Risalah Redaksi

Sekali Penjajah Terus Menjajah

Senin, 3 April 2006 | 11:02 WIB

Persoalan Irian Barat belakangan ini terus diusik, baik oleh para senator Amerika Serikat (AS), para aktivis anti-Indonesia di kawasan pasifik, maupun peneliti bayaran Belanda, mereka secara aklamasi mengatakan bahwa hasil Peblisit tahun 1969 itu tidak sah. Berbagai cara dilakukan untuk mengusik ketenteraman Irian Jaya terus dilakukan, seolah Indonesia tidak punya hak atas daerah itu. Padahal secara militer Indonesia telah memenangkan pertempuran melawan penjajah Belanda di sana, secara politik telah memenangkan diplomasi di PBB, dan secara sosial-budaya telah mendapat simpati dan dukungan dari seluruh pemimpin Irian, baik pemimpin politik dan terutama kepala suku. Sempurna sekali.

Langkah blunder yang diambil pemerinah Australia dalam melindungi para perusuh itu tidak lepas dari usaha rekolonisasi wilayah ujung Indonesia Timur itu. Selama masa perjuangan Irian Barat, Australia memang berdiri di pihak Belanda dan AS, sebagaimana AS, Australia akhirnya terpaksa harus mengakui kedaulatan Indonesia atas daerah tersebut, sebab, baik secara sosial-politik, yakni dukungan masyarakat Irian terhadap integrasi dengan Indonesia lebih kuat ketimbang opsi lain. Demikian juga secara militer, kekuatan persenjataan Indonesia saat itu, serta strategi perangnya tidak mungkin lagi ditandingi oleh pasukan Belanda, sehingga satu persatu benteng pertahanan Belanda jatuh ke tangan RI. Dan satu persatu tentara Belanda ditawan.

<>

Kenyataan itu tidak pernah menyenangkan negara penjajah, seperti Belanda, AS maupun Australia, yang waktu itu secara militer masih menjajah Irian Timur (Papua Nugini). Sehingga ketika Irian Barat sudah merdeka dengan cepat memperoleh kemajuan, baik dalam pembangunan fisik maupun mental, karena seluruh tenaga pikiran bangsa Indonesia, baik pemerintah maupun rakyat yang menjadi sukarelawan, mengabdikan diri untuk memajukan Irian Barat yang baru merdeka tahun 1962.

Sejak awal AS telah mengincar pertambangan yang ada di daerah itu, tetapi baru kesampaian ketika berhasil menjatuhkan Presiden Soekarno. Sejak saat itu, ekploitasi tambang emas dan tembaga di Timika mulai dilaksanakan oleh PT Freeport, dengan sistem kontrak yang manipulatif, merugikan rakyat Irian dan pemerintah Indonesia. Celakanya, rakyat Irian mengira yang mengeksploitasi mereka adalah pemerintah pusat di Jakarta, padahal Jakarta hanya mendapat bagian dibawah 20 persen, selebihnya di larikan ke AS.

Akhirnya, sekarang rakyat Irian sadar bahwa yang mengekploitasi mereka bukan hanya pemerintah pusat, tetapi lebih besar lagi dilakukan AS. Maka, protes pun mulai ditujukan pada AS. Celakanya lagi, pasukan keamanan Indonesia yang harus berhadapan dengan para demonstran putra Irian Barat itu, korban pun berjatuhan dari pasukan Indonesia. Sementara, para aktivis yang melakukan kekerasan pada pasukan keamanan malah dilindungi Australia.

Dengan demikian sangat bisa dipahami kalau pemerintah Indonesia yang selama ini bersikap low profile, tiba-tiba menjadi galak terhadap Australia. Selama ini hubungan Indonesia Australia selalu tegang, sebab, Australia sebagai negara boneka, baik boneka Inggris maupun saat ini menjadi centengnya AS berkewajiban terus-menerus melakukan provokasi politik di republik ini.

Soal Timor Timur, soal Irian Barat dan sebentar lagi soal Aceh akan terus menjadi ajang permainan mereka. Padahal, ketika negara yang kemudian menjadi cengkeraman Australia seperti Papua Nugini maupun  Timor Timur kondisinya sangat memprihatinkan, berbeda ketika Timor Timur masih berada dalam pangkuan Republik Indonesia, murah sandang pangan, walaupun keamanan masih rawan. Tetapi kemajauan secara sosial dan budaya sangat pesat.

Memang terhadap negara penjajah seperti Australia kita tidak boleh lengah, akan terus mengancam dalam setiap kesempatan, apalagi bila mereka, para sekutu itu (Inggris, AS dan Australia) telah bergabung, maka kewaspadaan harus ditingkatkan. Dan harus selalu diingat bahwa sekali penjajah tetap akan melakukan penjajahan, dalam bentuk apapun. Kalau mental dan ambisi penjajahan masih melekat dalam pikiran bangsa Australia, maka segala bentuk kerjasama, kemanusiaan, ekonomi dan kebudayaan akan terus dimanfaatkan untuk keperluan itu. Keinginan Australia pada masa lalu yang ingin menjadi bagian dari Asia, sebenarnya keinginan untuk tidak menjadi penjajah. Tetapi keinginan itu tidak pernah sungguh-sungguh direalisasi. Akibatnya semanagat penjajahan itu tetap berkobar. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait