang atau berkurang akibat pandemi ini. Jutaan orang kehilangan pekerjaan. Sementara lebih banyak orang lagi gajinya harus dipotong. Uang atau sembako senilai 300 ribu per bulan dari bantuan pemerintah tidak mencukupi kebutuhan bulanan sebuah keluarga kecil sekalipun.
Sebagian besar orang sudah lelah dengan pandemi yang tiada pasti kapan berakhirnya. Terbukti dengan munculnya varian-varian baru dengan tingkat penyebaran yang lebih cepat dan keganasan lebih tinggi. Apalagi dengan munculnya isu seperti pasien yang sengaja dicovidkan untuk mendapatkan keuntungan rumah sakit mengingat adanya biaya besar yang diberikan oleh pemerintah ketika rumah sakit merawat pasien Covid-19.
Ada banyak hal di luar kemampuan kita untuk mengontrol kehidupan ini. Munculnya pandemi mungkin juga di luar kemampuan manusia untuk mencegahnya mengingat sedemikian kompleksnya kehidupan di muka bumi ini. Namun, respons kita dalam mengatasi pandemi ini turut mempengaruhi seberapa cepat dan baik penanganan dilakukan.
Negara kaya dan maju belum tentu selalu unggul dalam penanganan Covid-19 ini. Amerika Serikat pada awalnya termasuk negara dengan korban paling besar. Vietnam, di satu sisi menjadi negara berkembang yang berhasil menekan laju perkembangan Covid-19.
Adapun pemerintah Indonesia sejauh ini tidak dapat dikategorikan memiliki prestasi gemilang dalam penanganan pandemi ini dibandingkan negara lain. Kebijakan dan tindakan sebelumnya dalam menangani Covid-19 mestinya menjadi bahan evaluasi untuk kinerja yang lebih baik.
Sempat terjadi perdebatan sengit mana yang harus didahulukan, apakah kesehatan atau perekonomian yang harus menjadi prioritas. Jika kesehatan yang menjadi prioritas, maka kebijakan pengetatan mobilitas perlu dilakukan yang akhirnya berdampak pada perekonomian. Jika ekonomi yang jadi pertimbangan, maka dilakukan pelonggaran dan pembukaan berbagai aktivitas ekonomi, tetapi berisiko meningkatkan paparan Covid-19.
Tak mudah menyelesaikan masalah dengan kompleksitas tinggi seperti pandemi ini. Satu kebijakan yang menguntungkan satu sektor dapat menimbulkan dampak pada sektor lainnya. Ada yang sengaja mencari kesempatan menggarong uang negara dari bantuan-bantuan yang harus disalurkan dengan cepat. Ada oposisi yang ingin kinerja pemerintah tampil buruk, ada penganut teori konspirasi yang tak percaya Covid-19 atau tak mau divaksin, ada pemeluk agama dengan keyakinan jabariyah, ada yang benar-benar tak peduli, dan lainnya.
Pemerintah memiliki kuasa dan sumber daya dalam banyak hal. Mereka dapat membuat undang-undang dan peraturan, memiliki anggaran, mengendalikan ASN dan aparat keamanan, dan aspek krusial lainnya.
Pemerintah memiliki kontribusi penting akan sukses atau gagalnya penanganan Covid-19 ini. Tinggal bagaimana kemampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya yang dimiliki ini untuk mengatasi persoalan.
Peran serta masyarakat tak kalah pentingnya untuk membantu menjaga diri dan mempercepat pemulihan. Penyelesaian masalah ini butuh kerja sama dari banyak pihak. Jangan sampai, atas nama hak pribadi, merugikan kepentingan komunitas. Jangan sampai ada orang yang melubangi kapal hanya untuk mendapatkan air secara mudah dan cepat, tapi membahayakan seluruh isi kapal.
Covid-19 tidak pilih-pilih korban, tetapi harus kita sadari bahwa yang paling terdampak adalah kelompok masyarakat miskin. Kepada mereka lah perhatian harus dicurahkan. Dalam jangka pendek ini, bantuan darurat mesti segera disalurkan secara cepat dan akurat. (Achmad Mukafi Niam)