Terjadinya peristiwa dramatis seperti kasus ribuan anak putus sekolah, bahkan anak-anak di bawah umur nekad bunuh diri karena tidak mampu mebayar uang sekolah. Lantas ditambah lagi dengan terjadinya peristiwa menggemparkan terjadinya seranagan polia kemudian terjadinya busung lapar yang menimpa jutaan anak Indonesia. Padahal semuanya itu terjadi di tengah maraknya kehidupan ekonomi yang ditandai dengan berdirinya berbagai sekolah mewah yang unggulan, lalu dilengkapi dengan berdirinya berbagai pusat perbelanjan mewah tingkat dunia, sehingga memungkinkan orang untuk masuk sekolah mahal atau mengkonsumsi makanan mahal. Terbukti semua sekolah mahal kewalahan emenerima murid. Demikian juga untuk masuk restoran mewan dan mahal harus antri.
Dua kenyataan itu sangat kontradiktif, bagaimana sebagian besar rakyat hidup dalam penderitaan berkepanjanagan, untuk bisa makan saja susah, bahkan ada yang sama sekali tidak bisa sehingga banyak yang mati kelaparan. Tetapi di sebelahnya terdapat segelintir orang hidup bergelimang kemewahan, yang makan pagi di Jakarta, makan siang di singapora dan makan malam di Hongkong. Kalau selama ini penderitaan masih di ambang batas, karena masih ada penyangga berupa berbagai santunan dan subsidi dari negara. Maka setelah berbagai subsidi dihapus atas nasehat lembaga kemanusiaan Dunia, maka Indonesia rakyat tertimpa berbagai macam penderitaan di tengah melimpahnya kekayaan. Mereka ini tidak hanya para penguasa, tetapi kalangan politiisi aktivis bahkan kalangan agamawan, hidup dalam limpahan kekayaan.
<>Peristiwa tragis yang menimpa masyarakat itu mendorong munculnya pertanyaan moral yang sangat dasar. Pertama, apakah dibenarkan seseorang hidup berfoya-foya di tengah masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya yakni makan. Apalagi uang tersebut diperoleh dengan cara tidak sah. Kedua, apakah dibenarkan secara moral seseorang yang menyekolahkan anaknya di berbagai sekolah unggulan yang mewah dengan uang sekolah puluhan hingga ratusan juta. Demikian juga orang orang tua pensiunan berlomba melanjutkan kuliah, hanya sekadar mengisi waktu luang, atau mencari gengsi. Sementara jutaan rakyat yang lain tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah paling dasar sekalipun.
Ketika kita masih menganut system social yang komunalistik, maka solidaritas social akan selalu muncul, sehingga orang selalu membatasi diri untuk menuruti kemauan egonya, agar selalu bisa berbagi rasa dengan yang lain. Itulah yang disebut dengan solidaritas atau kepedulian social. Apalagi saat itu rezim yang berkuasa sangat membatasi masuknya barang mewah serta berbagai macam fasilitas yang mengarah pada budaya konsumtif. Kebijakan itu ternyata mampu mengendalikan nafsu masyarakat untuk hidup bermewah-mewah, apalagi pada umumnya masyarakat masih memilii rasa malu untuk memamerkan harntanya.
Tetapi ketika masyarakat telah menganut system social yang individualistic, rasionalistik, maka yang ada hanya kompetisi. Setiap orang bebas memenuhi kebutuhannya tanpa batas, sejauh orang tersebut mampu membiayai seluruh kebutuhannya, sekluruh nafsu dan ambisinya, tanpa harus mempedulikan orang lain. Masyarakat modrrn telah menolak komunalisme, dengan memilih individualisme, sesuai engan semangan kapitalisme. Sementara negara atas nama kebebasan berekaspresi, tidak mau mengendalikan pola hidup masyarakat, maka akhirnya muncullah ketimpangan social seperti sekarang ini, akhirnya semuanya tidak berdaya bahkan tidak pedulim untuk mengatasi. Kalaupun ada kepedulian hanya sebatas retorika, tanpa rasa simpati, ini merupakan cirri khas para burjuis kota.
Pertanyaan moral yang sederhana tetapi bisa menonjok bagi mereka yang melakukan pelanggaran moral. Pertanyaan tersebut tidak bisa atau bahkan tidak perlu dijawab secara hokum. Sebab kalau dijawab secara hokum akan timbul keributan, misalnya kalau diharamkan seseorang makan di restoran mewah, atau mengadakan pesta, akan mengundang kehebohan. Pertanyaan itu naya cukup direnungkan dan dihayati, jawabanyya bukan dengan lisan, tetapi dengan tindakan nyata, mengubah perilaku yang tidak etis tidak bermoral, lalu menjalankan tindakan-tindakan moral dengan melakukan tindaklan kemanausiaan yang nyata.
Tetapi di tengah masyarakat yang lemah kesadaran moralnya, pertanyaan tersebut tidak pernah muncul dari hati kecilnya. Dan seandnainya ada orang lain yang mengajukan problem moral maka akan diabaikan, karena telah tumpulnya kepekaan moral dalam hatinya, setalah lama tidak pernah dilatih tidak pernah pertajam. Bila masyarakat tidak lagi memiliki kepekaan moral, maka tidak akan memiliki tanggung jawab moral terhadap tragedy kemanusiaaan yang menimpa masyarakat. Bila hal itu dibiarkan terus terjadi, maka malapetaka demi mala petaka akan terjadi, sampai orang yang bergelimang dengan kemewahan dan kelayaan yang merasa mampu mengatasi segala keperluannya sendiri itu masuk dalam lubang kesulitan akibat tindakan amoralnya.
Kalanagan agamawan, terutama kalanagan rohaniawan semestinya yang punya tanbgggung jawab besar untuk mempertinggi kesadaran moral mumatnya. Berbagai aktivitas ritual agama sebenrnya sebagai sarana mempertajam kesadaran moral. Demikian pula latihan moral yang dilakukan para sufi adalah untuk memtinggi kesadaran moral itu melalui pengalaman keagamaan. Hanya melalui misi keagamaan itulah ketidakpedulian social yang melanggar tatanan moral yang mengakibatkan terjadinya ketidakadilan social itu bisa diatasi. Tetapi hal itu menuntut adanya peubahan mendasar dari kalangan agamawan dan rohaniawan itu sendiri, sehingga bisa dijadikan teladan bagi masyarakat yang lain.