Peringatan hari santri yang berlangsung pada 22 Oktober lalu berlangsung dengan sangat meriah. Sejumlah acara seperti pembacaan satu miliar shalawat Nariyah, pawai, diskusi, seminar, dan lainnya menunjukkan kegembiraan kalangan santri atas pengakuan peran yang mereka lakukan selama ini dari pemerintah dan masyarakat. Santri telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan hingga kini terus berkiprah mempertahankan eksistensi negeri ini. Santri juga telah membentuk corak Islam Indonesia yang mampu menyerap nilai-nilai lokal, membuktikan bahwa Islam tidak harus berwajah Arab, dengan tetap menjaga nilai-nilai universal Islam.
Kini, dunia berkembang dengan demikian cepat. Banyak temuan-temuan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Perkembangan teknologi baru juga mengalami perkembangan sedemikian cepat. Sepuluh tahun lalu, tingkat kecanggihan HP baru pada tahap bisa melakukan panggilan, mengirim SMS, atau MMS. Kini, jika kita memiliki telepon dengan kapasitas terbatas seperti itu, maka akan dianggap sangat kuno. Telepon cerdas kini sudah bisa mengakses internet dengan cepat, memiliki sejumlah aplikasi canggih yang bisa digunakan untuk beragam kebutuhan. Sepuluh tahun ke depan, teknologi akan semakin canggih. Mungkin saja jauh dari bayangan kita saat ini. Semua perkembangan teknologi ini juga menyentuh kehidupan kalangan santri dan pesantren.
Teknologi telah banyak mengubah kehidupan kita. Mengingat semakin banyak kemudahan yang kita dapatkan dari teknologi, kita menjadi demikian tergantung padanya. Jika ketinggalan HP cerdas di rumah, akan ada sesuatu yang hilang karena banyak fungsi yang terkandung di dalamnya. Di samping fungsi positif yang terdapat di dalam teknologi ini, ada dampak negatif yang harus diperhatikan seperti pornografi dan hiburan-hiburan yang tanpa terasa menghabiskan waktu produktif kita. Media sosial juga menimbulkan kegaduhan-kegaduhan di masyarakat di luar ruang interaksi antarwarga dan kontrol yang lebih baik terhadap pemerintah.
Teknologi juga telah menghilangkan sejumlah pekerjaan yang dahulunya dilakukan secara manual oleh otot manusia. Tenaga pengamanan kini berkurang karena adanya CCTV, buruh-buruh pabrik digantikan dengan otomatisasi mesin. Perdagangan online juga terus meningkat, menggerus bisnis yang sebelumnya dikerjakan secara konvensional. Kemunculan aplikasi baru yang dibuat oleh orang-orang kreatif bisa dengan cepat meruntuhkan bisnis lama yang sudah mapan selama bertahun-tahun sebagaimana yang terjadi dalam bisnis transportasi yang masa depannya suram setelah kemunculannya aplikasi taksi online. Akan semakin banyak pekerjaan hilang karena kemunculan teknologi-teknologi baru ini.
Di sisi lain hilangnya pekerjaan lama, muncul kesempatan-kesempatan baru dalam bidang teknologi seperti web developer, analis data, programmer, ahli jaringan, buzzer, brand ambassador, dan sejumlah profesi lainnya yang terkait dengan teknologi.
Medan dakwah kini juga berubah drastis, Jika sebelumnya para dai hanya mengandalkan sarana dakwah dari panggung ke panggung atau dari majelis ke majelis lainnya, kini dakwah bisa disiarkan secara real time ke seluruh dunia dengan sejumlah aplikasi media sosial. Materi ceramah kini bisa disimpan di Youtube yang kemudian bisa diputar ulang oleh siapa saja dan dari mana saja, asal ada akses internet. Dai-dai yang sebelumnya tidak dikenal, dengan kemampuan retorikanya dan penguasaan media sosial yang baik mampu melambungkan namanya di jagat maya. Dai-dai yang masih menjalankan dakwah secara konvensional, tak mampu mengangkat namanya pada level yang lebih luas. Hanya menjadi dai-dai lokal yang hanya dikenal masyarakat setempat.
Bagaimana kaum santri mempersiapkan diri dalam perubahan teknologi yang sedemikian cepat ini dan mengubah tatanan lama yang sebelumnya telah mapan? Saat pekerjaan-pekerjaan lama hilang digantikan dengan teknologi, apakah santri memiliki kesiapan kapasitas untuk menekuni pakerjaan baru? Bahkan, dalam ranah dakwah keagamaan yang sangat mereka kuasai pun, muncul figur-figur baru yang mensyiarkan ajaran yang tak senafas dengan keyakinan yang mereka pelajari di pesantren karena penguasaan mereka dalam dunia information, communication, dan technology (ICT).
Lembaga-lembaga pendidikan milik NU, mau tidak mau harus menyiapkan santri atau anak didiknya untuk menghadapi perubahan besar ini. Atau jika tidak, mereka hanya akan menjadi konsumen dan pasar dari produk dan jasa yang dibuat pihak lain. Bahkan, dalam ranah dakwah pun, umat yang selama ini kita rawat bisa-bisa terambil oleh kelompok lain yang mampu menggunakan teknologi dengan lebih baik. Di tengah tantangan di era digital ini, para santri dihadapkan pada pertanyaan, apakah mereka hanya akan menjadi konsumen atau sekaligus produsen? Tak mudah untuk menjawab pertanyaan besar ini. (Ahmad Mukafi Niam)