Mushalla sebuah mall di bilangan Serpong terlihat selalu penuh saat waktu shalat maghrib. Calon jamaah mengular menunggu shaf kosong. Untuk mengambil air wudhu pun harus mengantri. Jangan berharap bisa berdzikir atau menjalankan shalat sunnah bakdiyah karena calon jamaah sudah mengantri. Para pengunjung yang akan bersujud kepada Allah ini rata-rata masih berusia muda, antara 25-40 tahunan. Mereka merupakan gambaran dari generasi baru Muslim yang secara ekonomi mapan, berpendidikan, dan sekaligus tetap taat menjalankan ajaran Islam.
Kombinasi dari daya beli yang tinggi dan kesalehan inilah yang akhirnya memberi nilai tawar yang tinggi terhadap Muslim. Pada era 80-90an, fasilitas mushalla yang tersedia di pusat perbelanjaan kebanyakan berada di area parkiran yang panas, ruangannya kecil dan kondisinya dibikin seadanya saja asal bisa untuk bersujud. Kini, semuanya sudah berubah. Fasilitas mushalla di pusat-pusat perbelanjaan yang dibangun belakangan selalu berlokasi di tempat strategis, luas, dan memiliki desain interior yang indah. Tempat wudhu selalu dijaga kebersihannya karena ada petugas kebersihan yang setiap saat mengontrol kondisinya. Tak lupa, pria berkopyah melayani dengan senyum ramah orang-orang yang menitipkan barangnya.
Kelompok baru Muslim kelas menengah ini jumlahnya dari tahun ke tahun akan terus meningkat. Sebagai negeri dengan penduduk mayoritas Muslim, maka tuntutan akan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan untuk bisa menunaikan ibadah dengan nyaman akan semakin diperhatikan. Jika kenyamanannya kurang, konsumen akan dengan mudah beralih pada pesaing yang memberikan fasilitas lebih. Pekerja perempuan yang mengenakan jilbab kini dengan gampang ditemukan di pusat-pusat perkantoran paling elit di Indonesia. Di era sebelumnya, mengenakan jilbab harus diperjuangkan dulu di hadapan manajemen perusahaan. Bisnis pakaian Muslimah merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat. Bahkan, desainer baju Muslimah asal Indonesia kini melakukan ekspansi ke luar negeri. Di mall-mall kelas atas, Muslimah berjilbab ini menjadi kelompok besar yang memiliki daya beli tinggi.
Kemampuan ekonomi yang tinggi ini juga tercermin dari terus meningkatnya jumlah zakat, infak, dan sekedah yang dikumpulkan oleh lembaga-lembaga ZIS. Saat Hari Raya Kurban, penjualan hewan kurban dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Berangkat umrah sekaligus berwisata ke beberapa destinasi menarik di Timur Tengah atau Eropa kini hal yang lumrah.
Muslim urban seperti inilah pada 20-30 tahun ke depan akan mendominasi populasi Muslim Indonesia. Mereka menuntut layanan yang tinggi akan ketersediaan sarana yang memadai untuk menjalankan ibadah dan mengekspresikan kemuslimannya dengan sejumlah simbol. Dengan pendidikan tinggi dan akses informasi yang mudah, mereka juga ikut serta dalam isu-isu terkait kehidupan Muslim, baik di tingkat lokal maupun internasional. Mereka juga bersikap lebih rasional dalam berbagai isu serta kurang mendefinisikan diri dengan kelompok organisasi keislaman tertentu di Indonesia. Jika ada petinggi partai Islam yang tersangkut kasus korupsi, mereka tak segan-segan mengkritik atau menjauhi partai tersebut. Jika ada ulama dari kelompok tertentu yang perilakunya tidak bisa menjadi teladan, mereka tak sungkan menyatakan ketidaksetujuannya. Pemahaman keagamannya standar-standar saja dan menilai segala sesuatu dari common sense.
Para Muslim urban ini bisa meraih kesejahteraan karena mereka bekerja di sektor jasa dan industri yang terus bertumbuh di Indonesia. Sektor ini mampu menawarkan pendapatan yang besar karena memiliki nilai yang tinggi atas produk atau jasa yang dihasilkan. Tetapi untuk masuk ke sektor itu, dibutuhkan ketrampilan tingkat tinggi atau pengetahuan mendalam yang tidak bisa semua orang menjangkaunya. Gaya hidup yang mereka jalani sepenuhnya merupakan gaya hidup masyarakat industri atau jasa.
Apa yang perlu diperhatikan oleh NU terkait dengan fenomena ini? NU tumbuh dan besar di lingkungan pedesaan dengan sektor pertanian sebagai pendukung utama. Sektor ini dari hari ke hari jumlahnya semakin mengecil. Sekalipun sangat strategis karena menyediakan pangan kepada seluruh penduduk Indonesia, tetapi kebijakan pembangunan tidak ramah terhadap sektor petani sehingga sektor ini kehilangan generasi penerusnya. Dalam perubahan zaman ini, basis-basis utama NU masih berada di daerah pedesaan. Daerah perkotaan, yang terus tumbuh dengan tingkat yang konsisten dari tahun ke tahun, seolah luput dari perhatian NU. Tata kelola NU dan tradisi yang dijalankannya masih kental bernuansa budaya agraris. Kultur urban belum banyak menyentuh ruang kesadaran kolektif NU. Ruang-ruang baru di perkotaan ini akhirnya diisi oleh Islam transnasional yang memiliki agenda tersendiri soal isu keislaman dan kebangsaan.
Inilah PR besar NU terhadap perubahan kondisi demografis Muslim di Indonesia yang kini terus berlangsung. Kebijakan, langkah dan sikap NU harus mampu menyentuh Muslim perkotaan yang memiliki budaya yang berbeda dengan kehidupan di daerah rural. Seharusnya ini tidak menjadi masalah mengingat NU sangat lentur dalam mensikapi perubahan budaya, asal tidak merubah prinsip-prinsip dalam Islam. Islam Indonesia tumbuh dan diterima oleh masyarakatnya karena mampu merubah kultur lokal agar selaras dengan ajaran Islam. Itulah yang membentuk Islam ala NU yang kini dipeluk oleh sebagian besar Muslim Indonesia. Tetapi, perubahan ini harus dilakukan secara terencana karena perubahan alamiah berlangsung lambat.
NU akan tetap ada, tetapi seberapa besar perannya dalam perkembangan Muslim di Indonesia, tergantung pada kemampuannya dalam merumuskan dan melaksanakan strategi menghadapi perubahan saat ini. Kekuatan NU di daerah-daerah perkotaan saat ini bisa menjadi bahan evaluasi mengenai posisi NU di masa depan, saat sebagian besar penduduk Indonesia hidup di daerah perkotaan. (Mukafi Niam)